Logo
>

Alokasi Anggaran Minim, Ekonom Pertanyakan Niat Transisi Energi

Ditulis oleh KabarBursa.com
Alokasi Anggaran Minim, Ekonom Pertanyakan Niat Transisi Energi

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terus berupaya memacu transisi energi untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Meski begitu, alokasi anggaran untuk Energi Baru Terbarukkan (EBT) tergolong minim jika dibandingkan sektor lain.

    Mengacu pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 Kementerian ESDM, tercatat masing-masing pagu anggaran Direktorat Jenderal (Dirjen) dengan rincian Minyak dan Gas (Migas) sebesar Rp4,8 triliun, Ketenagalistrikan Rp550 miliar, Mineral dan Batu Bara (Minerba) Rp713 miliar hingga Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rp657 miliar.

    Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, mempertanyakan niat transisi energi yang kerap digaungkan pemerintah. Apalagi, pagu anggaran sektor EBTKE jauh di bawah Migas.

    "Kalau anggaran Ditjen EBTKE terlalu kecil jadi pertanyaan, sebenarnya serius tidak pemerintah lakukan transisi energi?" kata Bhima kepada KabarBursa, Minggu, 15 September 2024.

    Bhima menegaskan, alokasi anggaran Dirjen EBTKE penting untuk mendorong pengembangan EBT berbasis komunitas di seluruh wilayah Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, dia menilai perlu biaya untuk mendorong infrastruktur, teknologi, hingga pelatihan teknisi.

    Bhima menilai, sektor dengan produksi rendah mestinya tidak diberi anggaran besar, sebagaimana alokasi Dirjen Migas. Baiknya, anggaran sektor Migas dipangkas untuk memacu pengembangan EBT.

    "Sekarang lifting minyak kan terus turun bahkan cuma dapat 580 ribu barrel per hari. Sektor yang sedang turun jangan dikasih anggaran terlalu banyak, kecuali soal pengawasan. Sementara sektor ebt butuh komitmen anggaran lebih besar," jelasnya.

    Bhima khawatir, minimnya anggaran EBTKE akan mempengaruhi minat investor. Alokasi anggaran yang minim, kata dia, seolah menandakan ketidakberpihakan pemerintah terhadap transisi energi.

    "Khawatir anggaran Ditjen EBTKE yang terlalu kecil buat investor ragu masuk ke sektor EBT. Mereka akan kalkulasi ulang soal komitmen pemerintah. Ibaratnya investor disuruh masuk ke EBT, tapi pemerintah sendiri nggak punya keberpihakan dari sisi APBN," tutupnya.

    Akselerasi Butuh Investasi

    Diberitakan sebelumnya, Kementerian ESDM mencatat realisasi bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 13,93 persen per semester pertama tahun 2024 dari target 19,5 persen listrik dari EBT.

    Sementara untuk mendorong realisasi bauran energi EBT sesuai target 2024 sebesar 23 persen, Kementerian ESDM mengakui butuh komitmen investasi dan pembangunan infrastruktur.

    "Investasi salah satu yang terpenting yang belum tercapai, lalu komitmen untuk menjalankan investasi tersebut, juga infrastruktur yang saat ini kita dorong. Saat ini kita ingin adanya capaian yang lebih jelas lagi," kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 9 September 2024.

    Adapun realisasi investasi subsektor EBTKE hingga semester I 2024 sebesar USD580 juta atau 46,8 persen dari target 2024 sebesar USD1,23 miliar. Eniya mengungkapkan masih dibutuhkan USD14,02 miliar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan 8.224,1 Megawatt (MW).

    "Sampai tahun 2025 masih perlu 8.224,1 MW atau 8,2 Gigawatt (GW). Di mana ini investasi yang diperlukan adalah USD14 miliar. Terdiri dari berbagai macam jenis EBT, ada biomasa, biogas, sampah, geothermal, air, hidro, baterai, dan seterusnya. Nah, ini yang diperlukan," ujar Eniya.

    Seret Investasi

    Menteri Investasi/Kepala BKPM Rosan Roeslani mengungkapkan bahwa investasi global untuk energi dan bahan bakar terbarukan pada 2023 telah melesat mencapai angka monumental USD623 miliar, atau sekitar Rp9.602 triliun. Lonjakan ini mencerminkan peningkatan sebesar 8,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Namun, meskipun angka tersebut terkesan impresif, Rosan menilai bahwa perkembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di tingkat global masih sangat tidak merata. Kemajuan teknologi EBT saat ini masih terpusat di China, Uni Eropa, dan Amerika Serikat (AS).

    “Investasi global untuk energi terbarukan dan bahan bakar terbarukan mencetak rekor baru di angka USD 623 miliar, meningkat 8,1 persen dari tahun ke tahun. Meski demikian, pengembangan energi terbarukan secara regional masih sangat timpang,” jelas Rosan pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Kamis, 5 September 2024.

    China tetap mendominasi arus investasi EBT global, dengan kontribusi mencapai 44 persen dari total investasi dunia. Uni Eropa menyusul dengan 21 persen, sementara Amerika Serikat berkontribusi sebesar 15 persen terhadap investasi EBT global.

    Sebaliknya, Amerika Latin, Afrika, dan Asia - kecuali China - hanya menyumbang 18 persen dari total investasi, meskipun wilayah-wilayah ini mewakili lebih dari dua pertiga populasi dunia.

    Rosan mencatat bahwa negara berkembang seperti Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam transisi menuju energi terbarukan. Kendala utama meliputi infrastruktur yang belum memadai, kebutuhan investasi awal yang besar, dan kesulitan dalam mendapatkan pembiayaan untuk sektor EBT.

    “Pada 2022, biaya modal untuk proyek di negara berpenghasilan rendah adalah 6,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Biaya modal yang tinggi di negara berkembang disebabkan oleh kekhawatiran terhadap stabilitas hukum, fluktuasi mata uang, dan konvertibilitas,” ungkapnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi