KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia kembali mengalami penurunan pada April 2024. Penurunan ini dipicu oleh kontraksi utang luar negeri baik dari sektor pemerintah maupun swasta.
Asisten Gubernur BI, Erwin Haryono, mengungkapkan bahwa posisi ULN pada April mencapai USD398,3 miliar atau setara dengan Rp6.486,71 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.286 per dollar AS).
Nilai ini mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar USD404,8 miliar.
“Secara tahunan, ULN Indonesia mencatat kontraksi pertumbuhan sebesar 1,5 persen (year on year/yoy), setelah sebelumnya tumbuh sebesar 0,2 persen (yoy) pada Maret 2024," kata Erwin dalam keterangannya yang dikutip pada Sabtu, 14 Juni 2024.
Erwin menambahkan, penurunan tersebut bersumber dari ULN sektor publik dan swasta.
Secara lebih terperinci, posisi ULN pemerintah pada akhir April 2024 tercatat sebesar USD189,1 miliar, turun dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar USD192,2 miliar.
Jika dilihat secara tahunan, ULN pemerintah mengalami kontraksi sebesar 2,6 persen, lebih dalam dibandingkan dengan kontraksi pada Maret yang sebesar 0,9 persen.
Erwin menjelaskan bahwa penurunan posisi ULN pemerintah terutama dipengaruhi oleh penyesuaian penempatan dana investor nonresiden pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik ke instrumen investasi lain seiring dengan peningkatan ketidakpastian di pasar keuangan global.
“Posisi ULN pemerintah masih terjaga, yang tercermin dari profil ULN yang sebagian besar, yaitu 99,98 persen, merupakan utang dengan tenor jangka panjang,” tutur Erwin.
“Pemerintah berkomitmen untuk tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara fleksibel dan oportunistik,” sambungnya.
Di sisi lain, posisi ULN swasta juga menunjukkan penurunan. Pada April, posisi ULN swasta tercatat sebesar USD195,2 miliar, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar USD198 miliar.
Secara tahunan, ULN swasta mengalami kontraksi sebesar 2,9 persen, lebih dalam dari kontraksi bulan sebelumnya yang sebesar 1,3 persen.
“ULN swasta tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,5 persen dari total ULN swasta,” kata Erwin.
Dengan perkembangan ini, BI mencatat bahwa rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) turun menjadi 29,1 persen, dari 29,3 persen pada Maret. Selain itu, ULN Indonesia juga didominasi oleh utang jangka panjang yang mencapai 87,1 persen dari total nilai utang.
“Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya,” ucap Erwin.
Di Tahun 2025, Utang Jatuh Tempo RI Rp800 Triliun
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan mengenai besarnya pembayaran utang jatuh tempo yang mencapai Rp800,33 triliun pada tahun 2025.
Menurut dia, utang yang besar tersebut tidak menjadi masalah selama kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ekonomi, dan politik Indonesia tetap stabil.
“Dalam kondisi di mana negara ini tetap kredibel, APBN-nya baik, kondisi ekonominya baik, dan politiknya stabil, maka risiko dari utang jatuh tempo yang besar hampir tidak ada, karena pasar percaya bahwa negara ini akan tetap stabil,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Kamis, 6 Juni 2024.
Dia menjelaskan bahwa pemegang surat utang Indonesia yang jatuh tempo mungkin tidak langsung mengambilnya karena masih membutuhkan investasi. Namun, jika stabilitas terganggu, mereka bisa menjual surat utang tersebut dan meninggalkan Indonesia.
Sri Mulyani juga menyoroti bahwa tingginya pembayaran utang jatuh tempo disebabkan oleh pandemi COVID-19, di mana Indonesia membutuhkan tambahan belanja hingga Rp1.000 triliun karena penurunan penerimaan negara sebesar 19 persen akibat berhentinya aktivitas ekonomi.
“Saat pandemi pada tahun 2020, utang yang jatuh tempo berkisar dalam waktu tujuh tahun, tetapi sekarang terkonsentrasi pada tiga tahun terakhir yaitu 2025, 2026, dan 2027, dengan sebagian kecil jatuh tempo di tahun 2028. Hal ini yang membuat persepsi tentang banyaknya utang yang terkumpul,” jelasnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Dolfie Othniel Frederic Palit mengungkapkan bahwa utang jatuh tempo Indonesia pada tahun 2025 mencapai Rp800,33 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan bahwa pengelolaan utang pada tahun 2025 perlu dilakukan dengan hati-hati mengingat tren suku bunga tinggi dan nilai tukar yang akan mempengaruhi belanja, termasuk pembayaran bunga utang.
“Dalam kondisi higher for longer dan tekanan pada nilai tukar pasti mempengaruhi belanja, terutama pembayaran bunga utang. Oleh karena itu, kita harus sangat hati-hati dalam mengelola utang dalam tren seperti ini,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI di Jakarta pada Rabu, 5 Juni 2024.
Sri Mulyani menyebutkan bahwa defisit APBN untuk tahun depan diperkirakan berada dalam kisaran 2,45-2,82 persen, sementara keseimbangan primer diperkirakan mengalami defisit 0,3-0,61 persen.
“Defisit APBN untuk tahun 2025 diperkirakan berada dalam kisaran 2,45 hingga 2,82 persen, di mana keseimbangan primer juga mengalami defisit sebesar 0,30 hingga 0,61 persen dari GDP,” jelas Sri Mulyani.
Adapun pembiayaan investasi yang diusulkan untuk tahun depan berkisar antara 0,30 hingga 0,50 persen dari produk domestik bruto (PDB). Selanjutnya, rasio utang diperkirakan berada dalam kisaran 37,98 hingga 38,71 persen.
“Kita tetap menjaga rasio utang dalam kisaran 37,98 hingga 38,71 persen dari GDP,” tambah Bendahara Negara itu.
Perlu dicatat bahwa pada tahun depan, pemerintahan akan berganti kepemimpinan di mana Indonesia akan dipimpin oleh presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka. (ian/*)