KABARBURSA.COM – PT Timah Tbk (TINS) kembali menjadi pusat perhatian setelah batal masuk indeks MSCI karena terganjal kategori pengawasan FCA (full call auction).
Kejadian ini membuat pasar bertanya apakah TINS menghadapi masalah dasar atau sekadar kendala administratif yang sewaktu-waktu dapat diperbaiki.
Koreksi saham yang terjadi menyusul keputusan itu menggambarkan betapa sensitifnya investor terhadap status indeks global.
Pengamat pasar modal sekaligus Co Founder PasarDana, Yohanis Hans Kwee mengatakan beberapa tahun terakhir, indeks MSCI menjadi barometer penting bagi aliran dana pasif global.
Dana-dana ETF yang mengikuti MSCI mengalir otomatis ke saham-saham yang masuk daftar. Perubahan dari gaya investasi aktif ke pasif membuat status keanggotaan MSCI semakin menentukan arus modal ke Indonesia.
Hans Kwee menjelaskan bahwa tren pasif mengubah struktur pasar.
“Sekarang masuk MSCI jadi sangat penting karena dana pasif tumbuh pesat,” kata Hans di Jakarta, Minggu, 9 November 2025.
TINS sejatinya lolos seleksi awal MSCI tetapi batal pada tahap akhir karena masuk kategori FCA. FCA merupakan papan pengawasan khusus untuk perusahaan yang dinilai memiliki masalah teknis tertentu, mulai dari suspensi berkepanjangan hingga ketidakstabilan harga.
“FCA itu kriterianya banyak dan bisa membuat emiten gagal masuk indeks,” kata Hans.
Menurutnya, batalnya TINS masuk MSCI bukan alasan untuk panik karena fenomena keluar-masuk indeks adalah hal umum.
Ia menyebut bahwa beberapa emiten besar seperti ICBP, Indofood, dan Kalbe juga pernah keluar tetapi kembali masuk ketika kinerja membaik.
“Kalau nanti harga komoditas naik, TINS bisa perform dan balik lagi,” ujarnya.
Hans menjelaskan bahwa FCA sebenarnya berfungsi sebagai jembatan sebelum BEI mengambil keputusan lebih ekstrem seperti delisting. Emiten dimasukkan ke FCA agar ada waktu menilai apakah perbaikan bisa dilakukan.
“Harapannya kalau kinerja membaik mereka keluar dari FCA, kalau jelek baru berisiko delisting,” katanya.
Namun ia mengingatkan bahwa jumlah kriteria FCA yang terlalu luas perlu dievaluasi.
Beberapa syarat seperti lamanya suspensi mungkin perlu diperjelas agar tidak menghambat emiten yang secara fundamental masih layak berada di papan utama.
Evaluasi ini penting agar FCA tidak menghambat peluang emiten masuk ke indeks global.
Kasus TINS memunculkan diskusi lanjutan tentang konsistensi data free float dan transaksi yang digunakan penyedia indeks global.
Dalam kasus tertentu, ada kekhawatiran bahwa sebagian porsi publik ternyata tidak benar-benar likuid atau dimiliki pihak yang bukan investor publik.
Kondisi seperti itu membuat penyedia indeks seperti MSCI semakin berhati-hati. (*)