KABARBURSA.COM - Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai USD500 juta untuk Indonesia guna mendanai program transisi energi. Indonesia yang kini menargetkan nol emisi karbon pada 2060, tengah berupaya mengurangi penggunaan batu bara dengan dukungan keuangan dari Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP) yang dipimpin oleh negara-negara G7.
ADB menyoroti ketergantungan Indonesia pada batu bara dan menyebut program ini berfokus pada pembentukan kerangka kebijakan dan regulasi yang kuat untuk transisi energi bersih, memperkuat tata kelola sektor, dan keberlanjutan keuangan.
"Indonesia berada di titik kritis dalam perjalanan transisi energi," kata Direktur Negara ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, dikutip dari Reuters, Sabtu, 21 September 2024.
Ia menambahkan, pinjaman ini mendukung upaya Indonesia untuk mempercepat peralihannya menuju energi yang berkelanjutan dan bersih. ADB menjelaskan pinjaman ini dimaksudkan untuk mendukung pengembangan kebijakan sektor, bukan hanya satu proyek atau lingkup tertentu.
Program ini, menurut ADB, mencakup pengembangan rencana investasi dan kebijakan yang didukung oleh JETP, serta peningkatan kapasitas energi terbarukan. Mitra pendanaan bersama untuk program ini termasuk badan pengembangan Prancis, Agence Française de Développement (AFD), dan lembaga keuangan negara Jerman, KfW.
Dana senilai USD20 miliar telah dijanjikan dalam rencana JETP untuk Indonesia guna membatasi emisi di sektor listrik pada 290 juta metrik ton karbon pada 2030. Namun, pencairan dana berjalan lambat.
Ketika ditanya soal lambannya implementasi JETP, Menteri Pembangunan Inggris, Anneliese Dodds, mengatakan kepada Reuters pekan ini bahwa JETP adalah kemitraan jangka panjang yang membutuhkan perubahan besar dalam infrastruktur.
"Ini tidak akan terjadi dalam semalam," ujarnya. "Inggris benar-benar bekerja untuk memperbarui pendekatan itu, sehingga kita dapat bersama-sama fokus pada pertumbuhan hijau dan pembangunan ekonomi."
Dodds mengimbuhkan, Indonesia memiliki peluang untuk menjadi penyerap karbon bagi kawasan ini. Inggris pun berencana bekerja sama dengan mitra JETP lainnya untuk mempercepat upaya seperti pengentasan kemiskinan dan penanggulangan deforestasi.
Kurang Niat Transisi Energi
Meskipun dukungan keuangan dari lembaga internasional seperti ADB terus mengalir untuk mempercepat transisi energi di Indonesia, masalah alokasi anggaran dalam negeri masih menjadi sorotan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap menghadapi tantangan dalam mempercepat pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Anggaran yang dialokasikan untuk sektor EBT dinilai masih jauh di bawah kebutuhan, memicu pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Mengacu pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 Kementerian ESDM, tercatat masing-masing pagu anggaran Direktorat Jenderal (Dirjen) dengan rincian Minyak dan Gas (Migas) sebesar Rp4,8 triliun, Ketenagalistrikan Rp550 miliar, Mineral dan Batu Bara (Minerba) Rp713 miliar hingga Energi Baru Terbarukkan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rp657 miliar.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mempertanyakan niat transisi energi yang kerap digaungkan pemerintah. Apalagi, pagu anggaran sektor EBTKE jauh di bawah Migas.
“Kalau anggaran Ditjen EBTKE terlalu kecil jadi pertanyaan, sebenarnya serius tidak pemerintah lakukan transisi energi?” kata Bhima kepada KabarBursa.com, Minggu, 15 September 2024.
Bhima menegaskan, alokasi anggaran Dirjen EBTKE penting untuk mendorong pengembangan EBT berbasis komunitas di seluruh wilayah Indonesia. Untuk mendukung hal tersebut, dia menilai perlu biaya untuk mendorong infrastruktur, teknologi, hingga pelatihan teknisi.
Bhima menilai, sektor dengan produksi rendah mestinya tidak diberi anggaran besar, sebagaimana alokasi Dirjen Migas. Baiknya, anggaran sektor Migas dipangkas untuk memacu pengembangan EBT.
“Sekarang lifting minyak kan terus turun bahkan cuma dapat 580 ribu barrel per hari. Sektor yang sedang turun jangan dikasih anggaran terlalu banyak, kecuali soal pengawasan. Sementara sektor ebt butuh komitmen anggaran lebih besar,” jelasnya.
Bhima khawatir, minimnya anggaran EBTKE akan mempengaruhi minat investor. Alokasi anggaran yang minim, kata dia, seolah menandakan ketidakberpihakan pemerintah terhadap transisi energi.
“Khawatir anggaran Ditjen EBTKE yang terlalu kecil buat investor ragu masuk ke sektor EBT. Mereka akan kalkulasi ulang soal komitmen pemerintah. Ibaratnya investor disuruh masuk ke EBT, tapi pemerintah sendiri nggak punya keberpihakan dari sisi APBN,” katanya.
Akselerasi Butuh Investasi
Kementerian ESDM sebelumnya mencatat realisasi bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 13,93 persen per semester pertama tahun 2024 dari target 19,5 persen listrik dari EBT.
Sementara untuk mendorong realisasi bauran energi EBT sesuai target 2024 sebesar 23 persen, Kementerian ESDM mengakui butuh komitmen investasi dan pembangunan infrastruktur.
“Investasi salah satu yang terpenting yang belum tercapai, lalu komitmen untuk menjalankan investasi tersebut, juga infrastruktur yang saat ini kita dorong. Saat ini kita ingin adanya capaian yang lebih jelas lagi,” kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi, dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 9 September 2024.
Adapun realisasi investasi subsektor EBTKE hingga semester I 2024 sebesar USD580 juta atau 46,8 persen dari target 2024 sebesar USD1,23 miliar. Eniya mengungkapkan masih dibutuhkan USD14,02 miliar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan 8.224,1 Megawatt (MW).
“Sampai tahun 2025 masih perlu 8.224,1 MW atau 8,2 Gigawatt (GW). Di mana ini investasi yang diperlukan adalah USD14 miliar. Terdiri dari berbagai macam jenis EBT, ada biomasa, biogas, sampah, geothermal, air, hidro, baterai, dan seterusnya. Nah, ini yang diperlukan,” kata Eniya.(*)