KABARBURSA.COM - Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) menegaskan komitmennya dalam mendukung ambisi Indonesia menjadi pemimpin global dalam pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi.
"Panas bumi adalah sumber energi terbarukan yang memiliki potensi masif di Indonesia. Untuk mengoptimalkan potensi ini, sinergi lintas pemangku kepentingan menjadi kunci utama," ujar Ketua Umum API, Julfi Hadi, di Jakarta, Selasa 20 Agustus 2024.
Menurutnya, untuk mencapai optimalisasi tersebut, diperlukan kolaborasi strategis antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai perwakilan pemerintah, perusahaan pembangkit independen (IPP) sebagai pengembang, PLN sebagai offtaker, dan API sebagai perwakilan profesional.
Julfi menekankan, terdapat tiga model kemitraan yang dapat mempercepat pengembangan energi panas bumi nasional. Salah satunya melalui pengoperasian pembangkit listrik panas bumi (binary power plant) yang mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya.
Selain itu, kolaborasi bisa diwujudkan lewat akuisisi dan penggabungan perusahaan, memungkinkan pengembang memperluas operasional serta menggenjot kapasitas produksi dengan lebih agresif.
Model kolaborasi terakhir yang disoroti adalah pembentukan joint venture antara BUMN atau perusahaan lokal dengan mitra asing, yang dapat membawa arus investasi baru serta mendorong inovasi teknologi maupun penyederhanaan birokrasi.
Untuk memperkuat kolaborasi ini, API akan menggelar The 10th IIGCE 2024 yang dijadwalkan berlangsung pada 18-20 September 2024 di Jakarta Convention Center (JCC).
Julfi mengungkapkan, acara ini akan menghadirkan para pakar dan praktisi internasional yang siap berbagi inovasi terbaru dan best practices yang relevan untuk Indonesia.
"Event ini membuka peluang untuk pertukaran pengetahuan, perkenalan teknologi baru, dan pembentukan kemitraan strategis yang dapat mempercepat pengembangan proyek-proyek panas bumi," ungkapnya.
Ketua Pelaksana The 10th IIGCE 2024, Boyke Bratakusuma, optimistis sinergi ini dapat membantu pemerintah merealisasikan target energi terbarukan nasional.
"Dengan demikian, Indonesia bisa terus melangkah sebagai pemimpin global dalam pemanfaatan energi panas bumi yang berkelanjutan," pungkasnya.
Pengusaha Kurang Tertarik
Pengembangan dan pengusahaan listrik panas bumi hampir di semua negara relatif lebih lambat dibandingkan jenis pembangkit listrik lainnya. Hal itu dikatakan lembaga riset ReforMiner Institute.
The Credit Suisse Analysis menyebut meskipun harganya dapat lebih murah, potensi bisnis ini tidak terlalu membuat pebisnis tertarik.
Mengutip laporan ReforMiner yang dikutip Rabu, 7 Agustus 2024, memaparkan setidaknya ada empat faktor yang membuat pelaku industri di bidang kelistrikan kurang tertarik melirik potensi bisnis listrik panas bumi.
Pertama, menyangkut investasi awal yang lebih mahal jika dibandingkan dengan jenis pembangkit listrik lainnya.
“Kedua, investor masih menilai biaya operasional pembangkit listrik berbasis fosil yang lebih mahal tetap lebih menarik dibandingkan modal awal yang tinggi untuk usaha listrik panas bumi,” jelas ReforMiner.
Ketiga, lokasi pengembangan panas bumi dinilai tidak fleksibel karena hanya dapat dibangun atau dikembangkan di tempat tertentu.Sedangkan pembangkit listrik lain dapat dibangun di lokasi yang lebih fleksibel.
Keempat, adanya kesulitan untuk menemukan sumber panas bumi yang menyebabkan biaya eksplorasi menjadi lebih tinggi. Pengembangan dan pengusahaan panas bumi pada dasarnya belum dapat sepenuhnya menggunakan mekanisme business to business, dan pada umumnya masih memerlukan intervensi kebijakan.
Soal harga listrik panas bumi yang lebih murah, menurut ReforMiner Insitute, tidak selalu menjamin atau menjadi faktor pendorong yang menentukan keberhasilan dalam pengembangan dan pengusahaan listrik panas bumi di suatu negara.
Namun, dari semua hal yang disebutkan di atas, faktor lain yang lebih menentukan, salah satunya adalah komitmen pemerintah dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi itu sendiri.
Usaha Listrik Panas Bumi
Data menunjukkan rata-rata harga listrik panas bumi di Amerika Serikat (AS) lebih rendah dibandingkan rata-rata harga listrik nasional negara tersebut. Akan tetapi, pengusahaan listrik panas bumi di AS relatif belum cukup berkembang.
Kapasitas terpasang listrik panas bumi di AS sampai dengan 2023 dilaporkan baru sekitar 12,99 persen dari total potensi yang dimiliki. Produksi listrik panas bumi dilaporkan hanya sekitar 0,20 persen dari total produksi listrik negara tersebut.
Faktor penyebab industri panas bumi di AS relatif belum berkembang adalah karena proses untuk menemukan cadangan panas bumi memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang cukup panjang. Selain itu, proses perizinan usaha panas bumi di AS juga cukup panjang dan menjadi kendala utama.
Kondisi berbeda terjadi di Filipina dan Turki. Rata-rata harga listrik panas bumi dari kedua negara tersebut tercatat lebih tinggi dari rata-rata harga listrik nasional masing-masing negara. Akan tetapi, realisasi pengembangan panas bumi dari kedua negara tersebut cukup progresif.
“Sampai dengan 2023, kapasitas terpasang listrik panas bumi Filipina dan Turki masing-masing sekitar 48,03 persen dan 37,58 persen dari total potensi panas bumi yang dimiliki oleh masing-masing negara,” papar ReforMiner Institute.(*)