KABARBURSA.COM – Kinerja lingkungan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) memasuki tekanan sepanjang tiga tahun terakhir.
Dokumen Laporan Keberlanjutan Tahun 2023 dan 2024 yang dirilis perusahaan menunjukkan tren kenaikan emisi gas rumah kaca (GRK) dan konsumsi energi yang semakin besar, terutama pada tahun buku 2024. Kenaikan ini dipicu perubahan karakteristik bijih dan faktor cuaca yang menekan efisiensi operasional.
Dalam laporan terbaru, Vale secara eksplisit menyebut 2024 sebagai “tahun yang menantang”, dengan sejumlah indikator utama belum selaras dengan target internal.
Emisi dan konsumsi energi meningkat, sementara intensitas energi mencapai level tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Total emisi gas rumah kaca Scope 1 dan 2 pada 2024 tercatat sebesar 2.135.742 ton CO₂e, naik 9,4 persen dibanding 2023 yang berada di 1.951.516 ton CO₂e. Scope 1 mendominasi 99,9 persen dari total emisi, mencerminkan tingginya ketergantungan proses produksi terhadap batu bara, diesel, dan bahan bakar minyak untuk pengeringan dan peleburan bijih.
Di sisi energi, konsumsi meningkat tajam menjadi 31.785.655 GJ pada 2024, melonjak 64 persen dibanding realisasi 19.276.818 GJ pada 2023. Dibandingkan 2022, beban energi juga menunjukkan pertumbuhan besar dari posisi 26.956.105 GJ.
Intensitas energi pun terus meningkat dalam tiga tahun terakhir, mulai dari sekitar 430 GJ per ton nikel matte pada 2022, naik menjadi sekitar 440 GJ per ton pada 2023, dan mencapai 451,9 GJ per ton pada 2024.
Komposisi energi mencerminkan tekanan yang sama. Energi terbarukan yang bersumber dari tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA Larona, Balambano, dan Karebbe) berada pada level 18.577.208 GJ pada 2022, kemudian turun menjadi 9.551.444 GJ pada 2023 dan relatif stagnan di kisaran yang sama pada 2024.
Sebaliknya, energi tak terbarukan justru naik dari 8.378.897 GJ pada 2022 menjadi 9.725.374 GJ pada 2023, lalu melonjak signifikan ke 22.060.281 GJ pada 2024. Porsi energi bersih Vale pun turun stabil dari 31,1 persen pada 2022 menjadi 30,6 persen pada 2024.
Perusahaan menjelaskan bahwa tekanan konsumsi energi tahun lalu dipicu dua faktor teknis utama. Pertama, kadar nikel umpan bijih turun tipis menjadi 1,75 persen pada 2024 dari 1,76 persen pada 2023, sehingga pabrik harus mengolah volume bijih lebih besar guna memperoleh hasil produksi yang sama. Kedua, curah hujan tinggi sepanjang tahun meningkatkan kadar kelembapan bijih, dari rerata bulanan 240 mm pada 2023 menjadi 281,5 mm pada 2024.
Kondisi tersebut membuat proses pengeringan di tanur membutuhkan bahan bakar lebih banyak.
Peran tanur pereduksi semakin krusial dalam konsumsi energi. Teknologi reduction kiln menyumbang sepertiga dari total pemakaian energi Vale, dan menjadi salah satu titik sensitif ketika kadar bijih turun atau kadar air naik.
Kenaikan konsumsi energi fosil otomatis meningkatkan beban emisi Vale, mengingat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) hanya memasok sekitar 28 persen energi perusahaan pada 2024.
Dibandingkan capaian 2022, pola pemakaian energi menunjukkan perubahan yang signifikan. Energi terbarukan turun stabil dari 31,1 persen menjadi 30,6 persen dalam tiga tahun, sementara energi tak terbarukan terus naik mengikuti beban operasional.
Situasi ini menekan target jangka menengah Vale untuk menurunkan emisi absolut Scope 1 dan 2 sebesar 33 persen pada 2030 dan mencapai netral karbon pada 2050.
Tercermin pada Kinerja Vale Indonesia
Tekanan ini mulai tampak pada angka keuangan. Dalam Laporan Keuangan 2024, pendapatan Vale turun menjadi USD950,39 juta dari USD1,23 miliar pada 2023.
Beban pokok pendapatan memang sedikit turun dari USD885,24 juta menjadi USD842,16 juta, namun penurunan pendapatan yang lebih tajam membuat laba bruto merosot drastis dari USD347,02 juta menjadi hanya USD108,23 juta.
Margin kotor menyusut signifikan seiring kenaikan intensitas energi dan tekanan harga nikel global.
Laba usaha turun dari USD302,16 juta pada 2023 menjadi USD63,82 juta pada 2024, sementara laba bersih anjlok dari USD274,33 juta menjadi USD57,76 juta.
Secara kas, arus kas dari aktivitas operasi juga melemah dari USD421,16 juta pada 2023 menjadi USD207,49 juta pada 2024, seiring penurunan penerimaan dari pelanggan dan tetap tingginya pembayaran ke pemasok, pajak, dan karyawan.
Pada triwulan I 2025, Biaya Pendapatan tercatat turun 13 persen secara kuartalan menjadi USD187 juta dari USD213,8 juta pada kuartal IV 2024, sementara biaya penjualan tunai per ton turun dari USD8.978 menjadi USD8.501 per ton nikel matte.
Data ini menunjukkan bahwa meski konsumsi energi tinggi, penurunan harga batu bara dan HSFO serta perbaikan tata kelola pengadaan masih mampu menahan laju kenaikan biaya per unit.
Sementara jika tren ini berlanjut, tantangan Vale pada 2025 dapat kembali menajam. Mengingat porsi energi bersih masih berada pada kisaran 28 persen dan intensitas energi mencapai 451,9 GJ per ton nikel, kebutuhan untuk menekan konsumsi energi fosil akan menjadi bagian penting dari strategi perseroan untuk menjaga margin laba. (*)