KABARBURSA.COM - Pada Jumat, 13 Juni 2025, dunia menyaksikan babak baru dalam konflik Timur Tengah saat Israel memulai serangan udara masif ke wilayah Iran dalam sebuah operasi bernama Rising Lion. Targetnya jelas: instalasi nuklir Iran dan struktur komando militer, termasuk pejabat senior Korps Garda Revolusi Iran (IRGC). Namun, yang terjadi lebih dari sekadar serangan pencegahan. Konflik ini telah membuka kembali kotak pandora ketegangan geopolitik, mengundang intervensi kekuatan besar, menimbulkan bencana kemanusiaan, serta menciptakan guncangan signifikan terhadap pasar global.
Berdasarkan laporan LSM HAM HRANA, dalam waktu tujuh hari setelah serangan, korban jiwa di Iran mencapai 657 orang, termasuk 263 warga sipil dan 20 anak-anak. Sementara itu, Iran membalas dengan rudal balistik dan drone ke kota-kota Israel, menewaskan 25 warga dan melukai ratusan lainnya. Di tengah kepanikan, warga Iran mengungsi ke wilayah pedalaman, dan masyarakat Israel berlindung di bunker bawah tanah.
Konflik kemudian memasuki fase yang lebih genting saat Amerika Serikat secara terbuka menyatakan keterlibatannya, dengan mengebom tiga situs nuklir Iran pada 21 Juni. Situasi ini meningkatkan risiko perang kawasan menjadi perang global terbuka.
Babak Baru Ketegangan Geopolitik
Israel mengklaim serangannya sebagai langkah preventif untuk menggagalkan rencana Iran membangun senjata nuklir. Pemerintah Iran membantah tudingan tersebut, menyatakan program nuklirnya bersifat sipil. Namun dunia internasional tidak menunggu klarifikasi. Negara-negara G7 menyuarakan dukungan kepada Israel. Presiden AS Donald Trump menyebut operasi militer Israel sebagai “sangat baik”, bahkan mengakui telah mengetahui rencana tersebut sebelumnya. Sementara di PBB, Sekretaris Jenderal Antonio Guterres memperingatkan bahwa situasi dapat berkembang menjadi krisis internasional besar jika tidak segera diredakan.
Rusia dan Tiongkok menyerukan de-eskalasi segera, tetapi AS dan sekutu Eropa menyatakan dukungan penuh terhadap hak Israel untuk mempertahankan diri. Indonesia, melalui Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), mengecam agresi Israel dan mendorong Dewan Keamanan PBB mengambil langkah tegas.
Konflik tidak hanya terbatas di daratan. Laut Merah dan Teluk Persia kini menjadi kawasan berisiko tinggi. Kapal dagang yang berafiliasi dengan Israel diserang oleh kelompok Houthi di Yaman, sekutu Iran. Iran pun menyatakan kesiapan untuk menutup Selat Hormuz, jalur yang mengangkut hampir 20 persen pasokan minyak dunia. Ketegangan ini memberi sinyal bahwa risiko guncangan ekonomi jauh dari usai.

Runtuhnya Perlindungan Sipil
Serangan udara menghantam infrastruktur vital di Iran dan Israel. Rumah sakit, sekolah, kawasan permukiman di Teheran, Isfahan, hingga Haifa mengalami kerusakan parah. Di Iran, setidaknya 263 warga sipil tewas hanya dalam serangan perdana Israel. Organisasi ICRC menyebut konflik ini sebagai “tragedi sipil yang membahayakan keseluruhan hukum humaniter internasional”.
Selain korban jiwa, puluhan ribu warga mengungsi. Banyak warga Iran dari Teheran dan Mashhad bergerak ke kota-kota kecil, sedangkan warga Israel yang mampu memilih melarikan diri ke Eropa. Organisasi kemanusiaan seperti Palang Merah dan ICRC bekerja di tengah situasi yang tidak stabil, dengan keterbatasan akses dan keamanan yang terus berubah.
PBB mendesak penghentian serangan terhadap warga sipil dan meminta akses tanpa hambatan bagi bantuan kemanusiaan. Namun, pelanggaran terhadap hukum perang terus dilaporkan, termasuk serangan terhadap ambulans dan rumah ibadah. Para pengamat menilai ini sebagai pertanda bahwa konflik berpotensi menjadi bencana kemanusiaan yang lebih luas dari perang Gaza maupun Ukraina.

