KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai target net zero emission pada tahun 2060, seperti yang diamanatkan oleh perjanjian perubahan iklim oleh Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC).
Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan kegagalan menjalankan transisi energi akan mengisolasi Indonesia dalam perdagangan internasional. Indonesia juga akan kesulitan mengakses dana murah, serta meningkatkan beban pajak dan kewajiban lainnya.
Transisi energi memerlukan dana besar untuk membeli peralatan dan barang impor yang belum bisa diproduksi dalam negeri.
"Belum ada peralatan yang diperlukan dalam transisi energi yang saat ini diperdagangkan secara internasional sudah dapat dihasilkan di dalam negeri," kata Salamudin kepada KabarBursa, Sabtu, 7 Juli 2024.
Sebagian besar peralatan tersebut harus diimpor dari negara industri, termasuk peralatan listrik. Selain itu, Salamudin mengatakan Indonesia juga harus mengimpor pembangkit ramah lingkungan, kendaraan listrik, hingga peralatan rumah tangga ramah lingkungan.
Saat ini, kata Salamudin, Indonesia masih menghabiskan banyak uang untuk mengimpor energi dan peralatannya yang dikategorikan sebagai energi kotor. Jika impor energi kotor tetap tinggi, sementara kebutuhan impor energi bersih meningkat, defisit neraca transaksi berjalan akan semakin melebar dan uang negara akan terkuras.
Data menunjukkan impor peralatan listrik dan migas adalah sumber utama defisit neraca transaksi berjalan. Menurut Bank Indonesia, impor migas dalam lima tahun terakhir mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan nilai 41,9 miliar dolar AS. Total impor migas periode 2019-2023 mencapai 210,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp2.107,4 triliun.
"Bayangkan jika sepertiga dari uang itu digunakan membiayai transisi energi," ujar Salamuddin.
Impor peralatan listrik juga signifikan, dengan total nilai mencapai 121,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.811,7 triliun dalam periode yang sama. "Indonesia telah kehilangan banyak uang untuk membiayai energi kotor dan harus membiayai kembali impor energi bersih sementara impor energi kotornya belum bisa diakhiri atau malah cenderung meningkat," jelas Salamudin.
Salamudin mengatakan Indonesia membutuhkan solusi jitu untuk menghadapi tantangan ini, terutama dengan peraturan internasional yang semakin memperketat ruang gerak energi kotor baik dalam investasi, keuangan, perdagangan, maupun penggunaan anggaran negara.
Investasi Energi Terbarukan
Investasi energi baru terbarukan (EBT) pada awal tahun ini diperkirakan masih rendah. Faktor penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) dan belum adanya lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN menjadi alasan utama investasi EBT hingga kuartal I-2024 belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Mengacu pada data Kementerian ESDM hingga November 2023, realisasi investasi Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) baru mencapai USD 1,17 miliar atau 64,49 persen dari target yang ditetapkan sebesar USD 1,8 miliar.
Data yang sama menunjukkan sejak 2017 hingga 2022, tren investasi EBTKE berfluktuasi di kisaran USD 1,36 miliar hingga USD 1,96 miliar. Rinciannya, pada 2017 realisasi investasi EBTKE mencapai USD 1,96 miliar, turun menjadi USD 1,53 miliar pada 2018, naik ke USD 1,71 miliar pada 2019, kembali turun ke USD 1,36 miliar pada 2020, dan stabil di angka USD 1,55 miliar pada 2021 dan 2022.
Pada 2023, porsi energi terbarukan dalam bauran pembangkit listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tercatat sebesar 12,21 persen. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan 2022 yang mencapai 13,3 persen. Meskipun begitu, kapasitas terpasang energi terbarukan tetap mengalami penambahan sebesar 539 megawatt (MW), sehingga total kapasitas terpasang menjadi 13.155 MW pada tahun tersebut.
Insentif untuk Energi Terbarukan
Pemerintah telah memberikan berbagai insentif kepada badan usaha untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Insentif ini diatur dalam regulasi terbaru dan diharapkan mampu mempercepat pemanfaatan energi terbarukan yang potensinya besar, namun masih minim digunakan. Meski demikian, dibutuhkan panduan teknis untuk implementasi aturan tersebut.
Aturan tersebut adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, yang diundangkan pada 13 September 2022. Ketentuan mengenai insentif ini terdapat dalam Bab V tentang Dukungan Pemerintah, khususnya di Pasal 22. Pemerintah memberikan insentif dalam bentuk fiskal dan nonfiskal.
Insentif fiskal yang diberikan mencakup pembebasan bea masuk impor, fasilitas pembiayaan melalui penjaminan oleh BUMN yang ditugaskan negara, serta fasilitas perpajakan. Sementara itu, insentif nonfiskal diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai peraturan yang berlaku. Salah satu bentuk dukungan yang diberikan adalah mempermudah perizinan pengembangan energi terbarukan, baik di tingkat pusat maupun daerah. (Alp/*)