KABARBURSA.COM – Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati mengingatkan bahwa skema perdagangan karbon (carbon trading) atau bursa karbon bisa menimbulkan permasalahan serius jika tidak dikelola dengan transparan dan akurat. Ia menyoroti bahwa prinsip dasar dari karbon kredit berisiko membuat perusahaan yang membeli kredit karbon merasa sudah ‘menebus dosa’ emisinya, padahal secara riil tingkat polusi tidak berkurang.
"Orang yang membeli karbon kredit itu seolah-olah sudah lunas mengotori, karena mereka bisa membeli kredit untuk menutupi emisinya. Secara akuntansi, hasilnya nol. Tapi kalau kita lihat secara prinsip, apakah ini benar-benar mengubah kondisi lingkungan? Jawabannya tidak, ini hanya mempertahankan status quo," ujarnya dalam Acara KabarBursa Ekonomic Insight (KEI) 2025, Rabu 26 Februari 2025 di Hotel Le Meridien Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem ini, perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi dapat membeli karbon kredit dari pihak yang memiliki surplus, misalnya dari pengelola hutan atau proyek energi terbarukan. Namun, jika pencatatan karbon kredit tidak dilakukan dengan baik, ada potensi besar terjadinya overclaiming atau manipulasi perhitungan.
"Yang paling bahaya adalah jika integritas karbon kredit ini tidak terjaga. Kita bisa saja mengklaim bahwa hutan kita menghasilkan karbon kredit dalam jumlah besar, padahal kenyataannya tidak sebesar itu. Jika pencatatannya tidak akurat, emisi yang seharusnya berkurang justru tetap berjalan tanpa ada perubahan nyata," lanjutnya.
Menurutnya, pengalaman Australia dalam menerapkan sistem kredit karbon menjadi contoh bahwa ketidaktepatan perhitungan bisa berdampak besar. Ia merujuk pada riset independen yang menemukan bahwa pengurangan emisi yang diklaim tidak selalu sesuai dengan kondisi sebenarnya.
"Di Australia, sistem ini sudah dievaluasi dengan riset akademik independen. Hasilnya menunjukkan bahwa perhitungannya tidak selalu akurat. Jika pengurangan emisi yang diklaim ternyata tidak terjadi, lalu siapa yang sebenarnya dilindungi? Seharusnya sistem ini memastikan emisi benar-benar turun, bukan hanya menciptakan keseimbangan angka di atas kertas," tegasnya.
Lebih jauh, Ninasapti menyoroti bahwa mekanisme bursa karbon bisa menjadi bumerang jika hanya dijadikan alat untuk menutupi polusi tanpa ada pengurangan nyata.
"Kita harus hati-hati. Jangan sampai kita merasa sudah mencapai target pengurangan emisi hanya karena ada mekanisme perdagangan karbon ini. Faktanya, emisi tetap berjalan karena perusahaan yang mengotori merasa sudah bersih. Apalagi jika perhitungan emisi yang diklaim sebagai ‘plus’ itu tidak akurat," pungkasnya.
BEI Beberkan Masa Depan Perdagangan Karbon Indonesia
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menjelaskan masa depan bursa karbon di Indonesia menunjukkan harapan yang positif terutama perkembangan green investment semakin hari kian digalakkan dalam perdagangan global.
Hal ini disampaikan Denny dalam acara diskusi KabarBursa Economic Insight 2025 dengan tajuk Greennomic Indonesia: Challenges is Banking, Energy Transition and Net Zero Emmissions di Jakarta Pusat pada Rabu, 26 Februari 2025.
Denny hadir bersama Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, CEO Lanscape Indonesia Agus Sari dan Ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati.
Denny menjelaskan nilai ekonomi karbon semakin menjadi faktor kunci dalam pengembangan proyek hijau dan investasi berkelanjutan.
"Dulu sebelum ada nilai ekonomi karbon, proyek hijau hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan energi yang dihasilkan. Sekarang, selain dari produksi energi, proyek juga mendapatkan tambahan pendapatan dari penghematan emisi karbon yang mereka lakukan," ujar Denny.
Denny memaparkan, saat ini harga karbon di Indonesia ditaksir sekitar Rp58.000 per ton CO2. Dengan skema ini, proyek-proyek hijau seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan air dapat memperoleh pendapatan tambahan dari penjualan karbon kredit.
