KABARBURSA.COM - Sudah tiga minggu berturut-turut rupiah anjlok, tak kuasa menahan derasnya dolar Amerika Serikat (AS). Diperkirakan inflasi atau kenaikan harga-harga, terutama untuk sembako, akan terus terjadi.
Pada penutupan perdagangan Senin, 13 Januari 2025, mata uang dan ekuitas di pasar berkembang Asia mengalami penurunan yang signifikan. Rupiah Indonesia dan ringgit Malaysia, misalnya, terdepresiasi mendekati level terendah dalam tiga minggu, seiring dengan investor yang mulai mengurangi ekspektasi mereka terhadap potensi penurunan suku bunga Federal Reserve AS.
Rupiah tercatat melemah sekitar 0,7 persen, sementara ringgit terkoreksi 0,5 persen, mengikuti tren melemahnya indeks MSCI yang mencakup mata uang negara berkembang, yang menyentuh posisi terendah sejak awal Juli tahun lalu.
Penguatan dolar AS menjadi faktor utama yang menekan pasar di Asia, dengan nilai tukarnya melonjak ke level tertinggi dalam lebih dari dua tahun pada hari yang sama. Selain itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun mencapai puncaknya dalam 14 bulan.
Analis mencatat bahwa laporan pekerjaan AS yang menggembirakan pada Jumat sebelumnya mempengaruhi pasar dengan mereduksi harapan akan penurunan suku bunga Federal Reserve. Kini, para trader memperkirakan penurunan suku bunga sebesar 27 basis poin terjadi pada tahun 2025, jauh lebih rendah dibandingkan ekspektasi sebelumnya yang berada di kisaran 100 basis poin.
Berdasarkan prediksi ekonom senior dari Bank of America Aditya Bhave, mengingat kuatnya pasar tenaga kerja AS, kemungkinan besar siklus pemangkasan suku bunga The Fed telah berakhir, dan risiko ke depan lebih condong ke arah kenaikan suku bunga.
Pasar bereaksi dengan sedikit menurunnya ekspektasi terkait potensi pemangkasan lebih lanjut. Pasar memandang kebijakan monetari AS yang lebih ketat sebagai tantangan bagi negara-negara berkembang yang harus menjaga kestabilan mata uang dan ekuitas mereka.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) berupaya menstabilkan rupiah dengan melakukan intervensi di pasar valuta asing. BI terus menjaga stabilitas nilai tukar sebagai bagian dari usaha menjaga kepercayaan pasar.
Bank Indonesia juga menjadwalkan rapat pada akhir pekan ini untuk mengevaluasi kebijakan monetari setelah mempertahankan suku bunga dalam tiga rapat sebelumnya. Ekspektasi pasar tentang adanya pelonggaran lebih lanjut dari suku bunga telah dipangkas, dengan beberapa analis memprediksi bahwa penurunan suku bunga kini kemungkinan baru akan terjadi pada 2026.
Mata Uang dan Pasar Saham Asia Ikut Tergerus
Di sisi lain, yuan China sedikit menguat setelah pemerintah setempat mengumumkan langkah-langkah kebijakan untuk menjaga stabilitas mata uang. Namun, yuan tetap berada di level terendah dalam 16 bulan terakhir, diperdagangkan pada posisi 7,3318 per dolar AS.
Seiring dengan melemahnya mata uang, ekonomi China semakin mendapatkan perhatian dari pasar yang sedang berupaya menyesuaikan proyeksi mereka. Di Korea Selatan, won sebagian besar bergerak datar di kisaran 1.470,80 per dolar AS, sementara dolar Taiwan mengalami pelemahan sekitar 0,5 persen.
Tidak hanya yuan, beberapa mata uang lainnya seperti dolar Singapura dan baht Thailand juga sedikit tertekan.
Selain pergerakan mata uang, pasar saham Asia juga mendapat tekanan yang cukup besar pada hari ini. Indeks saham Thailand dan Malaysia mengalami penurunan lebih dari 1 persen, sementara pasar saham Filipina bahkan merosot hingga 2,2 persen.
Indeks saham MSCI untuk Asia Tenggara tercatat turun 1,8 persen, mencapai level terendah sejak awal Agustus tahun lalu, dengan beban terutama datang dari bursa saham Taiwan dan Korea Selatan yang mengalami penurunan signifikan.
Saham-saham Taiwan dan Korea Selatan, yang membentuk hampir 35 persen dari indeks MSCI Asia, masing-masing terkoreksi 2,4 persen dan 1,3 persen, semakin memperburuk tekanan pasar ekuitas di wilayah tersebut.
Sementara, IHSG ditutup melemah sebesar 71 poin atau turun 1,02 persen ke level 7,016 pada perdagangan Senin, 13 Januari 2025. Merujuk data perdagangan RTI Business, pada hari ini IHSG bergerak di kisaran 6,986 hingga 7,094.
Secara keseluruhan, meskipun ada optimisme terkait kebijakan ekonomi domestik di beberapa negara seperti Indonesia, tekanan dari faktor eksternal, terutama Amerika Serikat, masih sangat besar.
Ekspektasi akan kebijakan ekonomi yang lebih ketat di AS turut membebani pasar-pasar negara berkembang, yang bergantung pada kondisi moneter global untuk mendukung stabilitas ekonomi mereka. Pemerintah dan bank sentral di kawasan ini masih berusaha menemukan cara untuk mengurangi dampak dari ketidakpastian global dan mengembalikan stabilitas ekonomi domestik.(*)