Logo
>

Trump Siapkan Tarif buat Venezuela, Minyak Naik Satu Persen

Seperti dilansir dari Reuters, harga minyak Brent naik 84 sen (1,2 persen) menjadi USD73 per barel

Ditulis oleh Syahrianto
Trump Siapkan Tarif buat Venezuela, Minyak Naik Satu Persen
Sebuah situs pengeboran minyak di atas laut (Foto: Pexels/Umar Affan)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga minyak naik 1 persen pada Senin, 24 Maret 2025 setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif 25 persen terhadap negara-negara yang membeli minyak dan gas dari Venezuela.

    Seperti dilansir dari Reuters, harga minyak Brent naik 84 sen (1,2 persen) menjadi USD73 per barel, sementara minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) naik 83 sen (1,2 persen) menjadi USD69,11 per barel.

    Namun, kenaikan harga ini tertahan karena AS memberi perusahaan minyak Chevron waktu hingga 27 Mei untuk menghentikan operasional dan ekspor minyaknya dari Venezuela. Sebelumnya, Trump menetapkan batas waktu 30 hari sejak 4 Maret bagi Chevron untuk menghentikan aktivitasnya di negara tersebut.

    Dua kebijakan ini memiliki dampak yang berlawanan—di satu sisi, memberikan kelonggaran bagi Chevron, tetapi di sisi lain, meningkatkan tekanan terhadap negara lain yang masih membeli minyak dari Venezuela. Meski begitu, masih belum jelas bagaimana pemerintahan Trump akan menerapkan tarif ini secara efektif.

    Selain itu, kenaikan harga juga tertahan karena OPEC+ diperkirakan tetap melanjutkan rencana peningkatan produksi minyak pada Mei, menurut beberapa sumber. Di saat yang sama, negosiasi untuk mengakhiri perang di Ukraina terus berlangsung, yang berpotensi meningkatkan pasokan minyak Rusia ke pasar global.

    "Kita melihat sedikit guncangan pasokan akibat berkurangnya ekspor minyak Venezuela ke pasar global. Ini menjadi faktor bullish bagi harga minyak," kata Dennis Kissler, Wakil Presiden Senior Perdagangan di BOK Financial. Ia juga menambahkan bahwa investor tengah mengamati potensi kebijakan pembatasan lebih ketat terhadap Iran.

    Pada Kamis, AS mengeluarkan sanksi baru yang menargetkan ekspor minyak Iran, termasuk tindakan pertama yang menyasar sebuah kilang minyak kecil di China yang mengolah minyak mentah Iran, menurut Departemen Luar Negeri AS.

    Baik Brent maupun WTI ditutup lebih tinggi pada Jumat lalu dan mencatat kenaikan mingguan kedua berturut-turut. Wall Street juga melonjak pada Senin setelah muncul tanda-tanda bahwa pemerintahan Trump akan mengambil pendekatan lebih moderat terkait tarif perdagangan dengan mitra dagangnya.

    Pada Jumat, Trump memberi sinyal bahwa akan ada fleksibilitas dalam kebijakan tarifnya. Kepala perdagangannya juga dijadwalkan berbicara dengan mitranya dari China. Pada Senin, Trump mengumumkan bahwa dalam waktu dekat ia akan mengenakan tarif baru terhadap mobil, aluminium, dan farmasi.

    Trump juga mendesak Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga setelah bank sentral AS pekan lalu mempertahankannya tetap stabil. Suku bunga yang lebih rendah dapat mengurangi biaya pinjaman, meningkatkan aktivitas ekonomi, dan mendorong permintaan minyak.

    Presiden Federal Reserve Atlanta, Raphael Bostic, mengatakan bahwa ia memperkirakan inflasi akan melambat dalam beberapa bulan ke depan. Akibatnya, ia kini hanya melihat kemungkinan pemotongan suku bunga sebesar 0,25 persen sebelum akhir tahun.

    Sementara itu, pejabat AS dan Rusia bertemu di Arab Saudi pada Senin untuk membahas gencatan senjata yang lebih luas di Ukraina. Washington juga menargetkan kesepakatan gencatan senjata terpisah di Laut Hitam sebagai bagian dari perundingan yang lebih besar.

    "Ketakutan akan kembalinya pasokan minyak Rusia ke pasar global mungkin menjadi salah satu faktor yang paling menekan harga minyak saat ini," tambah Kissler.

    Goldman Sachs pada Senin menyatakan bahwa pertumbuhan produksi minyak non-OPEC+ diperkirakan melambat sekitar 0,3 juta barel per hari (mb/d) dalam periode 12 bulan untuk setiap penurunan harga minyak sebesar USD10 per barel jika harga Brent berada di atas USD70.

    Bank investasi Wall Street ini memperkirakan pertumbuhan pasokan non-OPEC+ pada 2026 akan turun dari 1,05 mb/d menjadi 0,6 mb/d jika harga Brent pada tahun tersebut berada di USD60 per barel, dan turun lagi sebesar 0,1 mb/d jika harga Brent mencapai USD50 per barel.

    "Dampak negatif terhadap produksi ini pada akhirnya akan mendukung harga minyak sebesar USD5 hingga USD13 per barel, sehingga mencegah penurunan lebih lanjut dan menopang batas bawah harga Brent di kisaran pertengahan USD60," kata Goldman Sachs dalam laporannya.

    Pertumbuhan produksi minyak serpih AS diperkirakan turun 0,2 mb/d untuk setiap penurunan harga sebesar USD10 per barel jika Brent berada di atas USD70. Penurunan ini meningkat menjadi 0,5 mb/d per USD10 jika Brent berada di kisaran USD50 hingga USD70. Jika harga Brent turun di bawah USD30 per barel, produksi akan turun tajam akibat penutupan sumur minyak, menurut Goldman Sachs.

    Di luar AS, produsen non-OPEC+ menunjukkan respons yang lebih kecil tetapi tidak linear, dengan produksi turun 0,1 mb/d dalam 12 bulan untuk setiap penurunan harga minyak mentah sebesar USD10 per barel saat Brent berada di atas USD60. Penurunan ini bisa berlipat ganda jika harga turun ke kisaran USD40-USD60 dan berpotensi menyebabkan penutupan sumur minyak secara signifikan ketika harga mendekati biaya variabel produksi sumur, tambah bank tersebut.

    Di samping itu, OPEC+, yang terdiri dari OPEC dan sekutunya yang dipimpin Rusia, kemungkinan besar akan tetap menjalankan rencana peningkatan produksi minyak untuk bulan kedua berturut-turut pada Mei, menurut tiga sumber yang dikutip oleh Reuters. Keputusan ini diambil di tengah harga minyak yang relatif stabil serta upaya untuk mengimbangi kelebihan produksi sebelumnya.

    OPEC+, yang menguasai lebih dari 40 persen produksi minyak dunia, dijadwalkan menambah produksi sebesar 135.000 barel per hari pada Mei.

    Sejak 2022, OPEC+ telah memangkas produksi sebesar 5,85 juta barel per hari—setara dengan sekitar 5,7 persen dari pasokan global—sebagai bagian dari strategi mereka untuk menopang harga minyak di pasar internasional. (

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.