KABARBURSA.COM – Komitmen tanggung jawab sosial dan keberlanjutan yang selama ini diklaim oleh Harita Nickel akhirnya menemukan ladang pembuktiannya. Setelah dua dekade beroperasi di Pulau Obi, perusahaan yang bernaung di bawah Trimegah Bangun Persada secara sukarela mengajukan diri diaudit oleh Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), sebuah langkah yang bukan hanya jarang dilakukan, tapi juga belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
Langkah ini merupakan jawaban dari pertanyaan besar di akhir laporan sebelumnya: beranikah Harita mengemban tanggung jawab penuh terhadap keberlanjutan di tengah ekspansi industri nikel yang masif? Kini jawabannya mulai terurai di balik tirai proses audit yang digelar sepanjang April 2025, menyusul audit tahap awal yang telah dimulai sejak November 2024.
Inilah standar paling ketat dalam industri tambang global. Bagi banyak korporasi ekstraktif, diaudit IRMA bisa berarti membuka seluruh jantung operasional, dari hak buruh, kualitas udara dan air, hingga relasi sosial dan ekologis dengan masyarakat sekitar.
Sinyal ini tentu tidak datang tiba-tiba. Narasi pertambangan di Pulau Obi memang telah lama bergumul dengan pertanyaan tentang keberlanjutan dan keadilan sosial. Maka, ketika Harita Nickel mengumumkan bahwa seluruh operasinya, dari tambang saprolit, pabrik HPAL, smelter RKEF, hingga wilayah pemrosesan limonit, akan dinilai oleh auditor independen SCS Global Services, publik nasional dan komunitas internasional memusatkan perhatian.
Direktur Eksekutif IRMA, Aimee Boulanger, menegaskan makna simbolik dari keputusan ini. “Dengan mengajukan operasi pertambangannya diaudit secara independen memakai standar pertambangan global yang paling ketat di dunia, Harita Nickel menjadi contoh transparansi operasional pertambangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia,” ujarnya dalam rilis resmi yang dikutip KabarBursa.Com.

Audit ini bukan sekadar simbol. Sejak 12 November 2024, proses tinjauan dokumen (desk review) telah dilakukan. Lalu pada 15–23 April 2025, tim auditor dari SCS Global Services melakukan audit lapangan di seluruh wilayah operasional Harita di Obi. Mereka tidak hanya memeriksa dokumen, tetapi juga meninjau langsung infrastruktur, mengumpulkan testimoni dari warga, pekerja tambang, tokoh adat, serta pejabat lokal.
Mengungkap Transparansi: dari DSTF hingga TNFD
Secara total, ada lebih dari 400 indikator yang dinilai dalam audit IRMA. Mulai dari perlindungan hak asasi manusia, tata kelola limbah, kualitas air tanah dan laut, sistem pengaduan buruh, pengelolaan tailing, hingga transparansi rantai pasok dan keuangan sosial. Semua hasil evaluasi akan diumumkan secara terbuka melalui situs IRMA dan saluran lokal.
“Transparansi ini menunjukkan bahwa penerapan praktik penambangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan merupakan komitmen perusahaan, sekaligus upaya mendukung visi pemerintah Indonesia untuk sektor pertambangan yang transparan serta bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial,” ujar Tonny Gultom, Director of Health, Safety and Environment Harita Nickel.
Dalam penelusuran KabarBursa.Com, audit IRMA terhadap Harita akan memberikan tingkat pencapaian bertingkat, yakni Transparansi IRMA, IRMA 50, IRMA 75, hingga IRMA 100. Angka-angka ini tidak hanya mencerminkan ketaatan administratif, tetapi menyentuh inti operasional: sejauh mana praktik tambang benar-benar berpihak pada keberlanjutan.
Septian Hario Seto, Deputi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, turut memberi apresiasi atas komitmen ini. “Kami sangat mengapresiasi inisiatif mereka, yang tidak hanya menjadi tolok ukur bagi industri, tetapi juga mendukung visi pemerintah untuk sektor pertambangan yang lebih transparan serta bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial,” ujarnya.
Dari sisi teknis, Harita Nickel mengaku telah menyiapkan infrastruktur dan sistem pendukung sejak awal untuk mencapai standar tertinggi. Ini termasuk pengelolaan air berbasis kajian hidrologi, sistem tailing kering Dry Stack Tailings Facility (DSTF) yang meminimalkan risiko limbah, serta sistem pemantauan ekosistem laut yang mencakup kualitas plankton, benthos, ikan, dan terumbu karang.
Fasilitas ini didukung oleh 52 sediment ponds aktif dan instalasi pengolahan air modern. Untuk sektor kelautan, Harita membangun jaringan pemantauan kualitas air, terumbu karang, plankton, dan ekosistem benthos di sekitar wilayah operasional.
Selain itu, lebih dari 67.700 pohon mangrove ditanam, dan kawasan laut seluas 232 hektare kini masuk dalam zona konservasi operasional perusahaan.
Mereka juga tengah menjalankan penilaian risiko berbasis lanskap yang merujuk pada rekomendasi Task Force on Nature-related Financial Disclosure (TNFD), khusus untuk mengukur risiko ekologis dan hidrologis dari operasi jangka panjang.

