KABARBURSA.COM - Sejumlah emiten di Bursa Efek Indonesia dijadwalkan akan membagikan dividen tunai kepada para pemegang saham pada awal Juni 2025.
Momentum ini menjadi perhatian investor, terutama bagi mereka yang mengejar potensi pendapatan pasif dari dividen, meskipun tetap perlu mempertimbangkan faktor fundamental dan tren kinerja emiten secara menyeluruh.
Pada tanggal 4 Juni 2025, terdapat tujuh emiten yang akan mengeksekusi pembayaran dividen kepada investornya. Daftar tersebut mencakup perusahaan energi hingga transportasi, yakni PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Panorama Sentrawisata Tbk (PANR), PT Plaza Indonesia Realty Tbk (PLIN).
Kemudian, PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU), PT Rukun Raharja Tbk (RAJA), PT Segar Kumala Indonesia Tbk (BUAH), dan PT Weha Transportasi Indonesia Tbk (WEHA). Pembagian dividen oleh emiten-emiten ini menandakan distribusi laba atau hasil usaha kepada para pemegang saham, meski nilai dan yield masing-masing tentu bervariasi.
Selang sehari, giliran 12 emiten lainnya yang dijadwalkan melakukan pembayaran dividen pada 5 Juni 2025. Daftar ini cukup beragam dan mencakup perusahaan besar seperti PT Astra International Tbk (ASII) dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR), yang dikenal memiliki basis bisnis yang kuat.
Selain itu, ada pula nama-nama seperti PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS), PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), hingga emiten teknologi dan industri lainnya seperti PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) dan PT Paperocks Indonesia Tbk (PPRI).
Bagi investor, momen pembagian dividen ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, dividen memberikan imbal hasil langsung yang menarik.
Namun di sisi lain, perlu diwaspadai apakah pembagian dividen tersebut benar-benar berasal dari kinerja berkelanjutan atau hanya sekadar "pemanis sesaat" yang menyamarkan tekanan bisnis.
Karena itu, penting untuk menganalisis lebih dalam konteks dan kesehatan keuangan masing-masing emiten sebelum menjadikan dividen sebagai dasar keputusan investasi.
Jangan Terlena Iming-iming Yield Tinggi
Di dunia saham, tidak sedikit investor yang tergoda pada emiten yang menawarkan dividen tinggi. Imbal hasil besar dari dividen memang tampak menarik, apalagi jika dibandingkan dengan bunga deposito yang cenderung stagnan.
Namun, perlu diingat: tidak semua dividen tinggi layak dirayakan. Dalam banyak kasus, justru di situlah "jebakan batman" tersembunyi—daya pikat yang menutupi risiko fundamental sebuah perusahaan.
Secara sederhana, dividen adalah pembagian laba perusahaan kepada pemegang saham. Idealnya, dividen mencerminkan kinerja keuangan yang sehat dan berkelanjutan.
Tapi dalam praktiknya, tak jarang perusahaan membagikan dividen dari sumber yang tidak semestinya, misalnya dari utang atau hasil penjualan aset, bukan dari keuntungan operasional murni. Dividen jenis ini umumnya bersifat temporer, tidak berulang, dan bisa menyesatkan persepsi investor.
Ada juga kasus di mana dividen tampak tinggi bukan karena perusahaan begitu royal, tapi karena harga sahamnya sudah terpuruk.
Yield dividen yang terlihat besar secara persentase, kadang merupakan hasil dari harga saham yang turun drastis akibat memburuknya prospek usaha. Dalam kondisi seperti itu, dividen malah bisa jadi sinyal bahaya, bukan peluang.
Lalu bagaimana investor bisa mengenali sinyal dividen yang sehat dan mana yang berpotensi menjebak? Ada beberapa indikator yang bisa jadi alarm, yaitu:
- Payout Ratio Lebih dari 100 Persen
Misalnya, jika payout ratio atau persentase laba yang dibagikan sebagai dividen, melebihi 100 persen, berarti perusahaan membagikan lebih dari yang seharusnya.
- Arus Kas dari Aktivitas Operasional Negatif
Atau jika arus kas dari aktivitas operasional negatif, namun tetap ngotot membayar dividen, itu bisa menandakan manajemen sedang berusaha menjaga harga saham, bukan membagikan keuntungan yang riil.
Contoh nyata pernah terjadi pada beberapa emiten yang sempat mengumumkan dividen jumbo, namun harga sahamnya langsung turun tajam setelah ex-date.
Tak jarang pula, tahun berikutnya perusahaan tersebut mencatatkan kerugian besar, dan tak lagi mampu membayar dividen. Investor yang membeli di puncak euforia dividen akhirnya justru terjebak di saham yang stagnan atau bahkan terus melemah.
Hindari FOMO Jelang Cum Date
Sayangnya, banyak investor masih terpaku pada angka yield dividen tanpa melihat konteks dan kualitasnya. Fenomena FOMO (fear of missing out) juga sering terjadi menjelang cum date, saat para investor buru-buru masuk hanya demi mengejar dividen, tanpa mempertimbangkan potensi kerugian harga saham setelahnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menghindari jebakan ini?
- Pastikan dividen berasal dari laba bersih yang berkelanjutan.
- Cek riwayat arus kas, tren margin keuntungan, dan kinerja operasional perusahaan setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
- Bandingkan juga dengan emiten sejenis di sektornya, apakah yield dividen itu masih masuk akal atau terlalu di luar pakem.
Investor juga perlu mencermati kebijakan manajemen soal dividen, apakah perusahaan rutin membayar dividen dalam jangka panjang, atau hanya sesekali saat ingin membangun citra positif.
Dan yang tak kalah penting: lihat ke depan. Bagaimana prospek usaha perusahaan 1–2 tahun ke depan? Apakah lingkungan bisnisnya mendukung keberlanjutan laba?
Pada akhirnya, dividen seharusnya menjadi bonus dari perusahaan yang sehat, bukan umpan dari yang sedang kesulitan. Investor yang bijak tahu bahwa angka besar di atas kertas belum tentu sejalan dengan kenyataan di balik layar.
Jangan sampai niat mengejar pendapatan pasif justru berujung pada penyesalan. Dalam dunia saham, yang tampak manis belum tentu benar-benar menguntungkan.(*)