KABARBURSA.COM – Harga minyak dunia melonjak lebih dari 1 persen pada Senin, 17 Maret 2025. Kenaikan harga minyak tersebut didorong oleh tekanan geopolitik usai serangan terhadap Houthi di Yaman.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, harga minyak mentah Brent naik sebesar 1,06 persen menjadi USD71,33 per barel. Sedangkan untuk harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 1,12 persen menjadi USD67,94 per barel.
Pernyataan Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengungkapkan rencananya untuk terus membombardir Houthi Yaman hingga kelompok ini berhenti mengganggu setiap pengiriman sehingga mengakibatkan kecemasan terhadap gangguan pasokan sehingga membuat harga minyak melonjak pada perdagangan awal pekan.
Pada Senin, harga minyak mengalami kenaikan signifikan, sementara kontrak berjangka saham AS melemah dan pasar saham Asia menunjukkan tren positif. Investor saat ini tengah mencermati perbedaan kondisi ekonomi antara Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Sejumlah pihak memprediksi akan penuh dengan agenda penting, terutama pertemuan berbagai bank sentral, termasuk Federal Reserve AS, yang kemungkinan besar akan mempertahankan suku bunga dalam keputusan yang diumumkan pada Rabu mendatang.
Analis pasar senior di IG Australia Tony Sycamore mengatakan bahwa pihaknya masih melihat ketegangan geopolitik. “Jika harga minyak mentah naik di atas USD68,50, saya pikir itu bisa memicu aksi short covering di pasar,” ujarnya.
Harga Sempat Rontok
Sebelumnya, harga minyak global mengalami tekanan tajam pada perdagangan Kamis akibat meningkatnya kekhawatiran terkait kondisi ekonomi makro serta ketegangan perdagangan internasional yang berpotensi menghambat permintaan energi.
Minyak mentah berjangka Brent, yang menjadi acuan global, turun 1,5 persen atau USD1,07, ditutup di level USD69,88 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), yang menjadi patokan harga di Amerika Serikat, melemah 1,7 persen atau USD1,13, menjadi USD66,55 per barel.
Salah satu faktor utama yang membebani pasar minyak adalah ketidakpastian yang muncul akibat perselisihan perdagangan antara Amerika Serikat dan sejumlah mitra dagangnya. Presiden AS Donald Trump mengancam akan menerapkan tarif sebesar 200 persen terhadap berbagai produk alkohol impor dari Eropa, termasuk anggur dan cognac.
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran investor akan eskalasi perang dagang yang lebih luas, yang pada akhirnya dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan menekan permintaan minyak.
Di sisi lain, pasar energi juga memperhatikan perkembangan geopolitik yang berkaitan dengan konflik Rusia-Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan kesiapannya untuk mempertimbangkan usulan gencatan senjata dari Amerika Serikat, tetapi menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus mengatasi akar konflik yang ada. Meski ada peluang penghentian sementara pertempuran, analis tetap skeptis bahwa hal ini akan berdampak besar terhadap pasokan minyak Rusia di pasar global.
Laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA) semakin menekan harga minyak, dengan prediksi bahwa pasokan global pada tahun ini berpotensi melebihi permintaan hingga 600.000 barel per hari.
Permintaan minyak dunia kini diperkirakan hanya akan meningkat 1,03 juta barel per hari, lebih rendah 70.000 barel dibandingkan proyeksi sebelumnya. Penurunan ini mencerminkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global serta dampak ketegangan perdagangan yang menekan aktivitas industri dan konsumsi energi.
Selain itu, dinamika harga minyak juga dipengaruhi oleh kebijakan negara-negara produsen utama. Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) melaporkan bahwa Kazakhstan mencatat peningkatan produksi minyak mentah pada Februari, sementara negara-negara anggota OPEC+ masih berusaha menjaga kepatuhan terhadap target produksi yang telah disepakati.
Meskipun sejumlah anggota menunjukkan komitmen terhadap pengurangan produksi, terdapat indikasi bahwa kebijakan pemangkasan output dapat dihentikan dalam waktu dekat.
Di tengah dominasi sentimen negatif di pasar, prospek harga minyak untuk paruh kedua tahun 2025 masih menjadi perdebatan. Beberapa analis memperkirakan harga Brent akan berada di kisaran USD60 per barel, sejalan dengan kebijakan Trump yang condong mendorong harga minyak lebih rendah.
Namun, ada faktor lain yang dapat menopang harga minyak, seperti peningkatan permintaan global yang tercatat mencapai rata-rata 102,2 juta barel per hari pada 11 Maret, meningkat 1,7 juta barel dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, permintaan bahan bakar jet yang melambat turut membebani pasar minyak. Data dari Badan Keamanan Transportasi AS menunjukkan bahwa volume penumpang pada Maret turun 5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, setelah mengalami stagnasi pada Februari. Pelemahan ini mencerminkan ketidakpastian pemulihan sektor penerbangan, yang selama ini menjadi salah satu faktor utama dalam konsumsi bahan bakar global.
Dengan berbagai faktor yang memengaruhi pasar minyak, investor saat ini berada dalam kondisi tarik-ulur antara fundamental pasokan dan permintaan yang masih cukup kuat serta ketidakpastian kebijakan perdagangan dan geopolitik yang terus berkembang. Ke depan, pergerakan harga minyak akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan tensi perdagangan global, kebijakan produksi OPEC+, serta potensi langkah lanjutan dalam diplomasi Rusia-Ukraina.(*)