KABARBURSA.COM - Maraknya praktik pemalsuan kosmetik di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran yang besar di kalangan masyarakat, terutama para konsumen yang menjadi pihak paling dirugikan.
Penggunaan produk kosmetik palsu bukan hanya sekadar merugikan dari sisi ekonomi, tetapi juga berisiko terhadap kesehatan penggunanya. Efek samping yang ditimbulkan bisa berupa iritasi kulit, alergi, hingga gangguan kesehatan yang lebih serius akibat kandungan bahan berbahaya dalam produk ilegal tersebut.
Menanggapi fenomena ini, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga perlindungan konsumen menyatakan bahwa setiap konsumen memiliki hak untuk menuntut pengembalian uang jika terbukti membeli kosmetik palsu tanpa menyadari keasliannya.
Dalam hal ini, tanggung jawab utama berada pada penjual, terutama jika mereka tidak memberikan informasi yang jelas terkait keaslian produk yang dijual. Jika kosmetik palsu yang dikonsumsi telah menyebabkan kerugian fisik atau efek negatif lainnya, konsumen juga berhak menuntut ganti rugi yang lebih besar, terutama kepada penjual besar seperti supermarket yang memiliki tanggung jawab lebih dalam memastikan keaslian produk yang mereka distribusikan.
Dalam aspek hukum, hak konsumen untuk menuntut ganti rugi telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya dalam Pasal 1504 dan Pasal 1507. Namun, regulasi tersebut tidak memberikan dasar hukum bagi konsumen untuk menuntut produsen asli dari produk yang dipalsukan. Hal ini dikarenakan produsen asli justru menjadi pihak yang juga dirugikan akibat tindakan pemalsuan tersebut, baik dari segi reputasi maupun potensi penurunan kepercayaan konsumen terhadap merek mereka.
Kasus pemalsuan kosmetik ini menjadi peringatan bagi semua pihak, baik konsumen, penjual, maupun pemerintah. Konsumen diharapkan lebih cermat dalam memilih produk yang akan digunakan dengan memastikan membeli dari sumber terpercaya serta memperhatikan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Para penjual perlu lebih selektif dalam memilih produk yang mereka distribusikan agar tidak ikut terlibat dalam penyebaran produk ilegal yang dapat merugikan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan memperketat pengawasan serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku pemalsuan agar kasus serupa tidak semakin meluas.
Influencer Skincare Kembalikan Uang Pembeli
[caption id="attachment_122047" align="aligncenter" width="700"] Luo Wangyu, influencer skincare.[/caption]
Dalam era digital saat ini, influencer memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini masyarakat, terutama dalam industri kecantikan. Namun, tidak jarang pengaruh tersebut menimbulkan kontroversi, seperti yang terjadi di China baru-baru ini.
Seorang influencer bernama Luo Wangyu mendapati dirinya berada di tengah badai kritik setelah produk kecantikan yang ia promosikan di media sosial terbukti memiliki klaim palsu. Luo, yang sebelumnya memiliki lebih dari 20 juta pengikut di platform Douyin, harus menghadapi konsekuensi besar akibat promosi produk yang ternyata tidak sesuai dengan klaim yang dijanjikan.
Produk yang dipermasalahkan adalah Cosmetics Skin Solutions (CSS), yang diklaim memiliki kandungan zaitun tinggi dan berfungsi untuk mencegah penuaan dini.
Namun, investigasi yang dilakukan oleh seorang blogger China bernama Dahu Kedaibiao mengungkapkan bahwa produk ini tidak mengandung oleuropein atau hydroxytyrosol, dua komponen utama dalam ekstrak daun zaitun yang diyakini memiliki manfaat anti-penuaan. Hasil pengujian yang dilakukan di CAIQ Cosmetics Tech Center di Beijing pun menguatkan temuan ini, memicu kehebohan di media sosial.
Menyadari besarnya dampak dari kontroversi ini, Luo mengambil langkah cepat dengan menghubungi pihak berwenang dan mengajukan keluhan resmi kepada otoritas pengawasan pasar di Shanghai. Ia juga mengirimkan surat hukum kepada pihak produsen CSS untuk meminta klarifikasi mengenai kandungan produk yang ia promosikan.
CSS, yang didirikan di Shanghai pada tahun 2022, awalnya mempertahankan klaim bahwa produk mereka legal dan berkhasiat. Namun, dengan meningkatnya tekanan dari publik dan hasil investigasi yang tidak menguntungkan, perusahaan akhirnya berjanji untuk mengembalikan uang kepada pelanggan yang telah membeli produk mereka dalam tiga bulan terakhir, asalkan kemasannya belum dibuka.
