Logo
>

Target Tak Masuk Akal Energi Terbarukan, Apa Alasannya?

Ditulis oleh KabarBursa.com
Target Tak Masuk Akal Energi Terbarukan, Apa Alasannya?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Lembaga think tank, Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa pencapaian target bauran energi terbarukan di Indonesia akan terlambat, bahkan tidak akan melebihi 30 persen pada tahun 2060.

    Menurut IESR, untuk mencapai target bauran energi terbarukan dan penurunan emisi sektor energi secara signifikan, diperlukan pemutakhiran kebijakan seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUKN), Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan finalisasi Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBET).

    Kebijakan ini harus mencakup peningkatan target penurunan emisi dan skema yang mendukung pencapaian tersebut secara terukur.

    His Muhammad Bintang, Koordinator Grup Riset Sumber Daya Energi dan Listrik di IESR, menyebut bahwa lambatnya pertumbuhan sektor ketenagalistrikan, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan bauran energi terbarukan, terlihat dari pembangkit energi terbarukan yang baru mencapai sekitar 1 GW hingga tahun 2023, jauh dari target awal sebesar 3,4 GW yang ditetapkan pada 2021.

    Terdapat beberapa penyebab lambannya implementasi energi terbarukan:

    • Rendahnya permintaan energi dibandingkan proyeksi.
    • Lapangan tanding yang tidak setara, di mana pembangkit energi terbarukan dipaksa bersaing dengan pembangkit listrik tenaga batubara melalui regulasi Domestic Market Obligation (DMO).
    • Integrasi energi terbarukan variabel seperti PLTS dan PLTB menghadapi tantangan teknis dari kondisi sistem jaringan listrik saat ini.
    • Beberapa peraturan seperti tingkat komponen dalam negeri (TKDN) belum sesuai dengan kondisi saat ini dan mempengaruhi pengembangan proyek energi terbarukan.

    Saat ini, pemerintah tengah melakukan pembaruan beberapa regulasi dan kebijakan di sektor energi. Oleh karena itu, menurut Bintang, pelaku industri, media, masyarakat sipil, dan berbagai pihak lainnya perlu mengawal dan memberikan masukan agar pembaruan tersebut dapat menjadi solusi atas kendala pengembangan energi terbarukan selama ini.

    Di sisi lain, peluang untuk meningkatkan bauran energi terbarukan terbuka luas dengan meningkatnya kebutuhan energi, terutama di sektor industri. Selain itu, tren transisi energi di berbagai negara dapat mengganggu rantai suplai teknologi energi terbarukan.

    Oleh karena itu, Indonesia perlu segera meningkatkan kemandirian untuk memenuhi kebutuhan transisi energi dengan mengembangkan industri energi terbarukan domestik.

    Bintang juga menekankan pentingnya menangkap fenomena permintaan dari pembeli terhadap produk hijau. Selain itu, dinamika geopolitik energi dunia mempengaruhi daya saing investasi di Indonesia.

    Aturan karbon dan pajak, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan Inflation Reduction Act (IRA), mempengaruhi aliran investasi ke negara-negara Selatan, termasuk Indonesia.

    Permintaan korporasi untuk energi terbarukan menjadi dorongan penting bagi Indonesia dalam mempercepat pengembangannya dan menghilangkan hambatan bagi perusahaan dan individu untuk menggunakan energi terbarukan.

    Saat ini, 121 anggota RE100 Global telah melaporkan kegiatan operasional mereka di Indonesia. Berdasarkan penilaian RE100, Indonesia memiliki potensi besar untuk pertumbuhan dengan sumber daya energi terbarukan yang melimpah, namun potensi tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan.

    Untuk itu, inisiatif RE100 memandang Indonesia sebagai wilayah strategis untuk memperluas kegiatan advokasi dengan misi mempercepat perubahan menuju jaringan listrik tanpa emisi karbon skala besar.

    "Asesmen Climate Group RE100 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang 'tertinggal' dalam pengembangan energi terbarukan. Meningkatnya tuntutan ketersediaan produk berkelanjutan memicu permintaan besar untuk energi terbarukan di lokasi operasi perusahaan,” kata Bintang.

    Dunia saat ini berada pada titik kritis dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Sejumlah target penurunan emisi telah ditetapkan untuk mengurangi dampak negatif dari gas rumah kaca dan memastikan keberlanjutan lingkungan. Berikut adalah beberapa target penurunan emisi global yang signifikan:

    Pada tahun 2015, hampir 200 negara menandatangani Kesepakatan Paris dengan tujuan utama untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri dan berupaya membatasi kenaikan tersebut hingga 1,5 derajat Celsius. Untuk mencapai ini, negara-negara berkomitmen pada Nationally Determined Contributions (NDCs) yang mencakup target penurunan emisi spesifik setiap negara.

    Banyak negara dan perusahaan telah menetapkan target untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emissions) pada pertengahan abad ini, biasanya pada tahun 2050. Emisi nol bersih berarti mengimbangi emisi yang dihasilkan dengan mengurangi emisi atau menyerap jumlah yang setara dari atmosfer. Negara-negara seperti Inggris, Jepang, dan Kanada telah mengumumkan target untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050, sementara Tiongkok telah menetapkan target tahun 2060.

    Pada Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow (COP26) tahun 2021, negara-negara memperbarui komitmen mereka untuk mengurangi emisi. Salah satu kesepakatan penting adalah penghapusan bertahap penggunaan batubara dan pengurangan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. Negara-negara juga diminta untuk memperbarui NDC mereka dengan target yang lebih ambisius untuk tahun 2030.

    Target Spesifik Negara

    Uni Eropa berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca setidaknya 55 persen di bawah tingkat tahun 1990 pada tahun 2030, dan mencapai net zero pada tahun 2050.

    AS menargetkan pengurangan emisi sebesar 50-52 persen di bawah tingkat tahun 2005 pada tahun 2030. India berjanji untuk mengurangi intensitas emisi GDP mereka sebesar 33-35 persen dari tingkat tahun 2005 pada tahun 2030, dan meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi 450 GW pada tahun yang sama.

    Banyak perusahaan besar juga telah menetapkan target emisi nol bersih. Misalnya, Microsoft berkomitmen untuk menjadi karbon negatif pada tahun 2030, dan Amazon berjanji untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2040 sebagai bagian dari Climate Pledge mereka.

    Target penurunan emisi global mencerminkan komitmen kolektif untuk memerangi perubahan iklim. Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, kolaborasi antara negara, perusahaan, dan masyarakat sipil adalah kunci untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan. (*)

     

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi