KABARBURSA.COM - Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali membuat gebrakan kontroversial di ranah kebijakan lingkungan dan energi dengan menggugat empat negara bagian yang dipimpin Partai Demokrat—New York, Vermont, Hawaii, dan Michigan.
Departemen Kehakiman AS (DOJ) mengklaim bahwa undang-undang dan rencana gugatan hukum yang diluncurkan negara-negara bagian tersebut terhadap perusahaan minyak besar bersifat "membebani" dan "bermotif ideologis", serta mengancam kebijakan nasional terkait energi dan keamanan ekonomi.
Gugatan ini dipicu oleh langkah New York dan Vermont yang telah mengesahkan undang-undang “superfund” iklim, mewajibkan perusahaan minyak membayar miliaran dolar ke dalam dana khusus untuk menutupi kerusakan akibat perubahan iklim.
New York sendiri menargetkan pengumpulan dana sebesar USD75 miliar, yang oleh DOJ disebut sebagai "skema pemerasan uang secara transparan" dari perusahaan luar negara bagian. Pemerintah federal menganggap upaya ini melanggar konstitusi karena mengintervensi peran nasional dalam mengatur emisi gas rumah kaca dan kebijakan luar negeri terkait iklim.
Gugatan DOJ ini mencerminkan janji kampanye Trump pada pemilu 2024 untuk menghentikan “gelombang litigasi sembrono dari kaum ekstremis lingkungan.” Presiden Trump juga telah menandatangani perintah eksekutif pada hari pertama menjabat kembali, yang mendeklarasikan darurat energi nasional, mempercepat perizinan proyek energi, mencabut perlindungan lingkungan, dan menarik AS dari perjanjian internasional perubahan iklim.
Gugatan ini juga menekankan bahwa undang-undang dan tuntutan hukum iklim dari negara bagian dinilai menghambat rencana strategis pemerintah pusat dalam meningkatkan produksi energi dalam negeri.
Meski DOJ mengambil langkah hukum pre-emptive terhadap Michigan dan Hawaii, negara bagian tersebut tidak gentar. Bahkan pada hari yang sama saat gugatan diumumkan, Hawaii tetap meluncurkan gugatan di pengadilan negara bagian terhadap perusahaan minyak raksasa seperti BP, Chevron, ExxonMobil, dan Shell, menuduh mereka gagal memperingatkan publik akan dampak iklim dari produk bahan bakar fosil mereka.
Sementara itu, Jaksa Agung Michigan Dana Nessel, menyebut gugatan DOJ sebagai “frivolous” dan berjanji akan tetap mengajukan gugatan terhadap perusahaan minyak besar yang ia sebut sebagai "pendonor utama Presiden".
Langkah ini menjadi bagian dari pertempuran hukum yang lebih besar antara pemerintah federal yang konservatif dan negara bagian yang progresif, yang telah memuncak selama beberapa tahun terakhir.
Gugatan iklim dari negara bagian terhadap perusahaan minyak sebagian besar masih berada di tahap awal, setelah melalui sengketa panjang mengenai yurisdiksi—apakah gugatan tersebut dapat diajukan di pengadilan negara bagian alih-alih federal.
Mahkamah Agung AS baru-baru ini menolak permintaan 19 negara bagian yang dipimpin Partai Republik untuk memblokir lima negara bagian Demokrat melanjutkan gugatan iklim mereka.
Sementara itu, undang-undang "superfund" iklim New York dan Vermont juga tengah menghadapi tantangan hukum terpisah dari negara-negara bagian yang dipimpin Republik dan Kamar Dagang AS.
Dalam pernyataannya, Jaksa Agung New York Letitia James membela hukum tersebut sebagai alat penting untuk memastikan perusahaan penyebab krisis iklim bertanggung jawab atas dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Di tengah ketegangan ini, muncul pertanyaan besar tentang masa depan kebijakan iklim dan energi AS. Gugatan-gugatan ini bukan hanya soal tanggung jawab hukum terhadap krisis iklim, tetapi juga cermin tarik-menarik ideologi antara perlindungan lingkungan dan ketahanan energi nasional.
Ketika perusahaan minyak besar menjadi sorotan karena peran mereka dalam krisis iklim global, perdebatan hukum ini bisa menjadi preseden penting dalam lanskap hukum dan kebijakan iklim di Amerika Serikat.
100 Hari Pertama Trump Harga Minyak Anjlok, Dominasi Energi AS dalam Tekanan?
Seratus hari memasuki masa jabatan keduanya, Presiden Donald Trump menghadapi realitas pahit di sektor energi: harga minyak mentah AS anjlok lebih dari 20 persen, menembus level psikologis USD60 per barel—terendah sejak pandemi COVID-19—dan jauh di bawah titik impas USD65 yang dibutuhkan banyak produsen minyak untuk meraih keuntungan.
