KABARBURSA.COM – Sejak tahun lalu, Nissan belum dapat bangkit dari keterpurukan. Kegagalan untuk bergabung dengan Honda membuat perusahaan asal Jepang ini terus merugi, menutup tujuh fasilitas produksi dan memangkas 20.000 pekerjaan. Kekacauan ini nampak dari rapat umum tahunan Nissan pada awal pekan ini.
Melansir dari Carscoops, kepemimpinan kepala eksekutif baru Ivan Espinosa, Nissan mencatatkan rugi bersih sebesar USD4,5 miliar tahun lalu.
Nissan juga mencatatkan kerugian kuartal pertama sebesar 200 miliar yen atau setara USD1,38 miliar. Bahkan, perusahaan otomotif ini juga menangguhkan pembagian dividen.
Sejumlah pemegang saham menyuarakan kekecewaannya terhadap Nissan, menuduh perusahaan mencoba "mengalihkan tanggung jawabnya kepada pekerja garis depan" dengan melakukan pemangkasan tenaga kerja, sementara jajaran eksekutif tetap dipertahankan. Tak hanya itu, Nissan juga menghadapi kritik atas kebijakan pemotongan dividen yang dinilai merugikan pemegang saham.
Salah satu usulan yang mengemuka adalah agar Nissan mengambil langkah tegas terhadap Nissan Shatai—anak perusahaan yang tercatat di bursa saham. Namun, gagasan tersebut ditolak oleh mayoritas pemegang saham dan tidak mendapat dukungan dari manajemen Nissan sendiri.
Tekanan terhadap perusahaan otomotif Jepang untuk memperbaiki struktur kepemilikan juga semakin kuat. Beberapa brand besar, termasuk Toyota, tengah menghadapi desakan untuk meninjau ulang hubungan antara induk dan anak perusahaan yang berpotensi mengganggu tata kelola perusahaan.
Sebagai respons, Toyota berencana melakukan privatisasi terhadap Toyota Industries (kode saham 6201.T), anak usaha yang juga tercatat di pasar modal, melalui transaksi senilai USD 33 miliar.
Nissan Tutup Pabrik di Wuhan
Nissan tengah menghadapi tekanan berat di tengah lesunya pasar otomotif global. Produsen mobil asal Jepang itu bersiap menghentikan operasional pabriknya di Wuhan, China, menyusul anjloknya produksi model Ariya dan X-Trail yang dirakit di fasilitas tersebut.
Penutupan ini menjadi pukulan telak, lantaran hanya berselang beberapa hari setelah muncul kabar bahwa Nissan diperkirakan akan mencatat kerugian terbesar dalam sejarahnya.
Mengutip laporan Carscoops, sejak mulai beroperasi pada 2022, pabrik Nissan di Wuhan hanya mampu memproduksi sekitar 10.000 unit kendaraan per tahun. Angka ini sangat jauh di bawah kapasitas maksimalnya yang mencapai 300 ribu unit.
Sementara itu, Reuters menyoroti bahwa persaingan ketat dengan merek-merek lokal China menjadi salah satu penyebab utama menurunnya output produksi Nissan. Merek-merek asal Tiongkok dinilai lebih gesit dalam membaca pasar, sehingga membuat produsen global seperti Nissan kesulitan mengejar daya saing.
Wuhan bukan satu-satunya fasilitas Nissan yang terkena imbas. Pada Juni tahun lalu, pabrik Nissan di Changzhou juga ditutup karena permintaan terhadap mobil bermesin konvensional menurun drastis, sementara penjualan mobil listrik buatan lokal melonjak tajam.
Fasilitas tersebut sebelumnya dioperasikan bersama Dongfeng Motor sejak November 2020, dan memiliki kapasitas produksi tahunan sebesar 130.000 unit.
Kondisi keuangan Nissan pun tengah berada di ujung tanduk. Rencana merger dengan Honda kini terancam gagal dalam waktu dekat. Perusahaan dijadwalkan merilis laporan keuangan untuk tahun fiskal yang berakhir pada Maret, pada 13 Mei mendatang.
Pekan lalu, Nissan mengumumkan prediksi kerugian bersih di kisaran 700 hingga 750 miliar yen, atau sekitar Rp517 triliun hingga Rp553 triliun—melonjak tajam dari proyeksi sebelumnya yang hanya 80 miliar yen atau sekitar Rp59 triliun.
Sebagai langkah penyelamatan, Nissan kini tengah menjalankan restrukturisasi besar-besaran. Perusahaan mengonfirmasi rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 9.000 karyawan, menutup sejumlah fasilitas produksi, serta menyederhanakan jajaran produknya.
Tak hanya itu, Nissan juga aktif menjajaki peluang kemitraan strategis baru, termasuk kemungkinan berkolaborasi dengan perusahaan teknologi asal Taiwan, Foxconn.(*)