KABARBURSA.COM – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan bahwa kondisi bencana alam di Indonesia bisa berdampak signifikan terhadap pasar saham dan stabilitas ekonomi nasional. Dalam Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana 2025, Suahasil menyoroti bagaimana bencana besar dapat mengganggu aktivitas ekonomi, investasi, serta aliran modal, yang pada akhirnya bisa memengaruhi kepercayaan investor di pasar saham.
“Kita semua tahu bahwa dalam kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian ini, risiko bencana alam menjadi faktor tambahan yang bisa memperberat situasi pasar keuangan. Setiap kali terjadi bencana besar, ada dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja negara, hingga investasi,” ujar Suahasil dalam sambutannya, Kamis, 20 Maret 2025.Lebih lanjut, Suahasil menjelaskan bahwa ketidakpastian ekonomi global, termasuk perang dagang antara Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa, serta dampak perubahan iklim, turut memberikan tekanan terhadap stabilitas pasar saham Indonesia. Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia juga menghadapi tantangan besar dari segi perubahan iklim yang memicu bencana alam, seperti banjir besar di Jabodetabek dan erupsi gunung berapi di beberapa daerah.
Bencana dan Dampaknya pada Pasar Saham
Suahasil menyoroti bahwa pasar saham Indonesia baru-baru ini mengalami tekanan akibat faktor eksternal dan internal, termasuk bencana alam. Menurutnya, pada 19 Maret 2025, IHSG sempat anjlok hingga 7 persen, memicu mekanisme trading halt di Bursa Efek Indonesia (BEI). Meski demikian, pasar surat berharga negara (SBN) masih relatif stabil, menunjukkan bahwa investor tetap memiliki kepercayaan terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
“Kita melihat bahwa ada investor yang keluar dari pasar saham dan beralih ke surat berharga negara. Ini menunjukkan adanya pergeseran investasi, bukan hilangnya kepercayaan secara total. Namun, kondisi ini tetap perlu kita waspadai,” jelas Suahasil.
Ia juga menambahkan bahwa Indonesia perlu memperkuat strategi mitigasi risiko bencana guna menjaga daya tarik investasi dan memastikan stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
Kebijakan APBN dan Antisipasi Risiko Bencana
Dalam menghadapi risiko bencana yang dapat mengganggu pasar keuangan, pemerintah terus mengalokasikan dana dalam APBN untuk mitigasi dan respons cepat terhadap bencana. Suahasil menjelaskan bahwa sejak 2022, pemerintah telah mengalokasikan dana siap pakai sebesar Rp250 miliar per tahun, namun realisasinya bisa mencapai lebih dari Rp4 triliun tergantung pada tingkat bencana yang terjadi.
Selain itu, pemerintah juga mengandalkan belanja tidak terduga di tingkat daerah untuk menangani bencana skala kecil hingga menengah. “Efisiensi anggaran tetap menjadi prioritas, namun kami memastikan bahwa alokasi untuk penanggulangan bencana tetap tersedia dan memadai,” ujarnya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto menambahkan bahwa dampak bencana terhadap ekonomi nasional sangat besar. Sebagai contoh, banjir besar di Jabodetabek pada Maret 2025 telah menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp800 miliar, sementara erupsi Gunung Marapi di Sumatera Barat menelan korban jiwa serta menyebabkan gangguan aktivitas ekonomi di wilayah terdampak.
“Bencana alam tidak hanya merusak infrastruktur dan mengganggu aktivitas ekonomi lokal, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi investor. Oleh karena itu, kami terus berupaya meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana agar dampaknya terhadap ekonomi bisa diminimalkan,” ujar Suharyanto.
Trio Masalah IHSG: Fiskal Defisit, Trump 2.0, Panic Selling
Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG kembali mengalami tekanan hebat, anjlok lebih dari 5 persen dalam satu sesi hingga memicu trading halt pada Selasa, 18 Maret 2025. Fenomena ini bukan sekadar koreksi teknikal, tetapi refleksi dari kombinasi tiga faktor besar, yakni defisit fiskal domestik, aksi rebalancing aset akibat kebijakan Trump 2.0, serta aksi jual besar-besaran di emiten tertentu.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kejatuhan IHSG bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan akumulasi tekanan yang telah berlangsung selama enam bulan terakhir. “Sejak 6 bulan yang lalu konsisten mengalami penurunan. Kemudian satu hari kemarin, itu betul-betul penurunan yang sangat dramatis. Saya melihatnya ada 3 variable utama yang muncul bersamaan,” katanya kepada dalam program Bursa Pagi-pagi seperti disiarkan Channel YouTube Kabar Bursa, Rabu, 19 Maret 2025.
Pertama dari sisi domestik. Wijayanto mengatakan kondisi fiskal yang memburuk menjadi perhatian utama investor. Defisit APBN per Februari 2025 lebih besar dari ekspektasi, sementara outlook fiskal tahun ini dianggap berat. Hingga empat bulan pemerintahan baru berjalan, kebijakan ekonomi masih bersifat bombastis, tapi minim realisasi teknokratis.
Selain itu, pasar sedang menanti sovereign rating Indonesia yang akan dirilis oleh Moody’s dan Fitch pada April, serta S&P pada pertengahan tahun. Jika kondisi ekonomi dinilai memburuk, ada kemungkinan peringkat utang Indonesia turun yang bisa memperburuk sentimen investor. “Situasi yang tidak menggembirakan ini bisa membuat rating kita berpotensi turun,” ujar Wijayanto.
Kedua adalah faktor eksternal juga ikut memperburuk keadaan. Sejumlah hedge fund global tengah melakukan rebalancing aset dengan memindahkan dana dari negara-negara yang dianggap berisiko ke aset yang lebih aman. Kebijakan perdagangan Trump 2.0 yang kembali mengusung tarif tinggi dan kebijakan proteksionis, menjadi pemicu utamanya.
Indonesia masuk dalam daftar negara dengan risiko meningkat akibat kombinasi defisit fiskal, pelemahan rupiah, dan ketidakpastian kebijakan ekonomi. “Investor besar melihat risiko di Indonesia sedang naik,” ujar Wijayanto.
Ketiga dari sisi pasar modal, aksi jual besar-besaran terjadi di emiten-emiten konglomerasi seperti BREN, TPIA, dan DCII, yang sebelumnya sempat mengalami kenaikan tajam akibat aksi buyback.(*)