KABARBURSA.COM – Pasar karbon di Indonesia terus berkembang, namun masih menghadapi tantangan dalam bentuk kurangnya insentif dan disinsentif bagi pelaku industri.
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, mengungkapkan bahwa keberhasilan ekosistem pasar karbon bergantung pada kebijakan yang mendukung serta kerja sama dengan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Menurutnya, pasar karbon tidak hanya bergantung pada Bursa dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi juga melibatkan berbagai aspek regulasi lingkungan hidup, kebijakan pajak, serta standar teknis di tingkat lokal dan global. Ia menekankan bahwa untuk meningkatkan partisipasi perusahaan dalam perdagangan karbon, perlu ada kebijakan yang mendorong mereka untuk menurunkan emisi.
Peran Insentif dan Disinsentif Dalam Perdagangan Karbon
Denny mengungkapkan bahwa ekosistem perdagangan karbon di Indonesia masih dalam tahap awal, sehingga perlu adanya kebijakan yang memberikan insentif bagi perusahaan yang menurunkan emisi serta disinsentif bagi yang tidak berpartisipasi.
“Misalkan, oke saya mau menurunkan emisi saya jadi nol, apa insentifnya buat saya? Atau, jika saya tidak bisa menurunkan emisi, apakah ada pajak atau sanksi yang dikenakan? Jika tidak ada, maka perusahaan tidak akan memiliki dorongan untuk ikut serta,” jelasnya usai Acara KabarBursa Ekonomic Insight di di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu 26 Februari 2025.
Saat ini, implementasi kebijakan perdagangan karbon masih dalam tahap perumusan oleh berbagai kementerian terkait. Beberapa sektor, seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sudah mulai menjalankan pasar karbon wajib melalui program Kewajiban Pengurangan Netralitas Karbon (KPNT). Sementara itu, sektor industri juga sedang dalam tahap perencanaan dan diperkirakan akan memulai dalam beberapa tahun ke depan.
Potensi Pasar Karbon Indonesia di Tingkat Global
Indonesia telah mengambil langkah maju dalam perdagangan karbon dengan meluncurkan bursa karbon internasional pada 20 Januari 2025. Langkah ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pertama yang membuka perdagangan karbon secara global, meskipun masih terdapat tantangan dalam hal pengakuan dari negara lain.
“Negara lain bisa menggunakan unit karbon dari Indonesia, namun hingga saat ini masih belum ada mekanisme yang diterima secara global,” ungkap Denny.
Perdagangan karbon internasional masih menunggu kesepakatan antar pemerintah (G2G Agreement). Sebagai contoh, Singapura mengizinkan penggunaan 5% karbon kredit dari luar negeri, tetapi sebelum itu dapat dilakukan, perlu ada perjanjian resmi antara pemerintah Indonesia dan Singapura.
“Setelah penelusuran bursa karbon internasional kemarin, ada cukup banyak peminat dari negara luar. Namun, sistem perdagangan karbon global masih dalam tahap perumusan dan belum diadopsi secara luas,” tambahnya.
Roadmap dan Prospek Pasar Karbon Indonesia
Meski masih dalam tahap awal, pasar karbon Indonesia memiliki potensi besar dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, terutama dengan meningkatnya komitmen global terhadap net zero emissions. Perkembangan ini juga didukung oleh hasil pertemuan COP 29 di Azerbaijan yang baru-baru ini menetapkan mekanisme perdagangan karbon, meskipun belum sepenuhnya diimplementasikan secara global.
Denny optimis bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat dalam mengembangkan ekosistem karbon yang berkelanjutan. “Indonesia telah mengambil langkah lebih dulu dibandingkan banyak negara lain, dan dalam jangka panjang, ini akan menjadi pasar yang sangat menarik,” ujarnya.
Menurut Denny, dengan tantangan yang masih harus diselesaikan, seperti insentif kebijakan dan pengakuan internasional, Indonesia terus membangun ekosistem pasar karbon yang lebih kuat, menjadikannya sebagai peluang besar bagi industri dan investasi di masa depan. (*)
BEI: Insentif dan Disinsentif Menjadi Tantangan Pasar Karbon Indonesia
