KABARBURSA.COM - Raksasa teknologi asal Korea Selatan, LG, undur diri dari proyek pembangunan rantai pasokan baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Kantor berita Yonhap melaporkan, konsorsium yang dipimpin oleh LG resmi menarik diri dari proyek supply chain baterai kendaraan listrik tersebut pada 18 April lalu. Padahal proyek ini memiliki nilai investasi sebesar 11 triliun won atau sekitar Rp130,7 triliun.
Diketahui, konsorsium tersebut melibatkan LG Energy Solution, LG Chem, LX International Corp, dan sejumlah mitra lainnya. Kelompok usaha ini awalnya sepakat bekerja sama dengan pemerintah Indonesia serta perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kelompok ini membangun ekosistem baterai kendaraan listrik terintegrasi, mulai dari pengadaan bahan baku, produksi prekursor, bahan katoda, hingga pembuatan sel baterai.
Indonesia dipilih sebagai salah satu lokasi investasi karena merupakan produsen nikel terbesar dunia. Seperti kita ketahui, nikel merupakan salah satu bahan utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan kondisi industri global, termasuk melambatnya permintaan kendaraan listrik yang disebut sebagai jurang EV, sehingga konsorsium memutuskan untuk mundur dari proyek pendukung komponen utama kendaraan listrik tersebut.
“Mempertimbangkan kondisi pasar dan lingkungan investasi saat ini, kami telah memutuskan untuk keluar dari proyek,” ujar perwakilan LG Energy Solution, dikutip dari Yonhap, Senin, 21 April 2025.
Meski demikian, LG memastikan tetap mempertahankan proyek lain di Indonesia, seperti pabrik baterai HLI Green Power yang merupakan hasil kerja sama dengan Hyundai Motor Group.
Kerugian LG Energy Solution akibat Lesunya Pasar EV
Kabar mundurnya LG dari proyek ini beriringan dengan laporan kinerja keuangan yang kurang menggembirakan. LG Energy Solution (LGES) mencatatkan kerugian bersih sebesar 411 miliar won atau sekitar USD287,2 juta pada kuartal empat tahun 2024.
Nilai kerugian tersebut cukup besar, mengingat LGES sempat mencatatkan laba bersih sebesar 190,3 miliar won pada periode yang sama pada tahun 2023. Gejolak bisnis LGES terjadi di tengah perlambatan global dalam penjualan kendaraan listrik, hal ini diperkirakan menjadi salah satu faktor utama.
Sementara dalam laporan keuangannya, LGES juga mencatatkan kerugian operasional sebesar 225,5 miliar won, turun drastis dari laba operasional 338,2 miliar won setahun sebelumnya. Penjualan pun ikut terkoreksi 19,4 persen menjadi 6,45 triliun won.
Sepanjang 2024, laba bersih LGES anjlok 79,3 persen menjadi 338,6 miliar won, sedangkan pendapatan operasional turun drastis sebesar 73,4 persen menjadi 575,4 miliar won. Dari sisi total penjualan sepanjang tahun tercatat 25,6 triliun won, merosot 24,1 persen dibanding tahun sebelumnya.
Strategi LGES di Tengah Tekanan Industri
Menghadapi tantangan ini, LGES menargetkan pertumbuhan penjualan 5 hingga 10 persen pada 2025 sambil memangkas belanja modal hingga 30 persn. Perusahaan berencana mengalihkan sebagian lini produksi baterai menjadi produksi sistem penyimpanan energi (ESS), seiring meningkatnya permintaan global untuk solusi energi terbarukan.
Sekadar informasi, untuk wilayah Amerika Utara, LGES saat ini mengoperasikan tiga pabrik baterai yang mencakup dua pabrik melalui kerja sama dengan General Motors (GM) dan satu pabrik di Holland, Michigan, Amerika Serikat. LGES juga tengah membangun fasilitas baru di Michigan, Georgia, Ohio, dan Ontario bersama mitra bisnis di industri otomotif seperti GM, Hyundai Motor Group, Honda Motor Co., dan Stellantis NV. Selain di Amerika Utara, LGES memiliki fasilitas produksi di Korea Selatan, Polandia, Tiongkok, dan Indonesia.
Kembangkan Ekosistem Kendaraan Hidrogen
Hyundai Motor Group (Hyundai) mengumumkan rencana pembangunan ekosistem waste-to-hydrogen (W2H) di Provinsi Jawa Barat (Jabar). Rencana pembangunan W2H ini diumumkan pada ajang Global Hydrogen Ecosystem Summit di Jakarta.
Sekadar informasi, Global Hydrogen Ecosystem Summit digelar oleh Indonesia Fuel Cell & Hydrogen Energy Association (IFHE) dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan utama, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), perwakilan dari BAPPENAS, serta jajaran eksekutif Pertamina dan Hyundai Motor Group.
Dalam forum tersebut, Kementerian ESDM menyampaikan pemaparan mengenai peta jalan hidrogen nasional Indonesia, sementara BAPPENAS menyoroti kebijakan pengembangan hidrogen yang ditujukan untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Hyundai juga mengumumkan rencananya untuk bekerja sama dengan beberapa pihak, yakni Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan PT Pertamina (Persero).
Hyundai Motor Group berencana membangun stasiun pengisian hidrogen di lokasi dengan memanfaatkan infrastruktur compressed natural gas (CNG) milik Pertamina.
Fasilitas ini ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2027 dan akan menyediakan pasokan hidrogen rendah karbon yang dihasilkan dari biogas yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, yang terletak di dekat Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat.
Usai merampungkan studi kelayakan teknis di lokasi TPA Sarimukti, Hyundai Motor Group dijadwalkan memulai proses konstruksi stasiun pengisian hidrogen tersebut pada tahun ini.
Untuk mendukung penerapan teknologi serta kebijakan hidrogen unggulan dari Korea Selatan, Hyundai akan menggandeng konsorsium yang terdiri atas sejumlah perusahaan dan lembaga ternama asal negeri tersebut.
Langkah ini menjadi representasi nyata dari komitmen Hyundai Motor Group dalam mengembangkan solusi hidrogen yang berkelanjutan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh manajemen puncak perusahaan di berbagai forum baik di Indonesia maupun di tingkat global.
Inisiatif ini pun sejalan dengan arah kebijakan pemerintah Indonesia dan tergambar dalam peta jalan nasional untuk hidrogen dan amonia.(*)