Logo
>

Indonesia Menuju Energi Bersih, Siap Luncurkan PLTN Pertama

Trump baru saja mengajukan proposal pemotongan besar-besaran dalam anggaran federal 2026.

Ditulis oleh Yunila Wati
Indonesia Menuju Energi Bersih, Siap Luncurkan PLTN Pertama
Ilustrasi. (Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Indonesia tampaknya tidak mau ketinggalan dalam perlombaan global menuju energi bersih. Di bawah kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto, pemerintah merancang loncatan besar dalam transisi energi dengan target ambisius.

    Loncatan besar tersebut adalah menambah kapasitas listrik nasional hingga 103 gigawatt (GW) dalam kurun waktu 15 tahun ke depan, termasuk menyelipkan kejutan besar—pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Tanah Air.

    Hashim Djojohadikusumo, saudara kandung Prabowo sekaligus utusan khusus presiden untuk energi dan iklim, memaparkan bahwa 10 GW dari kapasitas baru tersebut akan datang dari energi nuklir. 

    Ia menyebutkan bahwa sebagian besar kontrak akan diteken dalam lima tahun ke depan, mengingat panjangnya waktu pembangunan dan persiapan yang dibutuhkan oleh proyek nuklir.

    Ini tentu bukan proyek sembarangan. Saat ini, kapasitas listrik terpasang Indonesia berada di angka sekitar 90 GW, dan lebih dari separuhnya masih berasal dari pembangkit batu bara. 

    Energi terbarukan saat ini baru menyumbang kurang dari 15 GW. Dengan rencana ambisius ini, Indonesia ingin tidak hanya menggandakan kapasitas listrik nasional, tetapi juga secara perlahan meninggalkan ketergantungan terhadap batu bara—penyumbang emisi terbesar selama ini.

    Yang membuat rencana ini semakin menarik adalah daftar pemain global yang mulai melirik peluang emas ini. Perusahaan-perusahaan nuklir kelas dunia seperti Rosatom (Rusia), China National Nuclear Corporation (CNNC), Rolls Royce (Inggris), EDF (Prancis), hingga NuScale dari Amerika Serikat—yang fokus pada teknologi reaktor modular kecil—telah menunjukkan ketertarikan mereka terhadap proyek-proyek nuklir di Indonesia. 

    Bahkan, Hashim menyebut bahwa kemungkinan besar mereka akan berinvestasi bersama dana abadi nasional, Danantara Indonesia.

    Tapi di balik peluang besar, tentu saja ada tantangan yang tak bisa diabaikan. Salah satunya adalah soal lokasi. Indonesia merupakan bagian dari Cincin Api Pasifik—wilayah rawan gempa dan aktivitas vulkanik. 

    Isu ini telah lama menjadi momok bagi pengembangan PLTN di negeri ini. Namun, pemerintah tampaknya mulai membagi strategi berdasarkan wilayah. Untuk wilayah barat Indonesia yang relatif lebih stabil secara geologis, rencananya akan dibangun reaktor berkapasitas besar di darat. 

    Sementara untuk kawasan timur yang lebih rawan, digunakan pendekatan teknologi floating modular reactor yang lebih fleksibel dan dapat ditempatkan di laut.

    Selain nuklir, sebagian besar dari target 103 GW lainnya akan berasal dari energi terbarukan lain: 75 GW dari solar panel, angin, panas bumi, dan biomassa. 

    Sisanya, sekitar 18 GW akan berasal dari gas, sebagai sumber energi transisi yang lebih bersih dibanding batu bara.

    Meski ambisi energi hijau begitu kuat, pemerintah tetap menegaskan tidak akan bertindak gegabah. Hashim menegaskan bahwa tidak akan ada "phase out" atau penghentian total batu bara, tetapi lebih ke arah "phase down" atau pengurangan secara bertahap. 

    Alasannya jelas, pemerintah masih ingin menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, dengan target ambisius mencapai 8 persen dalam waktu dekat, dari rata-rata sekitar 5 persen beberapa tahun terakhir.

    Salah satu langkah nyata dalam proses ini adalah negosiasi dengan Asian Development Bank (ADB) untuk pensiun dini pembangkit Cirebon-1 di Jawa Barat, berkapasitas 660 MW. Proyek ini merupakan bagian dari kemitraan internasional Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dolar AS. 

    Meski sempat tertahan karena isu hukum dan keuangan, kesepakatannya diperkirakan akan rampung dalam beberapa bulan ke depan. Namun, muncul tantangan baru berupa mundurnya komitmen dari pemerintah AS dalam JETP, yang bisa berdampak pada kelanjutan beberapa proyek pendanaan.

    Transisi energi Indonesia tidak akan mudah, tetapi komitmen yang ditunjukkan sejauh ini patut diapresiasi. Dengan roadmap yang semakin konkret dan dukungan dari berbagai mitra internasional, Indonesia berpeluang menjelma menjadi negara berkembang dengan model energi hijau yang tangguh—bahkan bisa jadi yang pertama di kawasan Asia Tenggara yang mengoperasikan PLTN.

