KABARBURSA.COM - Donald Trump kembali menyuarakan keinginannya untuk melemahkan dolar AS guna meningkatkan daya saing ekspor dan mengurangi impor. Langkah ini bertujuan untuk menghidupkan kembali industri manufaktur AS, tetapi juga menunjukkan kontradiksi karena Trump tetap ingin dolar menjadi mata uang dominan di dunia. Ia bahkan mengancam negara-negara BRICS, termasuk Indonesia, yang mulai mempertimbangkan dedolarisasi.
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai bahwa kebijakan Trump ini memberi ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk lebih leluasa menurunkan suku bunga tanpa terlalu menekan rupiah.
"Keinginan Trump untuk melemahkan dolar membuat BI lebih percaya diri menurunkan suku bunga. Dampak depresiasi rupiah akibat pemangkasan suku bunga bisa diimbangi oleh kebijakan Trump ini," ujar Andri kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu 29 Januari 2025.
Ia menjelaskan bahwa setelah BI menurunkan suku bunga 25 basis poin, indeks dolar AS (DXY) turun dari 110,1 pada 13 Januari menjadi 107,9. Kondisi ini mengurangi tekanan terhadap rupiah dan memberi pemerintah serta BI peluang untuk melonggarkan kebijakan moneter tanpa mengorbankan stabilitas nilai tukar.
Namun, Andri mengingatkan bahwa kebijakan Trump juga penuh kontradiksi, terutama terkait tarif impor. "Trump ingin dolar lebih lemah, tetapi di saat yang sama menerapkan tarif tinggi pada impor. Ini akan memicu kenaikan harga barang di AS dan bisa memaksa The Fed menahan penurunan suku bunga," jelasnya.
Menurut Andri, AS adalah negara net importir terbesar di dunia, dan kebijakan tarif akan menaikkan harga barang konsumsi dalam jangka pendek. Di sisi lain, Trump sendiri baru-baru ini menyatakan suku bunga AS terlalu tinggi dan ingin segera menurunkannya, yang berisiko mengganggu independensi The Fed dan mempercepat pelemahan dolar.
Sementara itu, kebijakan Trump yang mendorong depresiasi dolar memang bisa memberi ruang bagi BI untuk menjaga rupiah dan menurunkan suku bunga. Namun, efek proteksionisme AS tetap menjadi ancaman serius bagi Indonesia.
"Jika AS semakin membatasi impor, Indonesia akan kebanjiran produk manufaktur dari China dan negara lain yang kehilangan akses ke pasar AS. Ini bisa memperburuk kondisi industri manufaktur Indonesia yang sudah mengalami deindustrialisasi dini," tutur Andri.
Indonesia juga berisiko menjadi target langsung proteksionisme Trump, mengingat ekspor utama ke AS meliputi barang manufaktur seperti mesin, perlengkapan listrik, tekstil, minyak nabati, dan produk olahan lainnya. Selain itu, status Indonesia sebagai anggota penuh BRICS bisa semakin memperumit neraca perdagangan akibat kebijakan proteksionisme AS.
"Pemerintah harus bersiap menghadapi dampak ini dengan memperkuat daya saing industri dan mencari pasar ekspor alternatif agar tidak terlalu bergantung pada AS," pungkas Andri.
Menjaga Stabilitas Ekonomi
Bank Indonesia kembali mengambil langkah strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi dengan menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 5,75 persen. Keputusan ini diumumkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 14-15 Januari 2025.
Penurunan sebesar 25 basis poin ini, menurut Perry, sejalan dengan upaya memastikan inflasi tetap terkendali sesuai target dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam pengumumannya, BI juga menyesuaikan suku bunga untuk fasilitas perbankan lainnya.
Suku bunga Deposit Facility diturunkan menjadi 5,00 persen, sementara Lending Facility kini berada di level 6,50 persen. Langkah ini diambil sebagai bentuk konsistensi kebijakan moneter yang bertujuan menjaga inflasi di sasaran 2,5±1 persen pada tahun 2025 dan 2026.
Perry menjelaskan, keputusan tersebut didukung oleh proyeksi inflasi yang tetap rendah, nilai tukar rupiah yang stabil sesuai dengan fundamental ekonomi, serta kebutuhan untuk meningkatkan momentum pertumbuhan ekonomi nasional.
Stabilitas nilai tukar rupiah menjadi salah satu fokus utama dalam kebijakan ini. Perry menekankan bahwa BI akan terus mencermati dinamika yang berkembang di pasar valuta asing untuk memastikan nilai tukar tetap terkendali, guna mendukung pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Respons Kondisi Global
Dengan mempertahankan fokus pada fundamental ekonomi, BI mengupayakan agar kebijakan yang diambil dapat merespons perubahan kondisi global maupun nasional secara adaptif.
Langkah BI ini mencerminkan sikap optimis terhadap kondisi ekonomi Indonesia ke depan. Selain memberikan ruang tambahan bagi sektor ekonomi untuk bergerak lebih dinamis, kebijakan ini juga menunjukkan kepercayaan BI terhadap kestabilan ekonomi domestik meskipun tantangan global terus membayangi.
Perry menegaskan, BI akan terus mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar sambil tetap membuka peluang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Dengan penurunan suku bunga ini, sektor ekonomi diperkirakan akan mendapatkan dorongan yang signifikan. Penyesuaian ini menjadi katalis positif bagi dunia usaha dan rumah tangga, yang diharapkan mampu meningkatkan konsumsi, investasi, dan daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Ke depan, BI akan terus memantau berbagai indikator ekonomi untuk memastikan kebijakan yang diterapkan sejalan dengan perkembangan kebutuhan domestik maupun dinamika pasar global.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.