KABARBURSA.COM – Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menilai, penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor utama penurunan pembelian mobil di pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show 2025. Selain mengakibatkan penurunan penjualan, penurunan daya beli membuat konsumen lebih berhati-hati dalam keputusan pembelian.
“Kelas menengah kita menyusut dari 23 persen populasi (2018) menjadi 17 persen (2023) dan Sebanyak 49 persen di antaranya memangkas belanja non-esensial, termasuk mobil sebagai barang konsumsi mewah,” kata Yannes kepada KabarBursa.com, beberapa waktu lalu.
Agar dapat keluar dari situasi ini, ia menyarankan agar pemerintah memikirkan strategi yang inovatif agar dapat kembali meningkatkan kekuatan middle income class yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengungkapkan, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah, salah satunya adalah meningkatkan lapangan kerja kelompok sosial terdidik dengan menciptakan ekosistem kreatif yang dapat meningkatkan pemasukan kelas menengah.
Ia juga menyarankan agar pemerintah membantu dalam pengembangan usaha kelas menengah melalui berbagai proyek strategis nasional. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah memberikan insentif yang produktif untuk kelas menengah.
“Karena bantuan so far lebih banyak pada kelompok bawah spt BLT dan lain sebagainya. Harus melibatkan kolaborasi dan sinergi banyak kementerian. Industri juga perlu mengembangkan sistem ciclan dengan bungan serendah mungkin dan tenor yang lebih panjang,” jelasnya.
GIIAS 2025 jadi Ajang Edukasi Teknologi Otomotif
Yannes juga mengomentari terkait dengan pergeseran peran GIIAS 2025 yang awalnya merupakan ajang sales, berubah menjadi ajang edukasi teknologi otomotif dan pengenalan model baru. Ia melihat adanya fenomena baru di pameran otomotif terbesar di Tanah Air tersebut.
Ia mencatat, mayoritas pengunjung justru berasal dari kalangan Gen Z, melampaui jumlah milenial dan Gen X.
“Generasi ini cenderung riset mendalam sebelum beli dan sangat peduli sustainability. Mereka memanfaatkan GIIAS untuk membandingkan spesifikasi BEV vs hybrid,” kata Yannes.
Menurutnya, kelompok usia ini memilih menunggu sampai kondisi keuangan pribadi cukup kuat sebelum memutuskan pembelian, mengingat Indonesia saat ini menghadapi pelemahan daya beli yang sifatnya struktural. Kondisi ini, katanya, serupa dengan tren di banyak negara lain yang tengah mengalami perlambatan ekonomi.
“Fenomena ini juga merupakan cermin sedang terjadinya ‘intention-action gap’ yang semakin lebar antara minat dan keputusan pembelian. Hal ini terutama dipicu oleh ketidaksesuaian harga mobil dengan daya beli masyarakat,” tutur Yannes.
Ia menambahkan, produsen kendaraan di segmen BEV memang membidik konsumen yang lebih muda dibandingkan Gen X, yaitu milenial dan Gen Z. Kedua generasi ini dinilai lebih terbuka pada teknologi baru dan tertarik pada hal-hal yang bernuansa futuristik.
Untuk memenangkan hati mereka, Yannes menekankan perlunya strategi yang tepat. Produsen BEV, kata dia, perlu menghadirkan produk yang terjangkau, memberikan pengalaman berkendara yang nyaman, aman, dan menyenangkan, dengan fokus mengubah persepsi mobil listrik dari pilihan mobil kedua atau ketiga menjadi opsi mobil pertama yang ekonomis.
“Strategi inovasi lanjutan pasca GIIAS inilah yang menjadi kunci berhasil-tidaknya transaksi sales tersebut,” ujar Yannes menutup pembicaraan.(*)