Logo
>

Optimisme yang Butuh Eksekusi, Bukan Sekadar Angka

Catatan Kritis Atas Penetapan APBN 2026

Ditulis oleh Uslimin Usle
Optimisme yang Butuh Eksekusi, Bukan Sekadar Angka
APBN 2026 membawa optimisme baru lewat alokasi pendidikan 20%, kesehatan, energi, dan pangan. Namun, tantangan defisit fiskal tetap membayangi. Ilustrasi: Andrew Bernard.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - APBN 2026 baru saja disahkan. Banyak apresiasi patut diberikan. Terutama karena alokasi pendidikan untuk pertama kalinya menyentuh amanat konstitusi (minimal) 20 persen atau Rp769 triliun. 

    Pos kesehatan, ketahanan energi, pangan, dan program sosial berskala besar juga mendapat perhatian. Namun, di balik optimisme itu, terselip kekhawatiran. Apalagi kalau bukan perkara defisit fiskal yang melebar. Dari Rp616 triliun (2025) menjadi Rp689 triliun (2026).

    Target pertumbuhan 6–8 persen yang digaungkan pemerintah hanya bisa tercapai bila APBN ini benar-benar menjadi instrumen transformasi struktural. Bukan sekadar lembar belanja rutin.

    Pendidikan, Kesehatan, dan Fondasi Jangka Panjang

    Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, alokasi pendidikan mencapai 20 persen. Ini bukan sekadar angka, melainkan koreksi sejarah kebijakan. Di sektor kesehatan, alokasi Rp244 triliun bisa menjadi dasar memperkuat produktivitas tenaga kerja bila diarahkan pada layanan preventif dan gizi dasar. Anggaran energi (Rp402 triliun) dan pangan (Rp164,7 triliun) juga memberi ruang memperbaiki fondasi kedaulatan ekonomi.

    Namun, alokasi besar tidak otomatis menjamin hasil. Sejarah belanja publik di Indonesia memperlihatkan serapan anggaran sering tidak berbanding lurus dengan pencapaian kualitas.

    Defisit Melebar, Ruang Fiskal Menyempit

    Nominal defisit meningkat menjadi Rp689 triliun. Rasio terhadap PDB memang masih terkendali (sekitar 2,68 persen, di bawah batas 3 persen). Namun pelebaran selisih ini menjadi sinyal rapuhnya penerimaan negara. Jika tax ratio tetap di kisaran 10 persen PDB, setiap tambahan belanja hanya menambah beban utang dan bunga.

    Ruang fiskal Indonesia relatif masih aman secara makro (utang publik kurang lebih 39 persen PDB, lebih rendah dari Malaysia atau Brasil). Akan tetapi, risiko meningkat jika tidak diimbangi oleh reformasi pajak dan efisiensi belanja.

    Belajar dari Thailand dan Vietnam

    Kinerja ekonomi Indonesia masih tertinggal dibandingkan tetangga yang berhasil menjadikan ekspor sebagai mesin pertumbuhan. Thailand, ekspor barang-jasa kurang lebih 70 persen PDB (2024). Vietnam lebih besar lagi, yakni ekspornya kurang lebih 86 persen PDB (2023), dengan basis manufaktur ekspor padat karya–teknologi.

    Bagaimana dengan Indonesia? Angka tertinggi yang dicapai Adalah kurang lebih 22 persen PDB (2024). Artinya, tanpa lonjakan ekspor bernilai tambah, target pertumbuhan 6–8 persen akan sulit tercapai.

    Selain itu, belanja riset Indonesia baru 0,28 persen PDB (2020). Jauh dari standar Korea Selatan atau China (>2 persen). Sementara belanja kesehatan total Indonesia hanya 3 persen PDB, di bawah rata-rata negara menengah lain.

    Quality of Spending

    Belanja pendidikan 20 persen harus diarahkan ke hasil nyata. Antara lain tenaga kerja dengan keterampilan relevan, terutama pada AI, otomasi, energi terbarukan, dan agritech. Belanja kesehatan perlu bergeser ke pencegahan penyakit tidak menular, layanan primer, dan digitalisasi sistem klaim.

    Belanja energi dan pangan pun harus berpindah dari subsidi konsumtif menuju investasi produktif. Subsidi energi yang tidak tepat sasaran selama ini menggerus ratusan triliun rupiah yang seharusnya bisa dialihkan ke elektrifikasi transportasi, grid energi baru terbarukan, atau modernisasi irigasi pertanian.

    Reformasi Penerimaan terhadap PDB

    Untuk menutup defisit struktural, basis pajak harus diperluas. Digitalisasi pajak, integrasi data kependudukan dengan sistem perpajakan, hingga ekstensifikasi pajak properti berbasis nilai pasar adalah langkah penting.