Laporan keberlanjutan Harita 2024 juga menyatakan bahwa proses pengumpulan data lapangan untuk IRMA didampingi oleh pihak internal ESG dan tim eksternal independen yang telah dilatih sesuai prosedur IRMA.
Lebih jauh, Harita juga mengikuti proses Responsible Minerals Assurance Process (RMAP) dari Responsible Minerals Initiative (RMI), mekanisme due diligence internasional yang menilai apakah rantai pasok mineral telah memenuhi standar etika, keberlanjutan, dan legalitas.
Upaya mitigasi juga dilakukan dengan penyusunan dokumen rujukan TNFD, sebagai bagian dari proses disclosure terhadap risiko dan ketahanan lingkungan dalam jangka panjang.
Transparansi, Public Trust, dan Burung Kuntul
Bagi Roy Arman Arfandy, Direktur Utama Trimegah Bangun Persada (Tbk), langkah audit IRMA punya implikasi strategis. “Kami ingin para pembeli yakin bahwa mereka membeli nikel yang didapatkan secara bertanggung jawab,” tegasnya.
Optimisme Roy itu mendapat penguatan dan upaya riil di lapangan. Sekira 25 meter dari pintu air limbah cair, sebuah stasiun pemantau daring terpasang. Layar putih menampilkan pH, kekeruhan, kadar nikel terlarut, dan debit air setiap lima menit. Data juga terkirim langsung ke server Kementerian Lingkungan Hidup.
Di sisi lain kolam endapan limbah, segerombolan burung kuntul putih menukik mematuk ikan mujair, pertanda rantai trofik pelan-pelan pulih. Dedy Amrin, Environment & Business Improvement Manager Harita Nickel, menafsirkan kehadiran burung sebagai indikator biologis air “di ambang aman.” Meski demikian, ia menegaskan Harita tetap menjalankan uji laboratoris berkala.
Sejauh ini perusahaan mengklaim telah mereklamasi 231 hektare, sekitar sepuluh persen lahan yang terganggu. Targetnya, setiap hektare yang dikeruk diikuti satu hektare rehabilitasi dalam dua tahun. Butuh bukti konsistensi jangka panjang, sebab reklamasi hutan iklim lembap kerap gagal, tanaman cepat tumbuh namun mudah mati bila pemeliharaan kendur.

Komitmen pada Rantai Pasok Bertanggung Jawab
Maka, audit IRMA bukan hanya soal akuntabilitas lingkungan. Ini juga sinyal kepada pasar global, terutama produsen baterai kendaraan listrik dan mitra internasional, bahwa nikel dari Obi bukan hasil kompromi terhadap hak manusia atau ekosistem. Harita ingin memosisikan produknya sebagai nikel green premium, setara dengan praktik terbaik di Australia atau Kanada.
Namun di balik niat baik dan kesiapan dokumen, pertanyaannya tetap menggugah rasa penasaran publik. Bisakah praktik di lapangan sejalan dengan komitmen yang diklaim?
Audit IRMA membuka ruang itu. Semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat terdampak, dapat menyampaikan pandangan dan masukan melalui kanal resmi. IRMA sendiri dikenal memiliki struktur yang unik. Lembaga ini dikendalikan bersama oleh enam sektor, yakni komunitas lokal, serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, sektor keuangan, pembeli, dan korporasi tambang. Tak ada dominasi satu aktor. Semua pihak punya hak suara setara.
Audit IRMA bukan satu-satunya standar yang coba dijangkau oleh Harita. Perusahaan juga telah memulai proses sertifikasi RMAP dari RMI. RMAP berfungsi untuk menjamin bahwa rantai pasok nikel Harita bebas dari konflik, eksploitasi pekerja anak, atau aktivitas ilegal lainnya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan etis global.
Langkah ini relevan mengingat nikel menjadi bahan baku strategis untuk baterai kendaraan listrik global. Harita, sebagai pionir pemrosesan nikel limonit melalui teknologi HPAL di Indonesia, memasok MHP, nikel sulfat, dan kobalt sulfat ke pasar regional dan internasional.
Langkah Harita menjadi penting karena inisiatif audit IRMA masih langka, bahkan di negara-negara maju. Di Asia Tenggara, Harita adalah yang pertama. Global pun hanya segelintir perusahaan tambang nikel yang telah menyelesaikan audit penuh dan menerima skor tinggi.

