Logo
>

Akrobat Tambang di Raja Ampat

Ditulis oleh Uslimin Usle
Akrobat Tambang di Raja Ampat
Raja Ampat terancam tambang. Izin lama diaktifkan, ekologi terguncang, adat dilangkahi. Pencabutan IUP jadi awal, bukan akhir perjuangan. Ilustrasi oleh Andrew BernadAkrobat Tambang di Raja Ampat Raja Ampat dikenal dunia bukan karena hasil tambangnya, melainkan karena keindahan bentang alam yang menjadikannya ikon konservasi laut tropis. Surga karst, terumbu karang kelas dunia, dan kekayaan biodiversitas yang nyaris tak tertandingi menjadikan wilayah ini laboratorium alam dan kebanggaan Indonesia di mata dunia. Namun belakangan, kemolekan Raja Ampat mulai ternoda. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dikabarkan mengaktifkan kembali izin-izin tambang yang sebelumnya telah dibekukan. Manuver ini memantik kecaman luas dari pegiat lingkungan, akademisi, dan masyarakat adat yang merasa wilayah kelola leluhur mereka kembali dipertaruhkan atas nama pembangunan. Interpretasi Regulasi di Wilayah Konservasi Akar polemik ini berkelindan antara otonomi daerah dan tarik-menarik regulasi nasional pasca berlakunya UU Cipta Kerja. UU ini memang memusatkan wewenang pemberian izin tambang ke tangan pemerintah pusat. Namun di lapangan, sejumlah pemerintah daerah, termasuk Raja Ampat, melakukan interpretasi longgar terhadap celah hukum. Mengklaim bahwa beberapa izin lama hanya butuh “penyesuaian administratif” agar tetap berlaku. Alasannya klise. Demi mengurangi ketergantungan fiskal pada dana pusat. Tapi, layakkah masa depan ekonomi dibangun dengan menukar hutan lindung dan laut warisan dunia dengan lubang-lubang tambang? Lebih mencemaskan, banyak konsesi yang digugat justru tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan wilayah adat. Ini bukan hanya konflik administratif, melainkan perampasan ruang hidup dan ancaman ekologis nyata. Etika dan Ekologi yang Terkoyak Kebijakan tambang di Raja Ampat telah berubah menjadi “akrobat” hukum. Secara legal tampak sah, namun secara etika dan ekologi sangat meragukan. Tanda-tanda keretakan kian nyata. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komnas HAM, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut menyoroti proses perizinan di Papua Barat Daya, termasuk di Raja Ampat. Sejumlah perusahaan tetap melenggang meski terbukti tidak memenuhi syarat administratif, lingkungan, bahkan kehutanan. Hal ini mencerminkan lemahnya tata kelola dan kuatnya jejaring kekuasaan yang bermain di ruang abu-abu kebijakan. Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, pengelolaan sumber daya hanya akan menjadi lahan perebutan elite. Bukan demi kemaslahatan rakyat dan kelestarian bumi. Menjaga Tanah, Menolak Tambang Masyarakat adat Raja Ampat telah berulang kali menyatakan penolakan terhadap eksploitasi tambang. Mereka tidak anti-pembangunan. Yang mereka tolak adalah pendekatan pembangunan yang merusak tanah ulayat dan mengancam fondasi ekologis yang menopang kehidupan mereka selama berabad-abad. Solusinya bukan tambang. Tapi, konservasi dan ekowisata berbasis komunitas. Dua sektor yang telah terbukti mendatangkan manfaat ekonomi berkelanjutan tanpa menumbalkan lingkungan. Saatnya pendekatan pembangunan ditata ulang. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu membuka ruang dialog sejajar dengan masyarakat adat, ilmuwan, dan pemangku kepentingan lingkungan. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus merosot. Dari Ormas ke Kampus Di sisi lain, arah kebijakan nasional terkait tambang justru makin membingungkan. Tahun 2024, Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas keagamaan) dan perguruan tinggi untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Pemerintah berdalih ini upaya distribusi manfaat yang lebih adil agar hasil tambang juga bisa mendukung umat dan pendidikan. Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, hingga sejumlah kampus negeri disebut-sebut masuk radar calon pengelola tambang. Namun publik tak tinggal diam. Lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, hingga akademisi menyoroti potensi konflik kepentingan, celah korupsi, dan minimnya kapasitas teknis dari para aktor non-profesional tersebut. Menambang bukan aktivitas karitatif. Ia sarat risiko, baik teknis, lingkungan, maupun sosial. Ironisnya, di saat pemerintah mencabut empat IUP di Raja Ampat karena pelanggaran lingkungan, kebijakan baru justru membuka kran baru ke tangan yang tak sepenuhnya siap. Pertanyaannya: apakah pencabutan ini benar-benar upaya perbaikan tata kelola, atau hanya rotasi kepentingan yang dikemas dengan regulasi baru? Pencabutan IUP dan Respons Pemerintah Pada 10 Juni 2025, pemerintah mencabut empat dari lima IUP di kawasan Raja Ampat. Keputusan ini diambil sehari setelah rapat terbatas Presiden Prabowo Subianto bersama jajaran kabinetnya. Alasannya jelas. Tekanan publik, laporan investigatif, dan temuan kerusakan lingkungan. Berikut empat perusahaan yang dicabut izinnya: 1. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) Memiliki IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawe. PT KSM sempat aktif berproduksi sejak 2023. Namun pelanggaran lingkungan membuat izinnya dicabut. 2. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) Mengelola wilayah 2.193 hektare di Pulau Batang Pele dan Manyaifun. IUPnya dicabut karena tidak memenuhi standar evaluasi lingkungan. 3. PT Anugerah Surya Pratama (ASP) Beroperasi di Pulau Manuran seluas 1.173 hektare. Meski memiliki AMDAL sejak 2006, tetap dicabut karena pelanggaran ekologis. 4. PT Nurham Belum berproduksi di konsesi 3.000 hektare Pulau Waigeo. Namun kurangnya transparansi dan izin lingkungan yang kedaluwarsa, membuat IUP PT Nurham ikut masuk kotak alias dicabut. Satu-satunya yang bertahan adalah PT Gag Nikel, pemegang Kontrak Karya Generasi VII hingga 2047, dengan konsesi seluas 13.136 hektare di Pulau Gag. Pemerintah menyebutkan empat alasan sehingga IUP PT Gag Nikel tidak ikut dicabut. Pertama, PT Gag Nikel adalah anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebutnya sebagai aset negara. “Karena itu juga adalah bagian dari aset negara,” kilah Bahlil, Selasa, 10 Juni 2025. Kedua, PT Gag Nikel juga dianggap telah memenuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketiga, PT Gag Nikel mengantongi izin kontrak karya (KK) operasi produksi. Dan dari total 13 ribu hektare perizinan KK, PT Gag Nikel hanya membuka 260 hektare. Itupun, separuh di antaranya telah direklamasi dan dikembalikan ke negara sekitar 54 hektare. Pertimbangan terakhir sehingga IUP PT Gag Nikel tidak ikut masuk daftar amputasi, wilayah konsesinya di luar area geopark. Pemerintah mengklaim jarak antara Pulau Gag dengan wilayah geopark tidak kurang dari 40 kilometer. Setelah Pencabutan, Apa Selanjutnya? Pencabutan IUP ini disambut antusias oleh masyarakat adat dan pegiat lingkungan. Namun apresiasi saja tak cukup. Masyarakat sipil kini menanti langkah-langkah lanjutan. Mulai dari audit menyeluruh atas kerusakan yang terjadi, penegakan hukum terhadap pelanggaran, moratorium izin baru di kawasan bernilai ekologis tinggi, hingga pemulihan ekosistem dan penguatan hak masyarakat adat Presiden Prabowo punya peluang mencetak preseden baru: bahwa negara mampu menegakkan hukum dan menjaga warisan ekologis. Tapi semua itu bergantung pada kemauan politik, serta kesediaan membongkar jaringan kekuasaan yang selama ini menjadi tameng bisnis tambang. Titik Uji Masa Depan Indonesia dari Timur Raja Ampat adalah simbol bahwa Indonesia bisa, dan harus, menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian. Mencabut izin hanyalah permulaan. Kerja berat menanti. Yaitu, memperbaiki, menjaga, dan membangun masa depan lestari. Jangan biarkan keputusan penting ini dibajak narasi investasi yang semu. Jika akrobat kebijakan dibiarkan, tali keseimbangan akan putus. Dan, di bawahnya, jurang kehancuran telah menanti. (*)

KABARBURSA.COM - Raja Ampat dikenal dunia bukan karena hasil tambangnya, melainkan karena keindahan bentang alam yang menjadikannya ikon konservasi laut tropis. Surga karst, terumbu karang kelas dunia, dan kekayaan biodiversitas yang nyaris tak tertandingi menjadikan wilayah ini laboratorium alam dan kebanggaan Indonesia di mata dunia.

