KABARBURSA.COM - Tahun 2024 resmi jadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah bumi. Berdasarkan laporan Associated Press, tahun lalu tercatat adanya lonjakan signifikan yang membuat planet ini melewati ambang batas suhu.
Para ilmuwan memperingatkan jika kondisi ini bertahan dalam jangka panjang, dunia akan menghadapi peningkatan angka kematian, kehancuran lingkungan, hilangnya spesies, serta kenaikan permukaan laut akibat cuaca ekstrem yang menyertai pemanasan global. Semua itu terjadi setelah 2024 menjadi tahun penuh bencana iklim mematikan. Sedikitnya 27 bencana bernilai miliaran dolar AS terjadi di wilayah Amerika Serikat. Parahnya lagi, 2025 dibuka dengan kebakaran hutan dahsyat di California Selatan.
Suhu rata-rata global tahun lalu melampaui rekor tahun 2023 dan terus meningkat. Data dari European Commission’s Copernicus Climate Service, Kantor Meteorologi Inggris, Badan Cuaca Jepang, dan tim riset swasta Berkeley Earth menunjukkan suhu dunia melewati ambang batas pemanasan 1,5 derajat Celsius yang ditetapkan oleh Perjanjian Iklim Paris 2015.
[caption id="attachment_112048" align="alignnone" width="1200"] Sebuah helikopter melakukan tetesan air, saat asap dan api naik dari Kebakaran Matahari Terbenam di perbukitan yang menghadap ke Hollywood, Los Angeles, California, 8 Januari. Foto: Reuters[/caption]
Namun, dua lembaga pemerintah AS, yakni NOAA dan NASA, masih mencatat angka di bawah batas tersebut, masing-masing di 1,46 dan 1,47 derajat Celsius. Sebaliknya, Copernicus mencatat 1,6 derajat Celsius, Jepang 1,57 derajat, Inggris 1,53 derajat, dan Berkeley Earth—lembaga yang awalnya skeptis terhadap perubahan iklim—mencatat 1,62 derajat Celsius.
Perbedaan kecil tersebut disebabkan oleh perbedaan metode pengukuran suhu lautan. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengambil rata-rata dari enam estimasi tersebut dan menghasilkan angka komposit 1,55 derajat Celsius, yang oleh ilmuwan NASA Gavin Schmidt disebut sebagai “penilaian masuk akal.”
Menurut Samantha Burgess dari Copernicus, penyebab utama lonjakan suhu ini adalah akumulasi gas rumah kaca yang terus meningkat di atmosfer akibat pembakaran batu bara, minyak, dan gas. “Semakin banyak gas rumah kaca yang menumpuk, suhu terus naik, permukaan laut meningkat, dan gletser serta lapisan es terus mencair,” ujarnya, dikutip dari AP di Jakarta, Ahad, 12 Januari 2025.
NOAA mencatat 2024 sebagai tahun terpanas di Amerika Serikat sejak pencatatan dimulai pada 1850. Bahkan, menurut Burgess, kemungkinan besar ini adalah tahun terpanas selama 125.000 tahun terakhir.
Russ Vose dari NOAA menambahkan, “Tidak ada indikasi tren ini akan berhenti. Ketika lebih banyak panas masuk ke sistem, dampaknya merembet ke bagian lain. Permukaan laut naik, udara yang lebih hangat menampung lebih banyak uap air, yang berarti badai ekstrem lebih sering terjadi. Dunia yang lebih hangat punya banyak konsekuensi besar.”
Peneliti dari Woodwell Climate Research Center, Jennifer Francis, menyamakan peringatan tentang perubahan iklim seperti suara sirene polisi di New York—begitu sering terdengar hingga masyarakat mulai kebal. Bedanya, ia menegaskan, darurat iklim ini makin parah, jauh melampaui sekadar kenaikan suhu.
Profesor meteorologi dari University of Georgia, Marshall Shepherd, menggambarkan situasi ini seperti lampu peringatan di dasbor mobil. “Badai Helene, banjir di Spanyol, dan cuaca ekstrem yang memicu kebakaran di California adalah gejala dari pergeseran ‘gigi’ iklim yang menyedihkan,” katanya.
Menurut laporan NOAA, Amerika Serikat mencatat 27 bencana cuaca yang menyebabkan kerugian minimal USD1 miliar (sekitar Rp16 triliun dengan kurs Rp16.000) setiap insiden, hanya satu bencana lebih sedikit dari rekor pada 2023. Total kerugian tahun lalu mencapai USD182,7 miliar (Rp2.923,2 triliun) dengan Badai Helene menjadi bencana yang paling merusak—mengakibatkan 219 korban jiwa dan kerugian sebesar USD79,6 miliar (Rp1.273 triliun).
[caption id="attachment_99200" align="alignnone" width="1160"] Seorang pria berjalan melewati banjir yang mengalir deras di pinggiran Boone, Carolina Utara, untuk membantu pengemudi yang terdampar saat badai Helene melanda pada 27 September 2024. Foto: onathan Drake/Reuters.[/caption]
Ilmuwan iklim dari Texas Tech, Katharine Hayhoe, mengingatkan bencana senilai miliaran dolar dulu hanya terjadi setiap empat bulan sekali pada 1980-an. “Sekarang, bencana semacam itu terjadi setiap tiga minggu. Bahkan tahun 2025 baru berjalan sembilan hari, dan kita sudah mencatat bencana pertama,” katanya.
Dunia Melewati Ambang Batas
[caption id="attachment_112436" align="alignnone" width="1198"] Seorang turis menggunakan kipas angin tangan untuk mendinginkan orang lain yang duduk di bangku di depan Parthenon di Acropolis kuno, di Athena, 12 Juni 2024. Foto AP/Petros Giannakouris.[/caption]
Para ilmuwan menekankan ambang batas pemanasan 1,5 derajat Celsius ditujukan untuk rata-rata jangka panjang. Angka itu kini didefinisikan sebagai rata-rata selama 20 tahun. Pemanasan sejak era pra-industri kini sudah mencapai 1,3 derajat Celsius secara jangka panjang.
Ilmuwan iklim dari Northern Illinois University, Victor Gensini, memperingatkan angka 1,5 derajat bukan sekadar angka, melainkan tanda bahaya besar. “Melampaui ambang batas itu bahkan hanya untuk satu tahun menunjukkan betapa dekatnya kita dengan melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris,” katanya.
Sebuah studi besar PBB pada 2018 menyimpulkan bahwa menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius dapat menyelamatkan terumbu karang dari kepunahan, mencegah hilangnya lapisan es besar di Antartika, dan menghindari kematian serta penderitaan massal.
Namun, Peneliti dari Woodwell Climate Research Center, Jennifer Francis, menyebut ambang batas itu sebagai sesuatu yang “sudah tak berguna lagi”.(*)