Harga Minyak Naik, Inflasi Mengintai
Tak butuh waktu lama hingga efek perang Iran–Israel terasa di pasar global. Harga minyak mentah Brent melonjak 7 persen dalam satu pekan—kenaikan terbesar sejak awal perang Rusia–Ukraina. Pasar mencemaskan skenario penutupan Selat Hormuz atau kerusakan kilang-kilang utama Iran. Reuters melaporkan, ketidakpastian ini mendorong premi risiko global dan membebani industri logistik serta transportasi.
Kenaikan harga energi mendorong inflasi global. Laporan OECD dan Bank Dunia menyatakan bahwa jika konflik berlanjut, tekanan inflasi komoditas bisa memicu perlambatan ekonomi dunia hingga ke kisaran 2–2,3 persen pertumbuhan tahunan. Celios juga menyebut bahwa kenaikan harga energi menurunkan permintaan sektor manufaktur dan meningkatkan biaya produksi.
Investor global pun mengalihkan portofolio mereka ke aset aman seperti dolar AS dan emas. Bursa saham di Eropa dan AS mencatat pelemahan signifikan, dan indeks volatilitas pasar (VIX) meningkat. Bloomberg memperingatkan bahwa jika perang berlanjut hingga kuartal ketiga 2025, risiko resesi teknikal dapat meningkat di beberapa negara.
Indonesia dalam Pusaran Dampak
Bagi Indonesia, dampak ekonomi dari perang Iran–Israel sangat nyata. Sebagai negara net-importir energi, Indonesia mengimpor sekitar 1 juta barel minyak per hari. Kenaikan harga minyak global otomatis menaikkan biaya impor dan beban subsidi energi. Dalam kondisi fiskal yang sudah tertekan, tambahan subsidi menjadi risiko serius bagi APBN.
Neraca perdagangan migas Indonesia diperkirakan memburuk. Sebelum konflik pecah, tren defisit migas sudah terlihat meningkat akibat harga minyak yang menanjak. Kini, dengan Brent di atas USD95 per barel, risiko terhadap stabilitas fiskal makin tinggi.
Dari sisi perdagangan, rute pelayaran dari Indonesia ke Eropa harus dialihkan untuk menghindari kawasan konflik. Hal ini meningkatkan ongkos logistik dan asuransi ekspor, serta memperlambat distribusi barang. Meski ekspor langsung ke Timur Tengah hanya sekitar 3–5 persen total ekspor Indonesia, pengaruhnya terhadap jalur dagang ke Eropa cukup signifikan.

Pasar Keuangan Tertekan
IHSG mencatat penurunan signifikan sejak awal konflik. Dalam sepekan hingga 20 Juni, indeks anjlok 4,61 persen, dan pada pembukaan 23 Juni kembali turun 1,70 persen menjadi 6.789,71. Pelemahan ini diperparah oleh aksi jual asing yang membengkak hingga Rp53 triliun secara year-to-date.
Nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp16.450 per USD, level terendah sejak 2020. BI mencatat arus keluar modal asing sebesar Rp2,04 triliun dalam waktu empat hari perdagangan. Ketika kabar gencatan senjata sempat mencuat, rupiah menguat ke Rp16.381, tetapi tetap fluktuatif karena ketidakpastian geopolitik belum mereda.
Pilarmas Sekuritas menyebutkan bahwa dalam situasi seperti ini, target IHSG realistis diturunkan ke kisaran 6.760–6.900, dengan tekanan teknikal terus berlanjut. Investor cenderung mencari safe haven dan menghindari risiko di negara berkembang seperti Indonesia.

Saatnya Mengantisipasi Guncangan
Indonesia berada dalam posisi rentan dalam krisis ini. Ketergantungan pada energi impor membuat kita terbuka terhadap guncangan eksternal. Menurut ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy, ancaman terbesar terhadap perekonomian Indonesia saat ini bukan dari resesi, tetapi dari gejolak harga minyak yang bisa mengganggu daya beli dan neraca eksternal secara bersamaan.
Pemerintah perlu segera melakukan beberapa langkah mitigasi, antara lain:
- Penguatan cadangan devisa, sebagai bantalan terhadap arus keluar modal.
- Diversifikasi sumber energi dan substitusi impor, guna mengurangi tekanan fiskal akibat subsidi.
- Stimulus fiskal dan moneter selektif, jika tekanan berlanjut dalam jangka menengah.
- Penguatan koordinasi BI–Kemenkeu, termasuk kebijakan nilai tukar dan stabilisasi harga energi domestik.
- Diplomasi aktif di PBB dan OKI, untuk mendorong de-eskalasi dan melindungi kepentingan Indonesia di jalur dagang global.

Krisis Regional, Dampak Global
Perang Iran–Israel adalah pengingat keras bahwa ketegangan politik di satu wilayah bisa berdampak luas bagi dunia. Krisis ini memunculkan kembali ketidakstabilan yang menakutkan di tengah ekonomi global yang belum pulih sepenuhnya dari pandemi dan dampak perang Ukraina.
Bagi Indonesia, ini bukan hanya peristiwa luar negeri yang jauh dari jangkauan. Ini adalah soal harga BBM, nilai tukar rupiah, ekspor nasional, dan stabilitas anggaran. Ketika langit Tel Aviv dan Teheran dipenuhi rudal, getarannya sampai ke pasar modal Jakarta, ke pelabuhan Tanjung Priok, dan ke dompet masyarakat Indonesia.
Dunia tidak bisa membiarkan konflik ini terus membesar. Perang mungkin dimulai oleh dua negara, tetapi bebannya ditanggung oleh seluruh dunia. Dan jika tidak ada intervensi diplomatik yang kuat, dunia bisa kembali terjebak dalam spiral krisis yang lebih dalam dari yang pernah dibayangkan. (*)