Menurut dia, perdagangan karbon di Indonesia sendiri mengalami perkembangan pesat sejak pertama kali diluncurkan pada 26 September 2013. Awalnya hanya terdapat satu proyek, namun kini jumlahnya telah bertambah menjadi tujuh proyek dengan total carbon credit yang telah diterbitkan mencapai 3,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,5 juta ton telah terjual, menunjukkan minat yang tinggi dari berbagai pihak.
"Saat ini sudah ada sekitar 107 perusahaan jasa yang ikut serta dalam perdagangan karbon, dan lebih dari 1.100 entitas yang telah menggunakan skema carbon offset, di mana 893 di antaranya adalah individu yang secara sukarela mengompensasi emisi karbon mereka," tutur dia.
Dia tidak memaparkan secara detail nama-nama entitas perusahaan yang telah berkontribusi dalam perdagangan karbon.
Tidak hanya di perusahaan, Denny menyebut tren offset karbon juga telah merambah diberbagai lini. Seperti seminar nasional bahkan acara pernokahan. Rata-rata konsumsi emisi karbon masyarakat Indonesia sekitar 3 ton per tahun, skema carbon offset memungkinkan individu untuk membayar sekitar Rp450.000 per tahun guna menyeimbangkan emisi mereka.
Animo yang tinggi terhadap perdagangan karbon menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dan pelaku industri terhadap aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Ke depan, perdagangan karbon diharapkan terus berkembang dan menjadi salah satu instrumen utama dalam mendukung target net zero emission Indonesia.
BEI memfasilitasi dua mekanisme perdagangan karbon, yaitu perdagangan sektor spesifik atau sectoral trading dan perdagangan lintas sektor cross-sectoral trading. Mekanisme ini memungkinkan perusahaan yang memiliki kelebihan kuota emisi untuk menjual kredit karbonnya kepada perusahaan lain, baik domestik maupun internasional. Sistem perdagangan karbon tersebut dirancang dengan standar internasional.
CEO Lanscape Indonesia, Agus Sari, menyebut bahwa green investment di Indonesia kini telah mencapai tingkat kelayakan ekonomi dan finansial. "Subsidi yang diberikan sudah lebih merata, tidak hanya terfokus pada sektor tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau telah menjadi bagian dari strategi bisnis yang lebih luas," ujar Agus Sari dalam acara serupa.
Menurutnya, negara bagian Texas di Amerika Serikat menjadi contoh bagaimana sektor swasta lebih mempertimbangkan analisis manajemen biaya dalam investasi hijau. "Bisnis melihat ini sebagai pertimbangan keuangan, bukan sekadar kebijakan ekonomi. Jika pendekatan ini diterapkan di Indonesia, maka keberlanjutan ekonomi hijau akan lebih kuat," lanjut dia.
Dalam konteks kebijakan, Agus menekankan pentingnya memastikan bahwa insentif dan kebijakan fiskal mendukung transisi menuju ekonomi hijau. "Jika kita ingin mencapai pertumbuhan ekonomi 5 persen per tahun secara berkelanjutan, maka adopsi energi hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan," kata dia.
Kontribusi Ciptakan Target Pertumbuhan Ekonomi Hijau
Founder dan CEO Kabarbursa.com, Upi Asmaradhana, menyoroti tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mencapai transisi energi yang berkelanjutan (sustainability) dan target nol emisi (net zero emission).
Menurutnya, peralihan dari energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) bukan hanya sekadar pilihan tetapi merupakan kebutuhan mendesak untuk masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
“Media saat ini dituntut untuk berkontribusi dalam sektor ekonomi hijau di Indonesia. Saya berharap forum ini dapat menjadi forum yang berkelanjutan,” ujar Upi Asmaradhana dalam sambutan pembuka KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025, dengan tema “Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions", di Le Meridien, Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2025.
Menurut Upi Asmaradhana, KEI 2025 diharapkan dapat membicarakan berbagai peluang dan tantangan dalam membangun ekonomi hijau di Indonesia. Ini juga sejalan dengan cara semua pemangku kepentingan (stakeholder) dapat bertransformasi mendukung target itu.
“Saya berharap kegiatan hari ini benar-benar akan memberi semacam pemahaman yang menyeluruh bagaimana kita sebagai bangsa ikut berkontribusi ke dalam menciptakan target keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia,” paparnya.
Ia menyampaikan harapan dari acara hari ini untuk bisa melahirkan apa yang kita sebut sebagai kolaborasi membangun negeri.
“Dan kami berharap semua pihak dapat berkontribusi dalam membangun negeri ini,” tutup Upi Asmaradhana dalam opening remarks KEI 2025. (*)