KABARBURSA.COM – Penerapan tarif impor sebesar 25 persen membuat produsen otomotif di Jepang pusing. Nissan adalah satu produsen yang terkena dampak langsung dari kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Dikutip dari Carscoops, kebijakan tarif membuat pabrik Nissan di Kyushu, Jepang, harus mengurangi produksi model Rogue sebesar 13.000 unit. Padahal Rogue merupakan satu-satunya model Nissan yang paling laris di AS.
Pada tahun lalu, Nissan berhasil menjual 245.724 unit Rogue di AS, jauh melampaui penjualan model terlaris kedua dari merek tersebut, yakni sedan Sentra. Meski mengalami penurunan sebesar 9,5 persen dibandingkan angka 271.458 unit pada tahun 2023.
Namun, karena model ini diproduksi di Jepang membuat Nissan gigit jari lantaran harus terkena tarif impor sebesar 25 persen. Karena tak ada pilihan lain, Nissan terpaksa memangkas produksi mobil ini. Pengurangan produksi ini juga berdampak kepada buruh di pabrik Nissan.
Saat ini, Nissan sedang fokus untuk melakukan penyesuaian dengan meninjau operasi produksi dan rantai pasok untuk dapat beradaptasi dengan kondisi pasar.
Nissan adalah salah satu merek yang paling rentan terhadap tarif baru yang diberlakukan oleh Trump dibandingkan beberapa produsen mobil lainnya. Pasalnya, lebih dari 25 persen total penjualan global Nissan berasal dari pasar AS.
Meskipun produksi Rogue sudah dilakukan di pabrik Smyrna, Tennessee sejak 2023, banyak unit yang dijual di pasar domestik masih diproduksi di Jepang atau Meksiko.
Pada Januari lalu, Nissan mengumumkan rencana pengurangan produksi Rogue di Smyrna dari dua shift menjadi satu shift yang akan dimulai pada April, serta langkah serupa untuk Altima di pabrik Canton yang dijadwalkan pada September.
Namun, belakangan perusahaan tersebut membatalkan keputusan tersebut dan memilih untuk tetap menjalankan dua shift produksi Rogue di AS sebagai langkah mitigasi terhadap dampak tarif. Kendati demikian, Nissan bakal mengevaluasi rencana penghentian produksi beberapa model jika skema tarif baru berubah.
Model Infiniti Juga Terdampak
Selain model Rogue, Infiniti, merek mobil mewah milik Nissan juga terdampak kebijakan tarif Trump. Nissan Motor Company terpaksa menghentikan pesanan di AS untuk QX50 dan QX55 karena masalah tarif.
Penghentian pesanan ini dilakukan sebagai tanggapan terhadap penerapan tarif impor sebesar 25 persen. SUV mewah yang diproduksi bersama Mercedes GLB di Meksiko ini dipastikan tidak akan dipasarkan di Amerika Serikat, meskipun permintaannya terbilang tinggi.
Sebagai catatan, Infiniti QX50 dianggap telah melewati masa keemasannya sejak pertama kali diperkenalkan dalam ajang Los Angeles Auto Show tahun 2017. Beberapa tahun kemudian, Infiniti menghadirkan model baru QX55. Namun, penjualan model tersebut tidak setinggi pendahulunya.
QX50 sendiri merupakan SUV terlaris kedua dari Infiniti setelah QX60. Meski dikabarkan produksinya akan dihentikan pada Desember 2024, SUV bermesin konvensional ini ternyata tetap dirakit untuk memenuhi permintaan dari pasar internasional.
Sebagai pengganti, Infiniti akan mendapatkan versi terbaru dari Nissan Rogue yang dijadwalkan mulai diproduksi pada 2026. Model baru ini dilaporkan tetap mengandalkan mesin pembakaran internal, serta akan hadir dalam opsi powertrain hybrid plug-in dan sistem e-Power.
Lebih jauh, Infiniti juga telah mengonfirmasi rencana peluncuran crossover coupe QX65 dan satu model SUV listrik. SUV listrik tersebut direncanakan hadir pada tahun fiskal 2028 dan akan mengusung desain yang terinspirasi dari konsep Vision QXe.
Sementara itu, mengenai produksi Rogue, Nissan memutuskan untuk meninjau kembali strategi perakitan di fasilitas Smyrna, Tennessee. Perusahaan semula berencana memangkas satu shift produksi bulan ini, namun keputusan tersebut dibatalkan demi menjaga volume produksi lokal yang bebas dari tarif otomotif.
Produksi Mobil di Indonesia
Seperti diberitakan sebelumnya, produksi kendaraan di Indonesia terus mengalami penurunan yang cukup tajam sejak tahun 2022. Tren ini sejalan dengan menurunnya angka penjualan mobil baik dari sisi wholesales (pabrik ke dealer) maupun retail (dealer ke konsumen).
Tercatat, produksi mobil pada 2022 mencapai 1.470.146 unit. Angka ini menyusut pada 2023 menjadi 1.395.717 unit dan kembali turun di 2024 menjadi 1.196.664 unit.
Menurut pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu, tren penurunan tersebut disebabkan oleh melemahnya penjualan mobil yang dipengaruhi oleh inflasi global serta ketidakpastian ekonomi pascapandemi.
“Kondisi ekonomi juga diperparah dengan peningkatan tensi geopolitik di Eropa dan Timur Tengah sehingga menekan daya beli masyarakat sehingga permintaan terhadap mobil baru terus menurun,” ujar Yannes kepada kabarbursa.com, Rabu, 22 Januari 2025.
Ia menilai bahwa situasi ekonomi pada 2025 belum menunjukkan sinyal pemulihan yang jelas dalam industri otomotif. Selama tren ekonomi masih stagnan, maka peningkatan penjualan sulit terjadi, yang berujung pada keputusan pabrikan untuk menahan kapasitas produksi.
Yannes juga menyoroti bahwa penurunan penjualan bisa terus berlanjut meskipun jumlah kelas menengah di Indonesia meningkat. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tersebut lebih banyak mendorong penjualan di segmen mobil kelas bawah.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menyatakan bahwa berlanjut atau tidaknya tren penurunan produksi akan sangat ditentukan oleh pemulihan ekonomi global maupun nasional.
“Jika ekonomi global dan domestik pulih lebih cepat dan daya beli masyarakat menguat, permintaan terhadap mobil baru kemungkinan akan meningkat kembali,” jelasnya.
Lebih jauh, Yannes menuturkan bahwa jika dalam enam bulan pertama pemerintahan Prabowo berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi domestik melalui kebijakan yang tepat, maka kecepatan industri otomotif dalam menyesuaikan diri dengan perubahan preferensi konsumen, terutama dalam transisi ke kendaraan listrik (EV), bisa menjadi faktor penentu apakah produsen kendaraan berbasis mesin bakar (ICE) bisa kembali meningkatkan produksinya.
Ia menyebut bahwa pemulihan industri otomotif sangat bergantung pada konsistensi pengembangan ekosistem EV di dalam negeri. “Jika pemulihan ekonomi berjalan lancar, masalah rantai pasokan teratasi, dan industri otomotif Indonesia mampu beradaptasi dengan cepat, ada peluang untuk pembalikan tren penurunan dalam 1-2 tahun ke depan,” ujarnya.(*)