KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, resmimeluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada 24 Februari 2025. Dengan nilai aset lebih dari USD900 miliar atau sekitar Rp14.616 triliun, badan ini dirancang sebagai sovereign wealth fund (SWF) yang mengelola seluruh aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tujuannya jelas: mengoptimalkan investasi negara dan mendorong pertumbuhanekonomi hingga 8 persen per tahun. Namun, di balik ambisi besar tersebut tersimpanberbagai risiko dan pertanyaan mendasar mengenai transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan model bisnis yang akan diusung.
Meski Danantara diusung sebagai solusi untuk pengelolaan aset negara, banyak pihakmempertanyakan sejauh mana transparansi dan akuntabilitas lembaga ini. Revisi Undang-Undang BUMN yang baru-baru ini disahkan oleh Presiden menempatkan keputusan investasipada payung perlindungan hukum melalui prinsip business judgment rule. Dengan ketentuanyang mengecualikan kebijakan investasi dari jerat hukum pidana korupsi—selama dilakukanatas dasar itikad baik—batas antara keputusan bisnis yang sah dan tindakan koruptif menjadisangat kabur.
Tanpa pengawasan yang ketat dari lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), celah hukum ini dapat dimanfaatkanuntuk kepentingan sempit. Pengambil keputusan di tingkat BUMN, jika tidak dikendalikandengan mekanisme audit independen, berpotensi mengambil langkah-langkah yang merugikan keuangan negara. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa interpretasilonggar atas prinsip perlindungan hukum semacam ini dapat membuka jalan bagi praktik-praktik yang menyimpang dan bahkan menciptakan risiko moral hazard yang tinggi.
Politik dan Risiko Investasi
Konsentrasi aset raksasa di bawah satu entitas menimbulkan risiko intervensi politik yang tidak bisa diabaikan. Di pasar global, banyak sovereign wealth fund menghadapitantangan serupa ketika kepentingan politik tercampur dengan keputusan investasi. Studi menunjukkan bahwa SWF yang dikelola dengan campur tangan politik cenderungmenghasilkan keputusan yang tidak rasional secara ekonomi. Hal ini bisa berdampaklangsung pada kinerja BUMN dan menurunkan kepercayaan investor, baik domestik maupunasing.
Skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia menjadi pelajaranpahit tentang bagaimana kurangnya pengawasan dapat berujung pada kerugian finansialbesar. Di sisi lain, potensi intervensi politik di Danantara menimbulkan kekhawatiran bahwakebijakan investasi tidak akan semata-mata didasarkan pada pertimbangan ekonomi rasional, melainkan dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan dan agenda politik. Risiko inilah yang membuat banyak pengamat ekonomi menganggap peluncuran Danantara sebagai eksperimenberisiko tinggi.
Untuk menilai apakah model bisnis Danantara layak dijadikan acuan, kita perlu melihat pada lembaga investasi internasional yang sudah mapan, seperti Temasek Holdings dari Singapura dan Government Pension Fund Global (GPFG) dari Norwegia. Kedua lembaga ini dikenal memiliki tata kelola yang sangat ketat, transparansi yang tinggi, dan sistem audit yang independen.
Temasek merupakan salah satu contoh terbaik SWF yang berhasil mengelolaportofolio investasi dengan prinsip tata kelola yang kuat. Dikelola secara profesional, Temasek memiliki struktur organisasi yang memastikan setiap keputusan investasi melaluimekanisme evaluasi yang ketat. Transparansi data keuangan dan laporan berkala yang dipublikasikan secara terbuka menjadi salah satu kunci kesuksesan Temasek dalam menarikinvestor global dan menjaga kepercayaan publik. Selain itu, keberadaan dewan pengawasindependen yang memantau setiap langkah strategis menambah lapisan akuntabilitas yang sangat diperlukan dalam pengelolaan dana publik.
GPFG Norwegia
Norwegia, melalui GPFG-nya, telah menetapkan standar internasional dalampengelolaan dana kekayaan negara. GPFG tidak hanya mengutamakan diversifikasiportofolio investasi, tetapi juga menerapkan prinsip etika investasi yang ketat. Misalnya, dana tersebut secara aktif mengevaluasi investasi berdasarkan kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG). Dengan menerapkan kebijakaninvestasi yang berorientasi pada keberlanjutan, GPFG mampu memberikan imbal hasil yang konsisten sekaligus menjaga reputasi negaranya di mata dunia.
Kedua model ini memberikan pelajaran penting bagi Danantara. Pertama, transparansi mutlak harus menjadi fondasi operasional. Tanpa adanya keterbukaan data dan pelaporan keuangan yang akurat, risiko korupsi dan penyalahgunaan dana akan semakintinggi. Kedua, mekanisme pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat. Pelibatanlembaga independen untuk audit dan evaluasi berkala adalah langkah yang tidak bisadiabaikan demi menjaga integritas pengelolaan aset negara.