Kasus ini tidak hanya mempengaruhi reputasi CSS, tetapi juga mengguncang dunia influencer. Luo, sebagai figur utama dalam promosi produk ini, mengambil tanggung jawab penuh dengan berjanji akan mengembalikan uang sebesar 150 juta yuan atau sekitar Rp334 miliar kepada para pelanggan yang merasa dirugikan. Ia juga meminta maaf kepada para pengikutnya yang telah menunggu kepastian pengembalian dana.
Dampak dari insiden ini cukup besar terhadap karier Luo di media sosial. Sejak kontroversi ini mencuat, jumlah pengikutnya menurun dari 20 juta menjadi 18,5 juta. Dalam sebuah video emosional, ia mengungkapkan niatnya untuk meninggalkan media sosial sementara waktu, mengakui bahwa ia tidak lagi merasa relevan dalam dunia digital yang selama ini membesarkan namanya.
Kasus Luo Wangyu menjadi pengingat penting bagi konsumen untuk lebih berhati-hati dalam membeli produk berdasarkan ulasan influencer. Di sisi lain, para influencer juga harus lebih selektif dalam memilih produk yang mereka promosikan agar tidak kehilangan kepercayaan pengikutnya. Industri kecantikan digital kini menghadapi tantangan baru untuk memastikan transparansi dan kredibilitas, demi me
lindungi konsumen dari klaim yang menyesatkan.
BPOM Gencarkan Penindakan
[caption id="attachment_122036" align="aligncenter" width="680"] Rangkaian kosmetik ilegal yang berhasil disita BPOM. Foto: BPOM[/caption]
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kembali melakukan penindakan terhadap sebuah pabrik kosmetika ilegal yang beroperasi tanpa izin edar serta diduga menggunakan bahan-bahan berbahaya dalam produksinya.
Salah satu yang telah ditindak oleh BPOM adalah sebuah pabrik yang berlokasi di Pergudangan Elang Laut, Sentra Industri, Jakarta Utara. Operasi ini merupakan respons atas laporan masyarakat yang mencurigai adanya praktik produksi kosmetik yang tidak memenuhi standar keamanan dan peraturan yang berlaku.
Dalam upaya memberantas peredaran kosmetika ilegal ini, BPOM bekerja sama dengan Balai Besar POM (BBPOM) di Jakarta dan Serang, serta Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri. Penindakan dilakukan pada 9 Maret 2023, menghasilkan penyitaan barang bukti senilai Rp7,7 miliar.
Bukti yang diamankan meliputi berbagai bahan baku kimia seperti Hidroquinon, Asam Retinoat, Deksametason, dan Metronidazol yang bernilai Rp4,3 miliar, serta bahan kemasan, produk setengah jadi, dan produk jadi berupa lotion dan krim tanpa merek.
Selain itu, BPOM juga menyita alat produksi seperti mesin mixing dan mesin filling, kendaraan operasional, serta perangkat elektronik yang digunakan dalam proses produksi.
Hasil investigasi BPOM menunjukkan bahwa praktik produksi ilegal ini telah berlangsung sejak 2020 di lokasi lain di Jakarta Barat, sebelum berpindah ke lokasi yang baru sejak September 2022. Pabrik ini diduga memasok produk kosmetik ilegal ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan beberapa wilayah di Sumatra seperti Sumatra Selatan, Sumatra Utara, dan Lampung.
BPOM juga menemukan bahwa fasilitas produksi tidak menerapkan standar Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB), terutama dalam aspek kebersihan dan sanitasi.
Tindakan yang dilakukan oleh pemilik usaha berinisial SJT tersebut berpotensi melanggar beberapa regulasi yang berlaku. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengancam pelaku dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar bagi yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin.
Selain itu, pelaku juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur perdagangan barang yang tidak memenuhi standar, dengan ancaman pidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp2 miliar.
Dampak Penggunaan Kosmetik Ilegal Berbahaya bagi Kulit
[caption id="attachment_122048" align="aligncenter" width="700"] Ilustrasi wajah rusak karena kosmetik palsu.[/caption]
Kosmetika yang mengandung bahan-bahan berbahaya ini dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan bagi konsumen. Penggunaan Hidroquinon dapat menyebabkan ochronosis atau penggelapan kulit, sementara Asam Retinoat bisa mengakibatkan iritasi dan cacat lahir jika digunakan oleh ibu hamil.
Resorsinol dapat menyebabkan gangguan sistem imun dan iritasi parah, sedangkan Klindamisin serta Fluocinolone dapat menimbulkan efek samping serius seperti kulit mengelupas, gatal, dan perubahan warna kulit. Risiko-risiko ini membuat BPOM semakin memperketat pengawasan terhadap peredaran kosmetik di Indonesia.