    Bagi investor, pelaku industri, maupun publik luas, langkah ini bukan hanya soal ketahanan energi, tapi juga tentang posisi Indonesia di peta transformasi ekonomi global. Jika dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan jadi pionir baru energi nuklir dan terbarukan di wilayahnya. Tantangan besar, tapi peluangnya juga tak kalah luar biasa.

    Trump Usulkan Pemangkasan Anggaran Energi Hijau dan Perubahan Iklim

    Berbeda dengan Indonesia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru mengambil keputusan krusial. Trump baru saja mengajukan proposal pemotongan besar-besaran dalam anggaran federal 2026. 

    Proposal ini mencakup pemangkasan dana lebih dari USD163 miliar, yang sebagian besar memengaruhi sektor-sektor non-militer seperti energi terbarukan, infrastruktur kendaraan listrik, dan program konservasi pertanian. 

    Langkah ini menuai sorotan tajam, tidak hanya karena besarnya pemangkasan yang diajukan, tetapi juga karena target yang dituju adalah sektor-sektor yang selama ini menjadi tulang punggung upaya penanggulangan perubahan iklim dan pengembangan energi bersih di Amerika.

    Ilustrasi dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com
    Salah satu hal yang paling kontroversial dari proposal ini adalah pembatalan lebih dari $15 miliar dana untuk teknologi penangkapan karbon dan energi terbarukan yang sebelumnya telah disetujui melalui undang-undang infrastruktur bipartisan di era Presiden Joe Biden. 

    Selain itu, Trump juga mengusulkan untuk membatalkan USD6 miliar untuk pengembangan jaringan pengisian daya kendaraan listrik (EV), yang disebutnya terlalu terfokus pada regulasi dan isu “keadilan iklim” daripada efektivitas pasar.

    Proposal ini tidak hanya mengubah arah pendanaan Departemen Energi AS dari energi bersih ke penelitian dan pengembangan teknologi berbasis minyak, gas, batu bara, serta nuklir, tetapi juga menjadi sinyal bahwa pemerintahan Trump lebih memilih pendekatan tradisional terhadap energi—yang mengandalkan sumber daya alam fosil ketimbang inovasi berkelanjutan.

    Tak berhenti di sektor energi, proposal anggaran ini juga memangkas lebih dari USD4,5 miliar dari Departemen Pertanian, yang sebagian besar menyasar program konservasi, pengembangan pedesaan untuk air dan perumahan, serta hibah riset. 

    Hal ini berpotensi besar mengganggu kehidupan petani dan komunitas pedesaan yang selama ini bergantung pada program dukungan tersebut.

    Sektor lingkungan pun tak luput dari sasaran. Trump mengusulkan pemangkasan hampir 55 persen dari anggaran Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) yang telah disahkan untuk 2025, dengan menghilangkan berbagai hibah dan program penelitian yang terkait dengan perubahan iklim dan keadilan lingkungan. 

    Termasuk di dalamnya adalah pemangkasan USD235 juta dari divisi Penelitian dan Pengembangan EPA dan penghapusan proyek-proyek yang dinilai “tidak selaras” dengan prioritas pemerintah, seperti satelit pemantauan iklim dan riset oseanografi oleh NOAA.

    Kebijakan ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak. Senator Patty Murray menyebut proposal tersebut sebagai ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat, keberlangsungan lingkungan, serta masa depan komunitas pedesaan dan petani. 

    Sementara itu, CEO American Association for the Advancement of Science Sudip Parikh, menyatakan bahwa jika proposal ini disahkan, posisi Amerika Serikat dalam kepemimpinan riset dan pengembangan global bisa terancam serius.

    Meski usulan anggaran dari Gedung Putih sering kali mengalami perubahan signifikan di tangan Kongres, langkah awal ini sudah menunjukkan arah kebijakan yang berpotensi membalikkan pencapaian besar dalam transisi energi dan perlindungan lingkungan di Amerika Serikat. 

    Di tengah ancaman perubahan iklim global dan krisis energi bersih, keputusan seperti ini bukan hanya berdampak domestik, tetapi juga bisa mengguncang komitmen internasional dalam mencapai net zero emission.

    Bagi para pengamat dan pelaku industri energi, perkembangan ini menjadi perhatian besar. Dunia tengah bergerak ke arah teknologi bersih dan solusi berkelanjutan, dan setiap langkah mundur dari negara sebesar Amerika Serikat dapat memberikan efek domino bagi upaya global dalam mengatasi krisis iklim.

    Apakah kebijakan ini akan diloloskan oleh Kongres masih menjadi tanda tanya besar. Namun yang pasti, proposal ini telah menyalakan alarm bahwa masa depan energi bersih dan kebijakan iklim di Amerika akan menjadi arena pertarungan politik yang semakin panas menjelang pemilu mendatang.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79