Fenomena ini bukan hanya mengguncang industri energi domestik, tetapi juga meruntuhkan narasi utama Trump tentang "dominasi energi Amerika", yang sejak awal kampanye selalu digaungkan dengan slogan “drill, baby, drill”.
Trump memang bergerak cepat. Pada hari pertamanya menjabat, ia langsung menandatangani serangkaian perintah eksekutif untuk memaksimalkan produksi minyak dan gas. Namun, langkah tersebut kini justru dibayangi oleh dampak kebijakan perdagangan yang proteksionis.
Penerapan tarif minimum 10 persen pada impor AS sejak “Hari Pembebasan Ekonomi” 2 April tidak hanya memicu kekhawatiran inflasi, tetapi juga menekan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global—yang pada akhirnya turut memukul permintaan minyak.
Investor kehilangan kepercayaan di tengah ketidakpastian arah kebijakan energi dan perdagangan, yang membuat lembaga-lembaga seperti EIA, IEA, OPEC, dan sejumlah bank besar memangkas proyeksi harga dan pertumbuhan permintaan minyak dunia.
Bahkan, keputusan OPEC+ untuk mempercepat kenaikan produksi musim semi ini justru memperparah tren penurunan harga, meskipun sebelumnya Trump mendesak Arab Saudi dan OPEC untuk menurunkan harga minyak.
Akibatnya, para produsen minyak AS yang sebelumnya optimistis kini mulai menahan diri. Produksi harian sempat mencapai 13,4 juta barel per hari (bpd) pada April, namun proyeksi tahun 2025 direvisi turun, dan banyak perusahaan menunda pengeboran sumur baru.
Sebagaimana dikatakan Roe Patterson, mantan CEO Basic Energy Services, kebijakan Trump menciptakan ketidakpastian yang terlalu besar untuk diabaikan, dan asumsi bahwa produsen akan terus mengebor di tengah iklim seperti ini adalah perhitungan yang keliru.
Sementara itu, kebijakan luar negeri Trump yang menargetkan sanksi terhadap penjualan minyak Iran—termasuk fasilitas energi yang berbasis di Tiongkok—memang sempat menopang harga minyak, tetapi lebih banyak menyumbang ketidakpastian pasar secara keseluruhan.
Reaksi pasar yang labil menunjukkan bahwa sanksi semacam ini lebih mengganggu stabilitas ketimbang memperkuat posisi energi AS.
Namun di sisi lain, gas alam cair (LNG) justru tampil sebagai pemenang dalam kebijakan energi Trump. Ia mencabut moratorium ekspor LNG yang sebelumnya diberlakukan di era Biden dan mempercepat izin proyek-proyek LNG baru.
Proyeksi EIA menyebutkan bahwa ekspor LNG AS akan meningkat menjadi 15,2 miliar kaki kubik per hari pada 2025, naik signifikan dari 11,9 bcfd pada 2024. Perusahaan seperti Woodside Energy bahkan mengucurkan investasi sebesar USD17,5 miliar untuk proyek LNG, menyebut visi "dominasi energi AS" sebagai alasan utama mereka.
Namun, sektor ini pun tidak lepas dari tantangan. Tarif baja dan aluminium yang diterapkan Trump membuat biaya proyek meningkat drastis, ditambah tekanan dari inflasi tenaga kerja dan peralatan. Meski demikian, LNG masih dianggap lebih tahan banting dibanding minyak dalam menghadapi gejolak kebijakan.
Sementara itu, energi bersih dan terbarukan menjadi korban nyata dari kebijakan baru ini. Trump memerintahkan penarikan AS dari Perjanjian Iklim Paris dan membatalkan izin baru untuk proyek angin lepas pantai federal, menimbulkan ketidakpastian besar bagi pengembang energi terbarukan.
Upayanya untuk mendorong kembali listrik berbasis batu bara juga dinilai tidak masuk akal secara ekonomi, karena pangsa pasar batu bara terus menyusut menjadi kurang dari 20 persen dibanding lebih dari 50 persen pada 2010.
Dengan sebagian besar pembangkit listrik tenaga batu bara berusia lebih dari 50 tahun, utilitas besar pun tidak menunjukkan minat untuk membangun yang baru.
Kebijakan energi di era Trump kini sangat condong ke sektor minyak, gas, dan batu bara, dengan mengorbankan insentif dan dukungan terhadap energi terbarukan yang berkembang pesat di era sebelumnya.
Menurut David Amerikaner dari firma hukum Duane Morris, pergeseran ini menunjukkan kejelasan sikap federal dalam mendukung bahan bakar fosil, sembari secara eksplisit menghambat pertumbuhan energi rendah karbon.
Realitas yang dihadapi industri menunjukkan bahwa kebijakan “dominasi energi” yang agresif perlu diimbangi dengan kepastian pasar, diplomasi perdagangan yang stabil, dan dukungan pada inovasi energi berkelanjutan. Tanpa keseimbangan tersebut, ambisi energi Trump berisiko menjadi bumerang ekonomi dan strategis bagi Amerika Serikat.(*)