Dengan ini, Harita sesungguhnya sedang mempertaruhkan reputasi globalnya. Bila hasil audit menunjukkan skor rendah, hal itu bisa menjadi kritik publik yang lebih tajam ketimbang demo atau investigasi media. Tapi bila skor tinggi berhasil diraih, Obi akan mencatat sejarah baru: sebagai tambang nikel pertama di Asia yang berhasil memenuhi seluruh standar tanggung jawab tambang global.
Proses yang Belum Usai
Maka audit IRMA ini bukan hanya tentang Harita, tetapi tentang arah industri tambang nasional ke depan. Apakah Indonesia bisa keluar dari stigma buruk sebagai negara eksploitatif dan bertransformasi menjadi kekuatan industri hijau yang bertanggung jawab?
Audit IRMA masih berlangsung, hasil akhirnya belum diumumkan. Tapi satu hal sudah pasti; untuk pertama kalinya dalam sejarah tambang nikel nasional, ada perusahaan yang meminta dirinya diperiksa dengan standar global paling keras. Dan, dilakukan secara terbuka.
Kita akan tahu jawabannya, ketika laporan audit IRMA resmi diumumkan. Dalam hal ini, pertaruhan Harita tidak lagi sekadar menambang nikel, melainkan membuktikan bahwa industri ekstraktif bisa berjalan seiring kelestarian alam dan kesejahteraan komunitas.
Selain itu, agar kepercayaan tak redup, beberapa pakar yang kami hubungi menyarankan skema dana abadi komunitas, semacam trust fund yang dipupuk satu persen laba bersih perusahaan, dikelola transparan oleh perwakilan desa, pemerintah daerah, dan korporasi. Dana itu bisa membiayai beasiswa vokasi, klinik ibu-anak, hingga diversifikasi ekonomi pasca-tambang.
Harita belum punya rancangan detail perihal hal ini. Akan tetapi Roy mengaku ide tersebut “sedang dipelajari.” Di luar itu, perusahaan menargetkan belanja produk lokal naik dari Rp14 miliar menjadi Rp25 miliar rupiah per bulan dalam dua tahun, dengan porsi pengusaha perempuan minimal tiga puluh persen.
Narasi yang Terus Berlanjut
Empat hari liputan terisi padat, dari area ekskavasi di utara konsesi hingga teluk tenang di selatan, dari keramaian block loading ore hingga sunyi hutan sekunder reklamasi. Kami menghitung, merekam, dan menulis hingga larut. Data mentah kelak disusun menjadi grafik; kutipan narasumber dipasangkan konteks hukum; observasi visual diterjemahkan menjadi narasi yang menggambarkan realitas kompleks antara industri, ekologi, dan manusia.
Pada Ahad dini hari, 13 Juli, kami menutup catatan sembari bersandar di seat biru kapal cepat menuju Labuha. Bulan purnama yang dua malam lalu bersinar perak, kini meredup di ufuk barat, diselubungi awan tipis. Tetapi bagi kami, perburuan fakta belum dan tidak akan pernah berakhir.

Kenapa demikian? Karena Harita Nickel dan segala kipahnya di Obi, bukan sekadar perusahaan biasa. Dia berdiri di simpang jalan besar. Di satu sisi, ia memegang kunci pasokan nikel global untuk akselerasi kendaraan listrik; di sisi lain, ia menggendong harapan belasan ribu warga yang ingin melihat pulau mereka tetap hijau setelah bijih terakhir terkerek keluar. Dan kami, KabarBursa.Com, ingin ikut mengambil peran laiknya media mainstream yang terverifikasi Dewan Pers.
Kami meninggalkan Obi dengan koper berdebu nikel. Kartu memori penuh ratusan gambar, serta rekaman wawancara yang menunggu transkripsi. Tentu saja dengan badan yang pegal linu bak remuk redam dihajar buldoser. Maklum, area tambang Harita di Obi tak selunak kawasan Mega Kuningan Jakarta, tempat kami beraktivitas selama ini.
Di bandara Oesman Sadik, gate keberangkatan menuju Ternate, seorang petugas keamanan bertanya apa tujuan kami. “Menulis tentang tambang dan masa depan pulau,” jawab kami.
Ia tersenyum, “Semoga tulisannya adil, Pak.”
Kami mengangguk, sembari menyadari, keadilan memang kata paling berat dalam reportase ini. Bagaimana pun gagahnya mesin, sebersih apa pun sensor, bila manfaat tidak dirasakan merata, publik tetap punya alasan memandang tajam. Dan tugas jurnalisme adalah menjaga tatapan itu tetap terarah, hingga janji hijau benar-benar tumbuh di tanah, laut, dan hati manusia Obi.
Semoga Harita dengan segala iktikad luhurnya, mampu menjaga asa mulia itu. Tidak justru luluh dan luruh dihantam realitas tambang yang kusam berselimut debu dan asap. Menutupi purnama perak yang hanya mampu tersenyum miris dari balik awan tipis. (*)
 
      