    Evaluasi insentif pajak juga krusial. Pada 2023, nilai tax expenditure mencapai lebih dari Rp360 triliun. Tanpa mekanisme “sunset clause”, banyak insentif hanya menjadi hadiah untuk perusahaan besar tanpa menciptakan nilai tambah.

    Dari Hilirisasi ke Deep Industrialization

    Hilirisasi mineral harus naik kelas. Bukan berhenti di smelter nikel. Sebaliknya, masuk ke rantai produksi baterai, mulai dari precursor, cathode, hingga komponen kendaraan listrik. Target ekspor komponen baterai dan material maju bisa mencapai USD10 miliar pada 2028 jika roadmap dijalankan serius.

    Selain itu, manufaktur elektronik, alat kesehatan, dan produk pangan olahan perlu mendapat prioritas. Industri kecil-menengah bisa ditopang lewat technology extension services yang membantu adopsi otomasi ringan, lean production, hingga sertifikasi standar ekspor.

    Momentum Perjanjian Dagang CEPA dan Uni Eropa

    Kesepakatan CEPA dengan Uni Eropa yang ditarget berlaku 1 Januari 2027 adalah peluang besar. Dengan tarif 80 persen produk RI akan dihapus, pasar Eropa bisa menjadi mesin baru ekspor. Namun, kepatuhan terhadap standar lingkungan dan tenaga kerja akan menjadi ujian. Industri dalam negeri harus menyiapkan diri sejak 2025.

    Target pertumbuhan tinggi hanya mungkin tercapai bila daya beli domestik tetap kuat. Inflasi pangan dan energi harus dikendalikan dengan koordinasi ketat antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Program sosial berskala besar seperti MBG harus dirancang berbasis outcome. Dalam hal ini, dibutuhkan parameter objektif, mulai dari indikator gizi, kehadiran sekolah, dan partisipasi produktif.

    Rekomendasi Solutif

    Menilik postur APBN dan sektor-sektor yang digenjot, berikut tawaran solusi yang bisa dimulai tahun depan. Antara lain, perlu menaikkan tax ratio ke 13–15 persen PDB dalam 3–5 tahun melalui digitalisasi dan ekstensifikasi pajak properti.

    Sementara untuk belanja Pendidikan, sebaiknya 70 persen tambahan anggaran diarahkan ke vokasi dan politeknik dengan indikator penyerapan kerja. Dan, jangan lupa naikkan belanja riset ke 1 persen PDB pada 2028 dengan mekanisme matching fund dan insentif berbasis hasil.

    Pada sektor kesehatan, pemerintah perlu memperbesar belanja preventif hingga 60 persen dari kenaikan pos kesehatan. Sedang di sektor energi, pemerintah harus mau dan berani mengalihkan subsidi konsumtif ke elektrifikasi transportasi dan renewable grid

    Demikian halnya di bidang ekspor. Pdemerintah, mau tidak mau wajib meningkatkan rasio ekspor PDB ke 30 persen dalam 5 tahun melalui manufaktur bernilai tambah. Untuk itu, pemerintah wajib memaksimalkan CEPA UE dengan program supplier upgrading untuk 10 ribu UKM ekspor.

    Eksekusi Riil

    APBN 2026 memberi optimisme: pendidikan 20 persen, kesehatan dan energi menjadi prioritas, serta defisit yang masih terkendali secara persentase PDB. Namun, tanpa reformasi penerimaan, reindustrialisasi bernilai tambah, dan kualitas belanja publik yang terukur, target pertumbuhan 6–8 persen hanya akan menjadi retorika politik.

    Dengan keberanian mengeksekusi reformasi struktural, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dari Thailand dan Vietnam, dan benar-benar menyiapkan jalan menuju status negara maju. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Uslimin Usle

    Jurnalis jenjang utama (November 2012) dan penguji nasional pada Aliansi Jurnalistik Independen sejak 2013. 
    Aktif sebagai jurnalis pertama kali pada Desember 1993 di koran kampus PROFESI IKIP Ujungpandang (kini Universitas Negeri Makassar). 
    Bergabung sebagai reporter Majalah Dwi Mingguan WARTA SULSEL pada 1996-1997. Hijrah ke majalah DUNIA PENDIDIKAN (1997-1998) dan Tabloid PANCASILA (1998), lalu bergabung ke Harian Fajar sebagai reporter pada Maret 1999. 
    Di grup media yang tergabung Jawa Pos Grup, meniti karier secara lengkap dan berjenjang (reporter-redaktur-koordinator liputan-redaktur pelaksana-wakil pemimpin redaksi hingga posisi terakhir sebagai Pemimpin Redaksi  pada Januari 2015 hingga Agustus 2016).
    Selepas dari Fajar Grup, bergabung ke Kabar Grup Indonesia sebagai Direktur Pemberitaan pada November 2017-Mei 2018, dan Juni 2023 hingga sekarang, merangkap sebagai Pemimpin Redaksi KabarBursa.Com (Januari 2024) dan KabarMakassar.Com (Juni 2023). (*)