KABARBURSA.COM - Pengurangan emisi sedang digalakkan di semua negara, termasuk Indonesia. Salah satu yang menjadi perhatian adalah soal perdagangan karbon atau carbon trading.
Topik ini menjadi perbincangan yang hangat didiskusikan dalam acara KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025 tentang "Greenomics Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions".
CEO Landscape Indonesia, Agus Sari, menekankan bahwa perdagangan karbon harus diterapkan regulasi ketat harus untuk memastikan efektivitas berjalan sesuai harapan.
Ia menyoroti pentingnya pengembangan bursa karbon dan implementasi pembiayaan hijau di Indonesia sebagai langkah strategis dalam menghadapi perubahan iklim dan mencapai target pengurangan emisi. Sebagai pemimpin di Landscape Indonesia, sebuah perusahaan yang menyediakan konsultasi strategis tentang pengelolaan lanskap berkelanjutan, kehutanan, perubahan iklim, dan pasar karbon, Agus menyoroti bahwa konsep perdagangan karbon dapat menekan biaya emisi bagi perusahaan, memungkinkan mereka memperoleh lebih banyak barang dengan biaya yang sama. Namun, ia mengingatkan bahwa penurunan emisi harus diakui melalui regulasi yang jelas, bukan sekadar inisiatif pasar semata.
“Perusahaan-perusahaan hanya bisa mengurangi emisi mereka dalam batas tertentu. Jika kuota semakin dikurangi, harga karbon akan menyesuaikan sehingga tercipta insentif bagi industri untuk mencari alternatif yang lebih bersih,” ujar Agus dalam acara diskusi di panel III dengan tema "Green Finance Strategies in Indonesia", di Jakarta, Rabu, 26 Februari 2025.
Ia juga mengungkapkan bahwa konsep perdagangan emisi bukanlah hal baru. Pada 1990-an, Amerika Serikat memperkenalkan sistem perdagangan emisi untuk sulfur dioksida (SO₂), yang awalnya diperkirakan mencapai 90 dolar per ton, tetapi setelah pasar dibuka, harga turun drastis menjadi hanya 7 dolar per ton. “Ini menunjukkan bahwa pasar karbon mendorong efisiensi dalam pengurangan emisi,” jelasnya.
Agus menekankan bahwa bursa karbon merupakan mekanisme vital untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui perdagangan kredit karbon. Namun, tantangan utama dalam implementasinya di Indonesia meliputi kurangnya regulasi yang komprehensif, infrastruktur pendukung yang belum memadai, serta kesadaran dan pemahaman yang terbatas di kalangan pelaku industri dan masyarakat mengenai manfaat perdagangan karbon.
Ia juga menggarisbawahi bahwa sektor-sektor seperti pertambangan, transportasi, dan perbankan memiliki peran krusial dalam penerapan pembiayaan hijau. Di sektor pertambangan, misalnya, diperlukan investasi dalam teknologi bersih dan praktik operasional yang ramah lingkungan untuk mengurangi jejak karbon. Sementara itu, sektor transportasi dapat berkontribusi melalui pengembangan dan adopsi kendaraan listrik serta peningkatan efisiensi bahan bakar. Perbankan, sebagai lembaga keuangan, memiliki tanggung jawab untuk menyediakan skema pembiayaan yang mendukung proyek-proyek hijau dan berkelanjutan.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Agus menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah sebagai regulator, lembaga keuangan, dan sektor industri. Pemerintah diharapkan dapat menetapkan kerangka regulasi yang jelas dan memberikan insentif bagi pelaku usaha yang berkomitmen pada praktik hijau. Lembaga keuangan perlu mengembangkan produk dan layanan yang mendukung pembiayaan hijau, sementara sektor industri harus proaktif dalam mengadopsi teknologi dan praktik ramah lingkungan.
Selain itu, dia juga terlibat dalam inisiatif untuk mendirikan fasilitas pembiayaan karbon transisi energi. Tujuannya adalah memfasilitasi penghentian dini operasional pembangkit listrik tenaga batu bara dan menggantinya dengan sumber energi terbarukan, serta mendukung konservasi dan rehabilitasi ekosistem seperti hutan bakau
Dalam acara KEI 2025, Agus berdiskusi dengan Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono dan Ekonom Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati.
Senada dengan Agus, Penasihat Khusus Presiden bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, menyebut dalam konteks regulasi, bahwa prinsip utama yang harus diterapkan adalah polluters have to pay atau pencemar harus membayar. Hal itu yang menyebabkan semua pihak yang menghasilkan polusi itu harus membayar namun dengan banyak cara. "Saya sangat gembira ketika pemerintah menyampaikan ada banyak platform dan ditargetkan kalau gak salah PLTU sama industri yang tingkat polusinya di luar batas," kata Bambang.
