KABARBURSA.COM – Upaya Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melakukan penangguhan tarif selama 90 hari membuat industri otomotif kembali menggeliat. Usai drama perang dagang AS-China, Tesla kembali melanjutkan impor komponen penting kendaraan dari Tiongkok. Sebelumnya, pabrikan mobil setrum asal AS itu menghentikan sementara pengiriman suku cadang dari China ke AS.
Melansir dari Reuters, upaya impor komponen dari Tiongkok dilakukan secara senyap. Berdasarkan sumber yang tak ingin disebutkan namanya,
Elon Musk berupaya mengimpor komponen semikonduktor dan suku cadang Cybercab pada akhir bulan Mei 2025. Upaya ini dilakukan untuk persiapan uji coba produksi Cybercab pada Oktober 2025 sebelum akhirnya diproduksi secara massal pada 2026. Terlebih lagi ketika Tesla berambisi pada Cybercab yang menjadi inti layanan robotaxi yang telah lama dinanti.
Kendati demikian, sembari menunggu produksi kendaraan otonom terbarunya, Tesla menutup rapat sebagian besar informasi terkait Cybercab. Meski begitu, ada informasi jika kendaraan ini dipastikan hadir dalam bentuk kompak dua penumpang, tanpa kehadiran roda kemudi maupun pedal konvensional yang mengusung konsep sepenuhnya otonom.
Berdasarkan informasi, Cybercab bakal menggendong baterai berkapasitas di bawah 50 kWh. Meski begitu, jarak tempuh mobil semi otonom bertenaga setrum ini mampu menempuh jarak sejauh 300 mil atau 483 km.
Tesla Semi: Siap Tingkatkan Produksi di 2025
Produksi Tesla Semi pertama kali dimulai secara resmi pada akhir 2022. Namun, hingga kini kemajuan produksinya masih berjalan perlahan. Tesla menargetkan produksi massal akan dimulai pada tahun depan, yang akan dilakukan di pabrik baru dekat fasilitas Gigafactory di Nevada. Kehadiran fasilitas ini diproyeksikan akan memperbesar skala produksi dan kapasitas manufaktur Tesla secara keseluruhan.
Sementara hubungan antara Elon Musk dan Presiden Donald Trump belakangan terlihat cukup dekat dalam sejumlah isu, tarif perdagangan masih menjadi salah satu titik perbedaan pendapat yang mencolok. Trump bahkan pernah menyatakan bahwa tarif adalah, “kata terindah dalam kamus menurut saya.”
Sebaliknya, Musk telah lama dikenal sebagai pendukung perdagangan bebas. Seperti dilansir Reuters, CEO Tesla itu bahkan sempat mendorong Trump untuk menurunkan tarif, meskipun ia tetap menghormati keputusan akhir yang berada di tangan sang presiden.
Dampak kebijakan tarif tersebut nyatanya terasa di lapangan. Salah satu efek yang tidak diantisipasi adalah gangguan terhadap ekspansi produksi domestik. Vaibhav Taneja, Kepala Keuangan Tesla, menyoroti bahwa tarif justru merugikan investasi perusahaan di Amerika Serikat, karena Tesla masih harus mengimpor peralatan produksi dari China untuk mendukung pengembangan lini produksinya di dalam negeri.
Tesla Terancam Kehilangan Hak Jual Langsung di New York
Seperti diberitakan sebelumnya Tesla, tengah menghadapi tekanan regulasi yang serius di negara bagian New York. Sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan oleh Senator Negara Bagian Patricia Fahy berpotensi mencabut hak istimewa Tesla untuk menjual mobil listrik langsung kepada konsumen, tanpa perantara.
Dalam draf regulasi tersebut, model penjualan langsung yang selama ini dijalankan Tesla akan dipaksa beralih ke sistem dealer waralaba. Jika RUU ini disahkan, dampaknya tak main-main: Tesla akan kehilangan lima lisensi utama yang selama ini menjadi dasar legal operasinya di wilayah tersebut. Tak hanya itu, perusahaan juga dapat dipaksa menutup seluruh showroom miliknya di negara bagian itu.
Situasi ini menjadi lebih kritis mengingat New York merupakan salah satu pasar kendaraan listrik terbesar dan paling progresif di Amerika Serikat. Kehilangan akses langsung di kawasan ini bisa menghambat laju distribusi dan strategi pertumbuhan Tesla secara nasional.
Meski secara formal regulasi tersebut menyasar kebijakan korporasi, sejumlah pengamat menilai bahwa langkah hukum ini tak lepas dari ketegangan politik terhadap figur CEO Tesla, Elon Musk.
Senator Fahy secara terbuka menyampaikan kritik pedas terhadap Musk. Ia bahkan menuduh sang CEO sebagai pihak yang menghalangi kemajuan energi bersih serta mendukung agenda Presiden Donald Trump yang dinilainya bertentangan dengan upaya penanggulangan krisis iklim.
“Dia (Musk) bagian dari pemerintahan yang menghentikan semua pendanaan untuk infrastruktur kendaraan listrik dan energi terbarukan,” ujar Fahy seperti dikutip dari New York Times, Selasa 29 April 2025.
Selain kebijakan bisnis, berbagai keputusan kontroversial yang dibuat Musk—termasuk gelombang PHK massal serta intervensi dalam urusan perpajakan dan IRS—disebut turut memperburuk citra Tesla di mata para legislator lokal.
RUU ini membuka babak baru dalam dinamika hubungan antara industri teknologi otomotif dan pembuat kebijakan, khususnya dalam konteks siapa yang seharusnya memegang kendali atas masa depan distribusi kendaraan ramah lingkungan di Amerika.
Tesla Dihantui Risiko Hukum Baru di New York
Sejak hampir satu dekade terakhir, Tesla menjalankan operasinya di New York dengan mengandalkan pengecualian hukum khusus. Sejak tahun 2014, perusahaan yang identik dengan mobil listrik ini diizinkan membuka lima showroom untuk menjual produknya langsung kepada konsumen—tanpa melalui jaringan dealer waralaba sebagaimana diwajibkan pada produsen otomotif lain.
Namun kini, hak istimewa tersebut terancam dicabut melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yang tengah diajukan. Regulasi ini tidak hanya menghapus keistimewaan Tesla, tetapi juga membuka peluang yang sama bagi pemain kendaraan listrik lainnya seperti Lucid Motors, Rivian, dan Scout untuk mendapatkan lisensi penjualan langsung di negara bagian tersebut.
Lebih lanjut, masalah yang dihadapi Tesla tidak berhenti pada regulasi penjualan. Legislator dari Partai Demokrat di New York juga menyoroti kesepakatan bisnis antara Tesla dan pemerintah negara bagian terkait operasional pabrik di Buffalo.
Fasilitas tersebut disewa Tesla dengan tarif simbolis hanya USD1 per tahun, atau sekitar Rp16.801, disertai subsidi negara yang mendekati angka USD1 miliar—setara lebih dari Rp16 triliun. Kini, sejumlah anggota parlemen mendorong dilakukannya audit menyeluruh terhadap perjanjian tersebut, mempertanyakan manfaat ekonominya bagi negara bagian.
Langkah-langkah ini memperlihatkan meningkatnya ketegangan antara Tesla dan pejabat pemerintah lokal, serta membuka kembali perdebatan lama mengenai perlakuan khusus terhadap perusahaan teknologi besar yang beroperasi dengan skema tak lazim di ranah hukum dan pajak.(*)