Namun belakangan, kemolekan Raja Ampat mulai ternoda. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dikabarkan mengaktifkan kembali izin-izin tambang yang sebelumnya telah dibekukan. Manuver ini memantik kecaman luas dari pegiat lingkungan, akademisi, dan masyarakat adat yang merasa wilayah kelola leluhur mereka kembali dipertaruhkan atas nama pembangunan.

Interpretasi Regulasi di Wilayah Konservasi

Akar polemik ini berkelindan antara otonomi daerah dan tarik-menarik regulasi nasional pasca berlakunya UU Cipta Kerja. UU ini memang memusatkan wewenang pemberian izin tambang ke tangan pemerintah pusat. Namun di lapangan, sejumlah pemerintah daerah, termasuk Raja Ampat, melakukan interpretasi longgar terhadap celah hukum. Mengklaim bahwa beberapa izin lama hanya butuh “penyesuaian administratif” agar tetap berlaku.

Alasannya klise. Demi mengurangi ketergantungan fiskal pada dana pusat. Tapi, layakkah masa depan ekonomi dibangun dengan menukar hutan lindung dan laut warisan dunia dengan lubang-lubang tambang?

Lebih mencemaskan, banyak konsesi yang digugat justru tumpang tindih dengan kawasan konservasi dan wilayah adat. Ini bukan hanya konflik administratif, melainkan perampasan ruang hidup dan ancaman ekologis nyata.

Etika dan Ekologi yang Terkoyak

Kebijakan tambang di Raja Ampat telah berubah menjadi “akrobat” hukum. Secara legal tampak sah, namun secara etika dan ekologi sangat meragukan. Tanda-tanda keretakan kian nyata. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komnas HAM, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut menyoroti proses perizinan di Papua Barat Daya, termasuk di Raja Ampat.

Sejumlah perusahaan tetap melenggang meski terbukti tidak memenuhi syarat administratif, lingkungan, bahkan kehutanan. Hal ini mencerminkan lemahnya tata kelola dan kuatnya jejaring kekuasaan yang bermain di ruang abu-abu kebijakan.

Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, pengelolaan sumber daya hanya akan menjadi lahan perebutan elite. Bukan demi kemaslahatan rakyat dan kelestarian bumi.

Menjaga Tanah, Menolak Tambang

Masyarakat adat Raja Ampat telah berulang kali menyatakan penolakan terhadap eksploitasi tambang. Mereka tidak anti-pembangunan. Yang mereka tolak adalah pendekatan pembangunan yang merusak tanah ulayat dan mengancam fondasi ekologis yang menopang kehidupan mereka selama berabad-abad.

Solusinya bukan tambang. Tapi, konservasi dan ekowisata berbasis komunitas. Dua sektor yang telah terbukti mendatangkan manfaat ekonomi berkelanjutan tanpa menumbalkan lingkungan.

Saatnya pendekatan pembangunan ditata ulang. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu membuka ruang dialog sejajar dengan masyarakat adat, ilmuwan, dan pemangku kepentingan lingkungan. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus merosot.

Dari Ormas ke Kampus

Di sisi lain, arah kebijakan nasional terkait tambang justru makin membingungkan. Tahun 2024, Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi membuka peluang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas keagamaan) dan perguruan tinggi untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

Pemerintah berdalih ini upaya distribusi manfaat yang lebih adil agar hasil tambang juga bisa mendukung umat dan pendidikan. Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, hingga sejumlah kampus negeri disebut-sebut masuk radar calon pengelola tambang.

Namun publik tak tinggal diam. Lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Auriga Nusantara, hingga akademisi menyoroti potensi konflik kepentingan, celah korupsi, dan minimnya kapasitas teknis dari para aktor non-profesional tersebut. Menambang bukan aktivitas karitatif. Ia sarat risiko, baik teknis, lingkungan, maupun sosial.

