Logo
>

75 Tahun Indonesia-China, Saatnya Gaspol Transisi Hijau

Tujuh dekade lebih Indonesia dan China bersahabat. Kini saatnya kerja sama itu diarahkan ke masa depan energi bersih dan ekonomi rendah karbon.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
75 Tahun Indonesia-China, Saatnya Gaspol Transisi Hijau
Tujuh dekade lebih Indonesia dan China bersahabat. Kini saatnya kerja sama itu diarahkan ke masa depan energi bersih dan ekonomi rendah karbon. Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Hubungan diplomatik Indonesia dan China resmi memasuki usia 75 tahun. Dari yang dulunya hanya sebatas hubungan bilateral biasa, kini sudah menjelma jadi poros penting dalam arsitektur ekonomi dan energi kawasan. Sejak 13 April 1950, keduanya sudah saling sapa secara formal, dan hingga hari ini makin lengket lewat proyek-proyek pembangunan, perdagangan, infrastruktur, sampai kerja sama sosial-budaya.

    Secara angka, China sudah jadi mitra dagang terbesar Indonesia selama sepuluh tahun berturut-turut. Volume perdagangannya melonjak dari USD50 miliar pada 2013 jadi USD150 miliar di 2022. Dan di tahun 2024 ini, China lewat Belt and Road Initiative (BRI) menempatkan Indonesia sebagai penerima investasi proyek terbesar dengan total USD9,3 miliar (setara lebih dari Rp150 triliun dengan kurs Rp16). Artinya, Indonesia sudah diakui sebagai mitra strategis China di Asia Tenggara.

    Presiden China Xi Jinping, dalam ucapan selamatnya kepada Presiden Prabowo Subianto, menekankan pentingnya saling mendukung visi pembangunan negara masing-masing. Sebaliknya, Prabowo juga sudah memberi sinyal terang saat kunjungannya ke Beijing akhir tahun lalu, antara lain Indonesia butuh dukungan penuh untuk mengejar kemandirian energi lewat pengembangan energi terbarukan.

    Dari sisi sipil dan advokasi, Institute for Essential Services Reform (IESR) ikut menyoroti momen ini sebagai peluang emas. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebut ini saat yang tepat untuk menyatukan langkah menuju ekonomi hijau dan nol emisi.

    “Kerja sama di sektor energi bersih dapat membantu pengembangan proyek BRI hijau yang berdampak pada penurunan emisi, mengingat posisi Indonesia sebagai penerima utama,” kata Fabby dalam keterangan tertulis yang dikutip Senin, 21 April 2025. Ia menambahkan, proyek-proyek BRI seharusnya mulai diarahkan ke investasi energi terbarukan, pengganti pembangkit fosil, serta penguatan rantai pasok dan teknologi bersih.

    Dalam studi IESR terbaru, ada potensi pengembangan energi terbarukan skala utilitas hingga 333 GW yang layak secara finansial. Jika digarap serius, angka ini bisa mempercepat Indonesia jadi ekonomi besar keempat dunia pada 2045, tapi dengan emisi yang lebih rendah dan struktur energi yang lebih modern.

    Fabby juga bilang bahwa posisi China sebagai raksasa manufaktur dan infrastruktur energi bersih bisa jadi tandem strategis buat Indonesia. "Lebih dari sekadar pembangunan, ini soal membentuk arsitektur ekonomi baru yang rendah karbon."

    Sementara itu, Arief Rosadi dari IESR menyoroti pentingnya kolaborasi tak cuma antar pemerintah, tapi juga lewat dialog antarmasyarakat. “Dialog yang efektif di tingkat masyarakat antara China dan Indonesia dapat membuka ruang pembelajaran dari pengalaman China dalam mentransformasi ekonominya menuju pembangunan hijau,” ujar Arief.

    Ia meyakini, perayaan ini jangan sekadar jadi nostalgia sejarah. Harus dijadikan momen untuk membangun masa depan bersama. “Ini bisa jadi contoh kerja sama Selatan-Selatan dalam menghadapi perubahan iklim,” tambahnya.

    Tak ketinggalan, IESR juga mendorong kerja sama internasional melalui BRI International Green Development Cooperation (BRIGC), platform lintas negara untuk mendorong pembangunan hijau. Bahkan sejak akhir 2024, Fabby Tumiwa masuk dalam jajaran 30 ahli dunia dalam jejaring GLEN yang dibentuk oleh Kementerian Ekologi dan Lingkungan China. Tugasnya? Memberi nasihat strategis demi mewujudkan BRI yang bukan cuma besar secara proyek, tapi juga berkelanjutan secara lingkungan.