Sebagai upaya meningkatkan kredibilitas, Presiden Prabowo mengusulkan agar mantan presiden dan wakil presiden dilibatkan dalam pengawasan Danantara. Secara teori, figur-figur tersebut diharapkan dapat membawa nilai tambah melalui pengalaman dan integritasnya.
Namun, praktiknya menimbulkan sejumlah pertanyaan. Seberapa independenpengawasan yang diberikan oleh mantan kepala negara? Adakah potensi konflik kepentinganyang bisa merusak objektivitas? Bahkan, sebagian masyarakat tidak merespons positifpenunjukan ini, menganggapnya sebagai formalitas politik belaka yang tidak akan membawaperubahan nyata dalam mekanisme pengawasan.
Mantan presiden seperti Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan kesediaannya untukberkontribusi dalam pengawasan, namun syarat utama adalah kejelasan dan transparansimekanisme pengawasan yang diterapkan. Tanpa komitmen nyata dari pemerintah untukmemperkuat sistem akuntabilitas, pelibatan figur elite semata tidak cukup untuk meredamskeptisisme publik.
Di tengah segala kontroversi, Danantara ditargetkan untuk mengakselerasi investasi di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, industri hilir, manufaktur canggih, dan produksi pangan. Di sinilah letak perdebatan antara ambisi dan realita. Model bisnis yang menjanjikan dari lembaga investasi internasional menunjukkan bahwa keberhasilan tidakhanya bergantung pada besar kecilnya modal, melainkan pada ketepatan strategi dan tata kelola yang profesional.
Misalnya, Temasek berhasil mengintegrasikan pendekatan investasi jangka panjangdengan diversifikasi portofolio yang matang. Investasi pada sektor teknologi dan inovasitelah membuka peluang besar untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Sedangkan GPFG mengajarkan pentingnya memasukkan kriteria keberlanjutan dalam setiap keputusaninvestasi, yang pada gilirannya mampu memberikan imbal hasil yang stabil serta menjagareputasi investasi negara.
Untuk Danantara, adopsi elemen-elemen kunci dari model-model tersebut sangat krusial. Di samping perluasan portofolio, transparansi, dan mekanisme pengawasan yang kuat, perlu pula diimplementasikan prinsip-prinsip investasi berkelanjutan. Tanpa haltersebut, potensi keuntungan besar yang dijanjikan bisa dengan mudah berbalik menjadibencana finansial yang menguras kekayaan negara.
Implikasi Jangka Panjang
Tanpa strategi mitigasi risiko yang komprehensif, Danantara berisiko menjadieksperimen berbahaya yang justru menghambat pertumbuhan ekonomi. Risiko tidak hanyadatang dari ketidakstabilan pasar global, tetapi juga dari kemungkinan campur tangan politikyang dapat mendistorsi keputusan investasi. Jika celah hukum yang ada terus dibiarkan, makaskema investasi yang tidak optimal bisa mengakibatkan kerugian jangka panjang bagikeuangan negara.
Dalam konteks global, pelajaran dari lembaga investasi internasional seperti Temasek dan GPFG harus menjadi acuan bagi pemerintah. Transparansi, tata kelola yang profesional, dan audit independen bukanlah opsi, melainkan keharusan. Dengan mengintegrasikanprinsip-prinsip tersebut, Danantara tidak hanya akan mampu mengoptimalkan aset negara, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik dan investor internasional.
Peluncuran Danantara merupakan langkah ambisius yang diharapkan mampumengubah paradigma pengelolaan aset negara. Namun, ambisi besar tersebut harus diimbangidengan komitmen serius terhadap transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang profesional. Tanpa landasan tersebut, Danantara berpotensi menjadi laboratorium eksperimenkeuangan yang membuka celah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Perbandingan dengan lembaga investasi internasional seperti Temasek dan GPFG menunjukkan bahwa keberhasilan investasi tidak hanya diukur dari besarnya aset yang dikelola, tetapi juga dari ketepatan strategi, diversifikasi portofolio, dan sistem pengawasanyang ketat. Pelibatan mantan presiden dalam pengawasan harus disertai dengan mekanismeyang jelas agar tidak hanya menjadi formalitas politik.
Pemerintah harus segera menindaklanjuti setiap celah hukum dan memastikan setiapproses pengelolaan investasi dilakukan dengan standar internasional. Keberhasilan Danantaranantinya tidak hanya akan dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari seberapa efektiflembaga ini mampu menjaga kepercayaan publik dan mengelola kekayaan negara secaraberkelanjutan. Jika tidak, ambisi besar ini bisa berakhir sebagai bencana finansial yang justrumemperparah ketimpangan dan mengikis potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan adopsi model bisnis yang lebih profesional dan pengawasan yang ketat, Danantara bisa menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Namun, realisasinya menuntutkeberanian untuk melakukan reformasi menyeluruh—bukan sekadar retorika politik. Saatnyapemerintah mengambil langkah konkret untuk memastikan bahwa investasi negara tidakmenjadi alat politik, melainkan instrumen pembangunan yang membawa manfaat nyata bagiseluruh rakyat Indonesia. (*)