Langkah pemerintah diklaim telah menetapkan mekanisme perdagangan karbon dan menargetkan sektor-sektor dengan tingkat polusi tinggi seperti PLTU dan industri berat. “Singapura telah menerapkan karbon tax sejak lama. Saat kita masih melakukan subsidi BBM, mereka justru mengenakan pajak pada konsumsi energi fosil. Ini adalah langkah yang perlu kita pertimbangkan agar transisi energi berjalan lebih cepat,” katanya.
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2016-2019) serta Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (2019-2021) ini menekankan pentingnya kebijakan fiskal dan regulasi dalam mendukung pembiayaan hijau di Indonesia. Menurutnya, sinergi antara sektor publik dan swasta sangat diperlukan untuk mempercepat investasi hijau dan menciptakan regulasi yang lebih adaptif guna mengurangi hambatan birokrasi. Ia juga menyoroti bagaimana instrumen utang negara berbasis keberlanjutan dapat menjadi solusi strategis dalam mendanai proyek hijau di Indonesia.
Bambang menggarisbawahi bahwa pembangunan infrastruktur berkelanjutan harus dikembangkan sebagai katalis untuk pemulihan ekonomi pascapandemi. Hal ini hanya dapat dicapai melalui pendekatan multilateralisme dan kerja sama internasional yang koheren serta inklusif. Ia menekankan bahwa investasi dan kemitraan antara sektor publik dan swasta merupakan kunci untuk menciptakan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan.
Namun, Bambang juga mengingatkan adanya kesenjangan yang lebar antara kapasitas pembiayaan ekonomi hijau di negara berkembang dan negara maju. Keterbatasan kapasitas fiskal di negara berkembang seringkali menjadi hambatan dalam upaya dekarbonisasi dan transisi menuju ekonomi hijau. Oleh karena itu, diperlukan reformasi strategi pembiayaan dan pengembangan ekosistem yang menarik bagi investor swasta untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek berkelanjutan.
Salah satu strategi yang diusulkan oleh Bambang adalah penerapan skema blended financing. Skema ini bertujuan memobilisasi arus modal swasta ke proyek-proyek yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, dengan tetap memberikan pengembalian finansial kepada para investor. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mendukung skema ini antara lain penguatan lembaga keuangan, penciptaan platform multilateral, dan kemitraan multi-stakeholder.
Selain itu, Bambang juga menekankan pentingnya inovasi dan investasi dalam teknologi hijau sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ia mengajak pemerintah, akademisi, dan sektor swasta untuk berkolaborasi menciptakan ekosistem yang mendukung implementasi inovasi hijau. Menurutnya, inovasi hijau bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak bagi negara-negara di seluruh dunia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Tentang KEI 2025
KEI 2025 adalah forum diskusi tahunan yang mempertemukan pemangku kepentingan di sektor energi, keuangan, dan industri untuk membahas tantangan serta peluang menuju ekonomi hijau. Tahun ini, KEI mengusung tema "Greenomic Indonesia: Challenges in Banking, Energy Transition, and Net Zero Emissions", dengan tujuan menggali solusi konkret dalam mewujudkan transformasi energi berkelanjutan di Indonesia.
Agenda KEI 2025 mencakup tiga panel diskusi utama. Panel pertama, bertajuk "Embracing Sustainable Mining Practice to Build a Sustainable Future", menghadirkan narasumber seperti Ardhi Ishak K (Chairman of Industrial Relations, PERHAPI), Hendra Gunawan (Director of Engineering & Environment, Kementerian ESDM), dan Sugeng Suparwoto (Wakil Ketua Komisi XII DPR RI).
Panel kedua, dengan tema "Alternative Vehicle for a Zero-Emission Future", menampilkan pembicara antara lain Ririn Rachmawardini (EVP Pengembangan Produk Niaga, PLN Indonesia), Djoko Setijowarno (Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia), dan Fransiscus S. (Chief Operating Officer, Hyundai Motors Indonesia).
Panel ketiga, berjudul "Green Finance Strategies in Indonesia", mengundang narasumber seperti Ninasapti Triaswati (Ekonom Universitas Indonesia), Bambang Brodjonegoro (Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Ekonomi), Agus Sari (CEO Landscape Indonesia), dan Ignatius Denny Wicaksono (Kepala Divisi Pengembangan Bisnis BEI).
Acara ini dapat terselenggara berkat dukungan dari berbagai sponsor, meliputi Astra, Telkom Indonesia, Wuling Motors Indonesia, PT Bank Negara Indonesia (BNI), Mind ID, Harita Nickel, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI), dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI). (*)