Logo
>

Hari Bumi dan Upaya Pemerintah ke Perdagangan Karbon

Peran pemerintah mendukung perdagangan karbon hingga tingkat internasional.

Ditulis oleh Desty Luthfiani
Hari Bumi dan Upaya Pemerintah ke Perdagangan Karbon
CEO TruCarbon, Debby Reynata saat membuka acara forum CarboNex 2025 di Main Hall Bursa Efek Indonesia, Jakarta pada Selasa, 22 April 2025. Desty Luthfiani/KabarBursa.com

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Wakil Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Diaz Hendropriyono, menyampaikan pandangan strategis pemerintah dalam penguatan mekanisme perdagangan karbon nasional. Ia juga membeberkan pemerintah saat ini tengah menjajaki pelebelan perdagangan karbon tingkat internasional.

    Diaz menjelaskan pentingnya sinergi antara standar internasional seperti Gold Standard dan Verra dengan sistem registri nasional (SRN) agar proses perdagangan karbon dapat berjalan tanpa hambatan. "Jangan sampai kita sudah tandatangan dengan international standard seperti Gold Standard atau Verra, tapi proyeknya belum siap. Maka kami coba identifikasi proyek-proyek yang sudah terdaftar, dan mana yang bisa dipercepat hingga proses issuance, sehingga tidak ada gap antara penandatanganan dan implementasi proyek,"kata Diaz di Gedung Bursa Efek Indonesia pada Selasa, 22 April 2025.

    Gold Standard dan Verra adalah dua lembaga internasional yang menetapkan standar untuk proyek pengurangan emisi karbon yang beroperasi di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market). 

    Keduanya bertujuan memastikan bahwa setiap proyek yang menghasilkan kredit karbon benar-benar memberikan dampak positif terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca serta, dalam beberapa kasus, manfaat tambahan bagi lingkungan dan masyarakat lokal.

    Gold Standard didirikan pada tahun 2003 oleh WWF bersama sejumlah organisasi lingkungan lainnya, fokus pada proyek-proyek yang tidak hanya mengurangi emisi karbon tetapi juga memberikan manfaat pembangunan berkelanjutan. 

    Proyek yang disertifikasi oleh Gold Standard biasanya berasal dari sektor energi terbarukan, efisiensi energi, serta solusi berbasis alam (nature-based solutions). Sertifikasi ini terkenal karena ketat dalam verifikasi manfaat sosial, seperti peningkatan akses air bersih, kesehatan, dan kesejahteraan komunitas setempat.

    Sementara itu, Verra, melalui program andalannya yakni Verified Carbon Standard (VCS), merupakan salah satu standar karbon sukarela terbesar dan paling banyak digunakan di dunia. Verra mengakomodasi berbagai jenis proyek, termasuk reforestasi, pencegahan deforestasi, pengelolaan limbah, pertanian, hingga teknologi industri. 

    Selain itu, Verra juga menyediakan program tambahan seperti Climate, Community & Biodiversity (CCB) yang menilai dampak proyek terhadap komunitas dan keanekaragaman hayati.

    Integrasi Antara Pengurangan Emisi dan pembangunan sosial

    Perbedaan utama antara keduanya terletak pada fokus dan metodologi. Gold Standard lebih menekankan integrasi antara pengurangan emisi dan pembangunan sosial, sedangkan Verra menawarkan cakupan proyek yang lebih luas dan fleksibel. Meski demikian, kedua standar ini diakui secara internasional dan sering dijadikan acuan oleh perusahaan maupun negara yang ingin melakukan offset emisi karbon secara sukarela.

    Di Indonesia, pemerintah tengah menjajaki integrasi antara sistem registri nasional (SRN) dengan kedua standar tersebut melalui skema joint labeling. Artinya, proyek karbon dalam negeri yang telah terdaftar di SRN bisa mendapatkan pengakuan ganda dari standar internasional seperti Gold Standard atau Verra. 

    Skema ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perdagangan karbon global, sekaligus meningkatkan daya tarik proyek-proyek karbon nasional di pasar internasional.

    Dia juga menyoroti pentingnya mengakselerasi proyek-proyek yang hampir mencapai tahap akhir penerbitan kredit karbon.

     "Kami bicara dengan APHI, mereka punya potensi pasokan karbon besar, sekitar 10,3 juta ton CO₂. Beberapa proyek sudah di ujung. Ini yang sedang kami dorong untuk segera issuance," ujarnya.

