“Dengan ekonomi hijau, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dapat stabil di angka 6,22 persen hingga 2045, mengurangi emisi sebesar 86 juta ton CO2-ekuivalen, dan menciptakan hingga 4,4 juta lapangan kerja,” ujar Airlangga secara virtual dalam Green Economy Expo 2024, Kamis 4 Juli 2024.
Airlangga menekankan pentingnya ekonomi hijau, tidak hanya untuk target pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai strategi untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan menuju status negara maju. Ia menyoroti dua peluang utama dalam pengembangan ekonomi hijau. Pertama, transisi aktivitas ekonomi eksisting, terutama di sektor energi.
Indonesia diarahkan untuk mengadopsi energi baru dan terbarukan seperti energi surya, angin, air, dan biomassa. Selain itu, pengurangan emisi karbon dari PLTU akan dilakukan melalui kombinasi amonia dan Carbon Capture Storage (CCS). Ekosistem kendaraan listrik (EV) juga menjadi fokus untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil.
“Ekonomi hijau dan sirkular akan membantu industri di Indonesia untuk berdaya saing pada aspek keberlanjutan,” ujar Airlangga.
Saat ini, terdapat 152 perusahaan yang telah memiliki Sertifikat Industri Hijau, dengan manfaat ekonomi berupa penghematan energi senilai Rp3,2 triliun per tahun dan penghematan air senilai Rp169 miliar per tahun.
Peluang kedua adalah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru melalui pengembangan sektor dan aktivitas sirkular yang inovatif, termasuk industri berbasis sumber daya alam hayati berkelanjutan atau bio-ekonomi, serta ekonomi biru dan industri pemanfaatan limbah.
Hingga saat ini, Pemerintah telah mengembangkan 22 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diharapkan dapat mengadopsi prinsip ekonomi hijau dan ekonomi sirkular. Airlangga juga memuji banyaknya perusahaan rintisan (startup) dan bisnis baru yang menerapkan prinsip 9R ekonomi sirkular: Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Recycle, dan Recover.
Menurut dia, startup ini merupakan inovasi anak muda yang melihat peluang dalam implementasi ekonomi sirkular dan ekonomi hijau.
“UMKM juga dapat menjadi aktor utama dalam transisi ekonomi sirkular, seperti bisnis reparasi, pengumpulan barang elektronik bekas, dan daur ulang limbah. Baik startup maupun UMKM memerlukan dukungan pendampingan dan pendanaan untuk tumbuh dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional,” katanya.
Airlangga mengapresiasi peluncuran Peta Jalan dan Rencana Aksi Ekonomi Sirkular serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan.
“Kedua dokumen ini akan menjadi tonggak masa depan perekonomian Indonesia yang hijau dan berkelanjutan, bermanfaat bagi masyarakat dan alam nusantara,” pungkasnya.
Carbon Capture Storage
Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, atau yang dikenal sebagai carbon capture storage/carbon capture utilization storage (CCS/CCUS). Langkah ini membuka peluang bagi Indonesia untuk menjual gudang karbon di sektor industri.
Perpres ini tidak hanya mengkomersialisasikan CCS/CCUS di wilayah hulu migas, tetapi juga di sektor industri seperti besi-baja, kaca, hingga smelter. Pasal 45 ayat (1) memberikan izin bagi industri-industri tersebut untuk menjual fasilitas ‘gudang karbon’ ke luar negeri, dengan skema bisnis antarpemerintah atau government to government (G-to-G).
Menurut Pasal 35, kapasitas penyimpanan karbon akan didahulukan untuk kebutuhan domestik dengan perbandingan 70 persen - 30 persen. Penyimpanan karbon dari luar negeri hanya dapat dilakukan oleh penghasil karbon yang berinvestasi atau memiliki afiliasi investasi di Indonesia.
Dalam mendukung pelaksanaan CCS, pemerintah juga akan memberikan insentif fiskal, baik perpajakan maupun nonperpajakan, sesuai dengan ketentuan dalam kegiatan usaha hulu migas. Insentif ini akan diberikan kepada industri atau kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang memiliki izin eksplorasi, transportasi, dan operasi penyimpanan karbon.
Pasal 42 memperkenalkan skema imbal jasa penyimpanan atau storage fee untuk memonetisasi penangkapan karbon. Pendapatan yang diperoleh dari hasil monetisasi tersebut akan dikenakan aturan perpajakan yang berlaku pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
Skema tersebut juga melibatkan kewajiban pembayaran royalti atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kepada pemerintah, sesuai dengan regulasi perundang-undangan yang berlaku. Besaran imbal jasa penyimpanan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri.
Langkah ini menciptakan lingkungan yang menguntungkan untuk industri CCS/CCUS di Indonesia, membuka peluang baru dalam perdagangan gudang karbon dan memperkuat kontribusi negara dalam upaya global mengatasi perubahan iklim.