    Tertatih Wujudkan Janji Transisi Energi

    Di tengah euforia peringatan 75 tahun hubungan dengan China dan janji kerja sama transisi hijau, ada fakta lain yang tak bisa diabaikan. Langkah konkret Indonesia dalam mengurangi emisi justru dinilai melambat, bahkan berseberangan dengan komitmen internasional yang pernah digaungkan.

    Hal itu terangkum dalam laporan terbaru Climate Analytics berjudul The Impact of Global Climate Pledges on National Action: A Snapshot Across Asia. Laporan ini menunjukkan adanya jurang lebar antara pernyataan politis dan implementasi konkret di level kebijakan karena sebagian besar komitmen bersifat sukarela, tidak mengikat secara hukum, dan tanpa mekanisme penegakan.

    “Salah satu masalah yang kami temukan dari komitmen-komitmen internasional ini adalah sifatnya yang sukarela dan tidak mengikat, yang akhirnya membatasi dampaknya. Pemerintah negara-negara dapat membuat pernyataan keras bahwa telah menandatangani komitmen tersebut dalam COP tanpa harus melakukan tindakan konkret,” ujar Nandini Das, salah satu penulis laporan tersebut, dikutip dari keterangan tertulis Climate Analytics.

    Contoh paling gamblang terlihat dari nasib PLTU batu bara di Indonesia. Meskipun secara resmi Indonesia telah menandatangani The Global Coal to Clean Power Transition Statement pada COP26, kenyataannya kapasitas PLTU justru meningkat. Hingga kini, batu bara masih menyumbang sekitar 45 persen dari total kapasitas pembangkitan listrik nasional. Bahkan sejak paruh kedua 2023, proyek PLTU baru dengan total kapasitas 1 gigawatt telah mengantongi izin atau masuk tahap konstruksi.

    Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024–2060, pemerintah masih memproyeksikan tambahan kapasitas PLTU sebesar 76,5 gigawatt — naik 26,8 GW dari tahun 2024. Ini berbanding terbalik dengan peta jalan netral karbon yang disusun Kementerian ESDM, di mana pemerintah menargetkan penghentian seluruh PLTU pada 2056. Presiden Prabowo Subianto juga sempat menyatakan dalam KTT G20 Brasil 2024 bahwa Indonesia akan menghentikan semua pembangkit berbasis fosil sebelum 2040. Namun hingga kini, belum ada rencana aksi atau kerangka kebijakan yang diumumkan untuk mengarah ke target tersebut.

    Performa energi terbarukan pun tak lebih meyakinkan. Terlepas dari potensi besar, investasi proyek baru energi bersih seperti surya dan angin masih jauh dari kata optimal. Laporan ini mencatat pada 2023, Indonesia hanya berhasil menarik investasi sekitar USD400 juta untuk proyek energi terbarukan — lebih kecil dari Thailand. Biang keroknya adalah kerumitan kebijakan energi yang membuat investor ogah melirik.

    Di sisi lain, Indonesia juga ikut menandatangani Global Methane Pledge dalam COP26 — sebuah komitmen untuk memangkas emisi metana hingga 30 persen dari level 2022 pada 2030. Namun bukannya turun, emisi metana Indonesia justru naik 7 persen antara 2022 dan 2023. Pemerintah pun belum merilis rencana aksi apapun untuk menangani emisi ini di sektor energi, pertanian, atau limbah.

    Fenomena minimnya realisasi komitmen transisi energi tak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara Asia lain dalam studi Climate Analytics menunjukkan tren serupa. Filipina dan Vietnam masih membangun PLTU baru, sementara Korea Selatan dan Jepang tetap bergantung pada impor batu bara. Di saat yang sama, ekspansi proyek impor gas alam cair masih berlanjut di Singapura, Filipina, dan Vietnam.

    Penulis utama laporan Climate Analytics, Thomas Houlie, menilai meski komitmen internasional kerap dijadikan landasan menuju kemajuan, namun isinya seringkali tidak benar-benar tercermin dalam dokumen target iklim nasional (NDC) maupun kebijakan negara yang menandatanganinya.

    “NDC yang disusun tahun ini menjadi peluang bagi pemerintah untuk menunjukkan apakah komitmen yang bersifat sukarela ini akan mendorong ambisi dan aksi negara, atau hanya sekedar jargon politik dan diplomatik,” kata Houlie.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).