    Lebih lanjut, Diaz mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menjajaki kemungkinan joint labeling antara sistem SRN dan standar internasional. 

    "Misalnya, apakah akan keluar sebagai STI-GRK dari SRN dan kemudian approved oleh Gold Standard, atau ada mekanisme lain, itu masih dibicarakan. Detailnya sedang kami lihat, termasuk teknis pencetakan sertifikatnya," tambahnya.

    Pemerintah juga menargetkan peningkatan pasokan dari solusi berbasis alam (nature-based solutions) seperti kehutanan, biochar, dan pome. 

    "Potensi sektor biochar itu sekitar 2 juta ton, sementara dari pome bisa mencapai 23 juta ton. Sektor-sektor ini yang kami coba dorong karena kalau sudah MRE, supply-nya akan lebih banyak lagi," kata dia Diaz.

    Terkait keterlibatan perusahaan asing dalam perdagangan karbon domestik, Diaz menegaskan bahwa seluruh entitas, baik dalam maupun luar negeri, tetap harus melalui SRN sebagai pintu registrasi utama.

    Menanggapi perkembangan pajak karbon, Diaz menyatakan bahwa hal tersebut masih berada dalam kewenangan Kementerian Keuangan. 

    "Kami belum ada diskusi lanjutan. Saat ini, kami menunggu arahan dari Kementerian Keuangan apakah pajak karbon perlu diterapkan sekarang atau menunggu sampai perdagangan karbon lebih masif. Itu sepenuhnya wewenang mereka," ucapnya.

    Diaz juga menekankan pentingnya skema disinsentif seperti pajak karbon untuk mendorong partisipasi pelaku industri. 

    "Dari sisi pelaku, mereka perlu kejelasan. Tapi lagi-lagi, untuk disinsentif seperti pajak karbon, kami tunggu dari Kemenkeu," ujar dia

    Diaz menegaskan komitmen pemerintah dalam membangun ekosistem perdagangan karbon yang kredibel dan terintegrasi dengan standar global, seraya tetap menjaga kepentingan nasional dalam proses transisi menuju ekonomi rendah karbon.

    Stabilitas Ekonomi Dan Kesejahteraan Masyarakat

    Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro, menegaskan pentingnya menjadikan ekonomi hijau atau green economy sebagai arus utama dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Menurutnya, pendekatan pembangunan rendah karbon tidak hanya relevan dalam menghadapi perubahan iklim, tetapi juga untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

    "Green economy saat ini mungkin belum menjadi arus utama, tapi di masa depan diharapkan bisa menjadi bagian integral dari pengelolaan ekonomi Indonesia. Ketika saya masih di Bappenas tahun 2018, kami meluncurkan Low Carbon Development Initiative (LCDI) untuk mendorong agar keberlanjutan menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional," ujarnya dalam acara KabarBursa Economic Insight (KEI) 2025. Beberapa bulan lalu.

    Ia menjelaskan bahwa selama ini isu lingkungan hidup cenderung dianggap sebagai masalah insidental dan hanya diperhatikan oleh kelompok tertentu. Namun, dengan semakin besarnya dampak perubahan iklim, pendekatan ini harus diubah.

    "Dulu, perhatian utama kita lebih ke makroekonomi —kemiskinan, ketimpangan, pendidikan, kesehatan. Tapi kita lupa bahwa perubahan iklim mulai mengancam nyawa manusia. Kita lihat skalanya makin besar, bukan makin kecil. Kebakaran hutan di LA, badai Katrina di AS, banjir besar di Jerman dan Austria, semua itu menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak global," lanjutnya.

    Selain itu, ia menyoroti bagaimana perubahan iklim juga berdampak pada ketahanan pangan (food security), yang secara langsung berpengaruh pada stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, LCDI dirancang untuk memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tinggi, tetapi dengan tingkat emisi karbon yang lebih rendah.

    "Kita tidak bicara nol karbon karena itu terlalu ideal, tapi kita ingin low carbon. Itu sebabnya perlu evaluasi ulang cara kita menghitung GDP. Saat ini, GDP hanya menghitung total aktivitas ekonomi tanpa mempertimbangkan depresiasi sumber daya alam. Padahal, kalau kita terus mengabaikan aspek ini, dampaknya terhadap ekonomi akan jauh lebih berat ke depan," jelasnya.