BPOM mengajak masyarakat untuk lebih selektif dalam memilih produk kosmetik dengan memastikan kosmetika yang digunakan telah memiliki izin edar resmi. Konsumen diimbau untuk selalu melakukan pengecekan kemasan, label, izin edar, dan tanggal kedaluwarsa sebelum membeli atau menggunakan produk kosmetik. Pembelian juga sebaiknya dilakukan di tempat terpercaya, baik secara offline maupun online melalui toko resmi.
Selain itu, BPOM menekankan pentingnya peran tenaga kesehatan dalam memastikan pasien mendapatkan produk perawatan kulit yang aman melalui apotek dan layanan resmi. Pihak berwenang juga mengimbau masyarakat untuk segera melaporkan jika menemukan indikasi produksi atau peredaran kosmetik ilegal di sekitarnya.
Dengan terus meningkatnya kesadaran masyarakat dan penegakan hukum yang lebih ketat, diharapkan peredaran kosmetik ilegal dapat ditekan, sehingga konsumen terhindar dari risiko kesehatan akibat produk yang tidak memenuhi standar. BPOM berkomitmen untuk terus memastikan bahwa industri kosmetik di Indonesia berkembang dengan tetap mematuhi regulasi demi keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Jangan Sampai Terjebak
[caption id="attachment_122049" align="aligncenter" width="680"] Ilustrasi cek BPOM.[/caption]
Berhati-hatilah dalam memilih produk kosmetik, karena tidak semua yang beredar di pasaran telah terjamin keamanannya. Salah satu cara memastikan produk yang digunakan aman adalah dengan mengecek apakah produk tersebut telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan adanya Nomor Izin Edar (NIE) yang diberikan BPOM, konsumen dapat memastikan bahwa produk tersebut telah lulus uji dan layak digunakan.
Nomor BPOM wajib tercantum pada kemasan produk kosmetik dan memiliki format khusus yang terdiri dari kode huruf serta 11 digit angka. Kode huruf ini menunjukkan asal benua tempat kosmetik diproduksi.
Misalnya, NA menunjukkan produk berasal dari Asia, NB dari Australia, NC dari Eropa, ND dari Afrika, dan NE dari Amerika. Dengan memahami kode ini, konsumen bisa mengetahui asal-usul produk yang mereka gunakan.
Namun, maraknya kasus pemalsuan nomor BPOM membuat masyarakat perlu lebih waspada. Beberapa oknum tak bertanggung jawab mencantumkan nomor registrasi palsu pada produk kosmetik mereka untuk memberikan kesan bahwa produk tersebut aman dan telah mendapat izin edar.
Oleh karena itu, sangat penting bagi konsumen untuk melakukan verifikasi keaslian nomor BPOM sebelum membeli dan menggunakan produk kosmetik.
Proses pengecekan keaslian nomor BPOM dapat dilakukan dengan mudah melalui dua cara, yaitu melalui situs resmi BPOM dan aplikasi BPOM Mobile.
Melalui situs BPOM yang dapat diakses di cekbpom.pom.go.id, pengguna hanya perlu memasukkan nomor registrasi, nama produk, atau merek kosmetik yang ingin diperiksa. Jika produk tersebut benar-benar terdaftar, informasi yang muncul akan mencakup detail lengkap seperti nomor registrasi, nama produk, tanggal terbit, pendaftar, serta produsen. Sebaliknya, jika data yang dicari tidak ditemukan atau tidak sesuai, maka kemungkinan besar produk tersebut menggunakan nomor BPOM palsu.
Alternatif lain yang lebih praktis adalah menggunakan aplikasi BPOM Mobile yang tersedia di App Store dan Play Store. Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk memindai barcode pada kemasan kosmetik atau mencari produk berdasarkan nomor registrasi, nama produk, atau nama produsen.
Jika produk terdaftar, aplikasi akan menampilkan informasi lengkap terkait izin edar dan identitas produk. Namun, jika data yang dimasukkan tidak ditemukan atau tidak sesuai dengan produk yang diinginkan, konsumen patut mencurigai bahwa produk tersebut belum mendapat izin resmi dari BPOM.
Dengan kemudahan akses informasi ini, konsumen diharapkan lebih teliti dalam memilih produk kosmetik. Jangan mudah tergiur dengan harga murah atau klaim berlebihan tanpa memastikan keamanannya terlebih dahulu. Selalu periksa nomor BPOM sebelum membeli agar terhindar dari risiko penggunaan produk yang tidak aman bagi kesehatan kulit.(*)