KABARBURSA.COM - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tengah membahas skema pembiayaan pinjaman mahasiswa atau student loan. Ini didorong oleh keluhan mahasiswa, khususnya sarjana (S1) terkait mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di universitas.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah menjajaki pembahasan student loan bersama dewan pengawas (dewas) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Pembahasan tersebut berangkat dari banyaknya mahasiswa yang membutuhkan bantuan pinjaman, salah satunya untuk membayar kuliah.
“Kami sedang bahas dalam dewas LPDP, meminta LPDP mengembangkan student loan,” ujar Sri Mulyani. Namun Sri Mulyani bersama dewas LPDP tentu melihat adanya potensi masalah yang akan timbul dari kebijakan ini.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi. Ia mengatakan, student loan ini bisa menjadi solusi di tengah mahalnya uang kuliah.
"Memang dari diskusi kami dengan beberapa PUJK, ayo dong dibuat semacam Student Loan dengan harga dan mekanisme yang student friendly, yang memahami kalau sekarang mungkin belum bisa bayar, bayarnya nanti kalau anak ini sudah kerja. Jadi saya sedang mengajak yuk bareng-bareng bikin student loan, seperti di luar negeri banyak," ucapnya.
Friderica mengaku, sejatinya mekanisme student loan tersebut sudah ada di Indonesia. Namun demikian, student loan yang ada di Indonesia saat ini hanya menyasar pada mahasiswa pasca sarjana.
"Sekarang itu ada (student loan di Indonesia), tetapi kebanyakan itu diperuntukkan bagi mahasiswa S2 dan S3. Tapi mereka kan jatuhnya tergolong sudah mapan, sedangkan yang diperlukan itu mahasiswa S1," terang Friderica.
Perbankan Respons Student Loan
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), menyatakan bahwa bank swasta terbesar di Indonesia bersedia mengeksplorasi peluang dalam program pinjaman pendidikan ini. Bahkan, ia mengumumkan bahwa BCA akan melakukan proyek uji coba untuk produk pinjaman tersebut.
"Kami akan mempelajari program pinjaman pendidikan ini. Yang penting bagi bank adalah untuk mengetahui profil peminjam dan kebutuhannya. Intinya, kami akan menyusun daftar kriteria apa saja yang harus diperhatikan dalam student loan," ujar Jahja.
Mengenai risiko dari produk pinjaman ini, Jahja mengatakan bahwa hal itu tergantung pada profil calon peminjam. Ia juga menyoroti pentingnya memperhatikan asal universitas dari mahasiswa calon peminjam, terutama bagi mereka yang sudah mendekati tahun kelulusannya.
"Ya, yang penting adalah dari universitas mana dia berasal, terutama jika mereka sudah mendekati akhir studinya. Jika seseorang menerima pinjaman pada awalnya dan tiba-tiba putus sekolah, tentu saja itu akan menjadi masalah. Oleh karena itu, kita harus memperhatikan daftar kriteria yang diberikan," tambah Jahja.
Sementara itu, jika seorang mahasiswa memenuhi kriteria dan kemudian memiliki karier yang sukses, maka produk pinjaman pendidikan ini akan memberikan hasil yang baik. "Kita akan menunggu dan melihat. Jika kriteria yang dimiliki seseorang baik, saya rasa tidak akan menjadi masalah. Banyak contoh mahasiswa yang berhasil dalam karier mereka setelah lulus dari sekolah," tambah Jahja.
Royke Tumilaar, Direktur Utama BNI, juga mengumumkan bahwa perusahaan saat ini sedang menyiapkan program pinjaman pendidikan yang sesuai untuk mahasiswa di Indonesia. Menurutnya, mahasiswa di Indonesia sudah semakin familiar dengan berbagai produk layanan keuangan seperti tabungan, investasi, dan pembiayaan. Selain itu, mahasiswa Indonesia juga memiliki kemampuan dalam mengelola keuangan mereka sendiri untuk mencapai berbagai tujuan karier.
Sebagai bank kampus, Royke menjelaskan bahwa produk pembiayaan pendidikan dari BNI akan memiliki jangka waktu pembayaran yang fleksibel, berkisar antara tiga hingga lima tahun. Sampai saat ini, ada lima kampus yang akan menjadi proyek percobaan, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Airlangga (Unair).
"Kami berharap produk ini dapat menjadi solusi bagi kebutuhan pembiayaan pendidikan yang semakin meningkat. Semoga semakin banyak mahasiswa yang memahami produk-produk perbankan dan dapat menggunakannya dengan sebaik mungkin," katanya dalam pernyataan tertulis beberapa waktu yang lalu.
Student Loan di AS
Student loan menjadi sorotan di Amerika Serikat (AS) pada awal tahun 2024 karena banyak mahasiswa yang terjebak dalam skema tersebut mengalami gagal bayar dan menghadapi kesulitan finansial. Sebuah studi yang dilakukan oleh Federal Reserve Bank of Philadelphia pada awal tahun 2024, yang dikutip dari Bloomberg pada Selasa, 21 Mei, menyatakan bahwa lebih dari separuh warga AS mengalami gagal bayar dalam pembayaran student loan, yang juga dikenal sebagai pinjaman mahasiswa.
Studi yang dikeluarkan oleh Federal Reserve Bank of Pihladelphia (Institut Keuangan Konsumen Fed Philadelphia) pada awal 2024 menyatakan lebih dari separuh warga AS gagal membayar student loan, yang disebut juga sebagai pinjaman mahasiswa.Studi ini diambil setelah berlakunya kembali program Studen Loan pada Oktober 2023 di bawah kepemimpinan Presiden AS, Joe Biden.
Diketahui Joe Biden sampai mencari cara agar pembayaran kembali student loan tersebut dapat dikelola. Data menunjukkan sekitar 22 persen peminjam setidaknya gagal bayar satu kali pembayaran dari jadwal pembayaran seharusnya. Setidaknya setengah kelompok yang diambil datanya menyatakan mereka akan melewatkan ketiga pembayaran tersebut.
Di antara mereka yang membayar kurang dari pembayaran penuh, lebih dari setengahnya melakukannya karena mereka merasa tidak terjangkau. Sekitar 15 persen mengatakan mereka secara strategis melewatkan atau menunda cicilan karena non-pembayaran tidak dapat dilaporkan ke perusahaan pemeringkat kredit hingga akhir tahun ini. Selain itu, sekitar 12 persen peminjam dalam survei ini menyatakan kapasitas mereka untuk melakukan pembayaran akan memburuk setelah bulan Oktober, dan meningkat menjadi 17 persen yang mengatakan bahwa mereka tidak memperkirakan akan membayar pada bulan Desember.
Hal ini juga sejalan dengan Data yang dikeluarkan Departemen Pendidikan mengenai transfer ke Departemen Keuangan AS yang menunjukkan pembayaran bulanan menurun setelah lonjakan awal ketika pembekuan berakhir. Sebelumnya ada pembekuan pembayaran selama 3 1/2 tahun imbas pandemi Covid-19.
"Secara keseluruhan, ada beberapa tanda yang “menggembirakan” bahwa para peminjam berhasil memulai kembali perekonomian dengan lebih baik daripada yang mereka khawatirkan, namun juga “bukti jelas bahwa tekanan yang dialami peminjam belum teratasi," kata penulis laporan Tomás Monarrez dan Dubravka Ritter.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.