    Bambang juga mengapresiasi semakin banyaknya media yang mulai mengangkat isu ekonomi hijau sebagai bagian dari economic outlook. Namun, ia menilai bahwa perhatian terhadap green economy masih kalah dibandingkan isu-isu ekonomi lain yang lebih bersifat jangka pendek, seperti anggaran negara atau perdagangan internasional.

    "Green economy sering dianggap sebagai isu jangka menengah dan panjang, sehingga kurang mendapat perhatian dibandingkan isu-isu yang lebih mendesak. Padahal, jika kita terus menunda mitigasi perubahan iklim, dampaknya akan jauh lebih besar, baik dari segi ekonomi maupun anggaran negara. Jangan sampai ekonomi kita tumbuh tinggi, tapi terganggu oleh bencana yang makin besar akibat perubahan iklim," tegasnya.

    Ia mencontohkan bagaimana bencana seperti gempa dan tsunami di Palu menyedot anggaran besar untuk rekonstruksi, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor lain. Oleh karena itu, menurutnya, investasi dalam ekonomi hijau adalah langkah strategis untuk menghindari kerugian ekonomi yang lebih besar di masa depan.

    Dengan semakin meningkatnya urgensi mitigasi perubahan iklim, Bambang menegaskan bahwa Indonesia perlu mengambil langkah konkret dalam transisi menuju ekonomi rendah karbon. Ia berharap pemerintah dan sektor bisnis dapat lebih serius dalam memasukkan prinsip keberlanjutan ke dalam strategi pembangunan nasional.

    Peringatan Hari Bumi

    Peringatan Hari Bumi 2025, yang berlangsung pada Selasa, 22 April 2025, kembali menjadi momen penting bagi dunia investasi, khususnya dalam mendorong kesadaran terhadap pentingnya keberlanjutan. 

    Di Indonesia, semangat ini terlihat dari meningkatnya minat terhadap saham-saham berbasis prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Investor sendiri kini lebih cenderung menanamkan modal pada perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial, ramah lingkungan, serta menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.

    Peningkatan ini tidak hanya berdampak pada citra perusahaan, tetapi juga memberikan nilai tambah bagi portofolio investasi. Perusahaan yang menunjukkan performa ESG yang kuat umumnya lebih siap menghadapi risiko iklim, sosial, dan regulasi, serta lebih inovatif dalam menciptakan produk dan layanan yang relevan dengan kebutuhan masa depan.

    Hari Bumi juga meningkatkan kesadaran akan pentingnya investasi yang berkelanjutan, baik dari sisi lingkungan maupun sosial. Investor institusional dan individu kini aktif mencari instrumen seperti saham ramah lingkungan, reksa dana hijau, hingga obligasi hijau. Lonjakan minat ini memperkuat ekosistem ekonomi berkelanjutan di Indonesia.

    Di sisi lain, perusahaan yang mengadopsi prinsip ESG mendapatkan keuntungan akses modal yang lebih luas. Mereka menjadi lebih menarik di mata investor global maupun domestik karena dianggap memiliki prospek jangka panjang yang lebih solid dan risiko yang lebih terkelola.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Desty Luthfiani

    Desty Luthfiani seorang jurnalis muda yang bergabung dengan KabarBursa.com sejak Desember 2024 lalu. Perempuan yang akrab dengan sapaan Desty ini sudah berkecimpung di dunia jurnalistik cukup lama. Dimulai sejak mengenyam pendidikan di salah satu Universitas negeri di Surakarta dengan fokus komunikasi jurnalistik. Perempuan asal Jawa Tengah dulu juga aktif dalam kegiatan organisasi teater kampus, radio kampus dan pers mahasiswa jurusan. Selain itu dia juga sempat mendirikan komunitas peduli budaya dengan konten-konten kebudayaan bernama "Mata Budaya". 

    Karir jurnalisnya dimulai saat Desty menjalani magang pendidikan di Times Indonesia biro Yogyakarta pada 2019-2020. Kemudian dilanjutkan magang pendidikan lagi di media lokal Solopos pada 2020. Dilanjutkan bekerja di beberapa media maenstream yang terverifikasi dewan pers.

    Ia pernah ditempatkan di desk hukum kriminal, ekonomi dan nasional politik. Sekarang fokus penulisan di KabarBursa.com mengulas informasi seputar ekonomi dan pasar modal.

    Motivasi yang diilhami Desty yakni "do anything what i want artinya melakukan segala sesuatu yang disuka. Melakukan segala sesuatu semaksimal mungkin, berpegang teguh pada kebenaran dan menjadi bermanfaat untuk Republik".