Ironisnya, di saat pemerintah mencabut empat IUP di Raja Ampat karena pelanggaran lingkungan, kebijakan baru justru membuka kran baru ke tangan yang tak sepenuhnya siap.

Pertanyaannya: apakah pencabutan ini benar-benar upaya perbaikan tata kelola, atau hanya rotasi kepentingan yang dikemas dengan regulasi baru?

Pencabutan IUP dan Respons Pemerintah

Pada 10 Juni 2025, pemerintah mencabut empat dari lima IUP di kawasan Raja Ampat. Keputusan ini diambil sehari setelah rapat terbatas Presiden Prabowo Subianto bersama jajaran kabinetnya. Alasannya jelas. Tekanan publik, laporan investigatif, dan temuan kerusakan lingkungan.

Berikut empat perusahaan yang dicabut izinnya:

PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)

Memiliki IUP seluas 5.922 hektare di Pulau Kawe. PT KSM sempat aktif berproduksi sejak 2023. Namun pelanggaran lingkungan membuat izinnya dicabut.

PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)

Mengelola wilayah 2.193 hektare di Pulau Batang Pele dan Manyaifun. IUPnya dicabut karena tidak memenuhi standar evaluasi lingkungan.

PT Anugerah Surya Pratama (ASP)

Beroperasi di Pulau Manuran seluas 1.173 hektare. Meski memiliki AMDAL sejak 2006, tetap dicabut karena pelanggaran ekologis.

PT Nurham

Belum berproduksi di konsesi 3.000 hektare Pulau Waigeo. Namun kurangnya transparansi dan izin lingkungan yang kedaluwarsa, membuat IUP PT Nurham ikut masuk kotak alias dicabut.

Satu-satunya yang bertahan adalah PT Gag Nikel, pemegang Kontrak Karya Generasi VII hingga 2047, dengan konsesi seluas 13.136 hektare di Pulau Gag. 

Pemerintah menyebutkan empat alasan sehingga IUP PT Gag Nikel tidak ikut dicabut. 

Pertama, PT Gag Nikel adalah anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebutnya sebagai aset negara. “Karena itu juga adalah bagian dari aset negara,” kilah Bahlil, Selasa, 10 Juni 2025. 

Kedua, PT Gag Nikel juga dianggap telah memenuhi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketiga, PT Gag Nikel mengantongi izin kontrak karya (KK) operasi produksi. Dan dari total 13 ribu hektare perizinan KK, PT Gag Nikel hanya membuka 260 hektare. Itupun, separuh di antaranya telah direklamasi dan dikembalikan ke negara sekitar 54 hektare.

Pertimbangan terakhir sehingga IUP PT Gag Nikel tidak ikut masuk daftar amputasi, wilayah konsesinya di luar area geopark. Pemerintah mengklaim jarak antara Pulau Gag dengan wilayah geopark tidak kurang dari 40 kilometer. 

Setelah Pencabutan, Apa Selanjutnya?

Pencabutan IUP ini disambut antusias oleh masyarakat adat dan pegiat lingkungan. Namun apresiasi saja tak cukup. Masyarakat sipil kini menanti langkah-langkah lanjutan. Mulai dari audit menyeluruh atas kerusakan yang terjadi, penegakan hukum terhadap pelanggaran, moratorium izin baru di kawasan bernilai ekologis tinggi, hingga pemulihan ekosistem dan penguatan hak masyarakat adat

Presiden Prabowo punya peluang mencetak preseden baru: bahwa negara mampu menegakkan hukum dan menjaga warisan ekologis. Tapi semua itu bergantung pada kemauan politik, serta kesediaan membongkar jaringan kekuasaan yang selama ini menjadi tameng bisnis tambang.

Titik Uji Masa Depan Indonesia dari Timur

Raja Ampat adalah simbol bahwa Indonesia bisa, dan harus, menyeimbangkan pembangunan dan pelestarian. Mencabut izin hanyalah permulaan. Kerja berat menanti. Yaitu, memperbaiki, menjaga, dan membangun masa depan lestari.

Jangan biarkan keputusan penting ini dibajak narasi investasi yang semu. Jika akrobat kebijakan dibiarkan, tali keseimbangan akan putus. Dan, di bawahnya, jurang kehancuran telah menanti. (*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Uslimin Usle

Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)