KABARBURSA.COM - Pasar saham AS kembali terperosok pada Rabu, 12 Maret 2025, dini hari WIB. Penurunan ini memperpanjang aksi jual terbesar dalam beberapa bulan terakhir. Investor semakin khawatir dengan dampak ancaman tarif terbaru terhadap ekonomi global.
Perdagangan berlangsung liar karena dipengaruhi oleh pernyataan yang saling bertentangan terkait tarif. Sempat ada dorongan positif setelah Ukraina dan Rusia dikabarkan mencapai kemajuan menuju gencatan senjata, tetapi efeknya hanya berlangsung sesaat sebelum pasar kembali melemah.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2025, Indeks S&P 500 (.SPX) turun hingga menyentuh level 5.528,41, mendekati batas koreksi pasar sebesar 10 persen dari rekor tertinggi 6.144,15 yang dicapai pada 19 Februari. Sentimen negatif makin dalam setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kenaikan tarif dua kali lipat menjadi 50 persen terhadap semua produk baja dan aluminium impor dari Kanada yang dijadwalkan berlaku dalam hitungan jam.
Kebijakan ini memperparah kecemasan investor. Pasar khawatir langkah Trump yang agresif—termasuk tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan China—bisa memicu perlambatan ekonomi, bahkan resesi.
Sehari sebelumnya, S&P 500 mencatat penurunan harian terbesar sejak 18 Desember, menghapus lebih dari USD1,3 triliun (Rp21.450 triliun) kapitalisasi pasar dalam sehari. Jika dihitung dari puncak tertingginya, total kapitalisasi pasar yang lenyap sudah mencapai USD4 triliun (Rp66.000 triliun). Sementara itu, Nasdaq yang didominasi saham teknologi telah resmi memasuki koreksi 10 persen sejak pekan lalu.
Dalam dua sesi terakhir, S&P 500 merosot lebih dari 3,4 persen, menjadi penurunan terbesar sejak awal Agustus.
“Situasi ini menciptakan ketidakpastian besar di pasar. Makanya kita melihat reaksi ‘jual dulu, baru cari tahu nanti’ yang terus berulang,” kata Kepala Strategi Pasar di SlateStone Wealth, Ken Polcari.
Pasar sempat mendapat angin segar setelah AS setuju melanjutkan bantuan militer dan berbagi intelijen dengan Ukraina, usai pertemuan di Arab Saudi. Kyiv dikabarkan siap menerima usulan gencatan senjata selama 30 hari yang diajukan AS.
Selain itu, ada kabar baik dari Premier Ontario yang menyetujui penangguhan tarif ekspor listrik sebesar 25 persen ke Michigan, New York, dan Minnesota. Namun, euforia pasar tidak bertahan lama. Ketidakpastian soal tarif, belanja pemerintah, dan kebijakan ekonomi AS masih menjadi faktor utama yang membebani pergerakan saham.
“Pasar memang mencari sesuatu untuk dijadikan alasan optimisme setelah pekan yang berat. Tapi, sulit membuat keputusan besar hanya berdasarkan sesuatu yang mungkin terjadi,” ujar Kepala Strategi Pasar di Commonwealth Financial Network, Chris Fasciano.
Menurutnya, selama belum ada kepastian soal kebijakan tarif, gencatan senjata Rusia-Ukraina atau arah belanja pemerintah AS, investor cenderung enggan melakukan perubahan besar dalam portofolio mereka.
Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Masih di Zona Merah
Di penutupan perdagangan Rabu dini hari:
- Dow Jones Industrial Average (.DJI) turun 478,23 poin (-1,14 persen) ke 41.433,48
- S&P 500 (.SPX) melemah 42,49 poin (-0,76 persen) ke 5.572,07
- Nasdaq Composite (.IXIC) terkoreksi 32,23 poin (-0,18 persen) ke 17.436,10
Pasar global semakin tidak menentu sejak Trump kembali memulai perang tarif dengan mitra dagang utama AS. Ditambah dengan data ekonomi terbaru yang mengindikasikan pelemahan ekonomi, investor kini menanti laporan inflasi AS yang akan dirilis Rabu. Data ini akan menjadi petunjuk apakah upaya menekan inflasi mulai menunjukkan hasil atau justru makin jauh dari target.
Saham Ritel dan Maskapai Paling Terpukul
Seluruh 11 sektor utama dalam indeks S&P 500 ditutup di zona merah pada perdagangan Selasa. Sektor teknologi dan barang konsumsi non-primer mencatatkan penurunan paling kecil, meskipun sepanjang tahun ini menjadi dua sektor dengan kinerja terburuk.
Ketidakpastian tarif Trump juga mulai berdampak pada sentimen konsumen dengan semakin banyak eksekutif perusahaan yang memperingatkan potensi tekanan terhadap laporan keuangan mereka di kuartal mendatang.
Beberapa perusahaan ritel dan maskapai mencatatkan penurunan tajam akibat prospek bisnis yang melemah:
- Saham Kohl’s (KSS.N) anjlok 24,1 persen setelah perusahaan memperkirakan penurunan penjualan tahunan lebih besar dari perkiraan.
- Dick’s Sporting Goods (DKS.N) turun 5,7 persen setelah menyampaikan proyeksi kinerja tahunan yang mengecewakan.
- Delta Air Lines (DAL.N) terjungkal 7,3 persen setelah memangkas proyeksi laba kuartal pertama hingga separuhnya.
- American Airlines (AAL.O) merosot 8,3 persen usai memperkirakan kerugian kuartal pertama lebih besar dari ekspektasi.
- Kinerja buruk saham maskapai menyeret indeks transportasi Dow (.DJT) turun 3,1 persen.
- Oracle (ORCL.N) turun 3,1 persen. setelah melaporkan pendapatan kuartalan di bawah ekspektasi analis.
Di sisi lain, Citi menjadi broker terbaru yang menurunkan peringkat saham AS dengan mengubah rekomendasi dari overweight menjadi neutral. Langkah ini semakin memperburuk sentimen di pasar.
Secara keseluruhan, jumlah saham yang melemah lebih banyak dibanding yang menguat dengan rasio 1,6 berbanding 1 di NYSE dan 1,1 berbanding 1 di Nasdaq.
Di S&P 500, empat saham mencatatkan harga tertinggi dalam 52 minggu terakhir, sementara 17 saham menyentuh level terendah baru. Nasdaq lebih parah, mencatatkan 22 saham di level tertinggi dan 352 saham di titik terendah dalam setahun terakhir.
Volume perdagangan di bursa AS mencapai 19,01 miliar saham, lebih tinggi dari rata-rata 16,56 miliar saham per sesi dalam 20 hari terakhir. Hal ini menunjukkan tekanan jual yang masih dominan di pasar.(*)