KABARBRSA.COM — Kasus PT Dana Syariah Indonesia (DSI) yang membuat ribuan lender tidak dapat mencairkan dana dinilai bukan sekadar persoalan teknis pembiayaan, melainkan masalah mendasar pada tata kelola.
Berdasarkan data paguyuban lender, sekitar 4.200 pemberi dana terdampak dengan total dana tertahan yang diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, Irfan Syauqi Beik, menilai akar persoalan DSI lebih mengarah pada penipuan yang bersifat sistemik.
“Sebenarnya problem DSI lebih pada systemic fraud. Jadi bukan persoalan akad,” ujarnya kepada KabarBursa.com, Selasa 16 Desember 2025.
Menurut Irfan, penyalahgunaan dana yang tidak sesuai dengan akad telah merusak mekanisme distribusi risiko dan imbal hasil dalam pembiayaan syariah.
Ia menjelaskan, dalam perspektif ekonomi syariah, pembagian risiko sangat bergantung pada jenis akad yang digunakan. Pada akad mudharabah, risiko bisnis berada pada pengelola, sementara kerugian finansial ditanggung pemilik dana. Dalam konteks fintech lending, pada sisi pendanaan risiko bisnis ada pada perusahaan, sedangkan risiko kerugian finansial berada di investor.
Sebaliknya, pada sisi pembiayaan, risiko finansial berada di perusahaan dan risiko bisnis pada nasabah pembiayaan. Karena itu, menurut Irfan, perusahaan seperti DSI semestinya memperkuat tata kelola untuk memitigasi risiko yang melekat pada masing-masing akad.
“Berbeda akad, berbeda pula manajemen resikonya. Tapi, apabila ada fraud atau unsur-unsur haram lain seperti tadlis (penipuan) atau gharar, maka akan rusak mekanisme akad dan pengelolaan resikonya,” terangnya.
Irfan juga menilai kegagalan DSI mencerminkan tidak diterapkannya prinsip ekonomi syariah secara utuh.
“Ya kegagalan penerapan prinsip ekonomi syariah. Dan ini lebih pada by design. Makanya saya sebut systemic fraud,” katanya.
Ia menambahkan, terdapat mekanisme yang tidak dijalankan dengan baik serta pelanggaran syariah yang dilakukan secara sengaja. Meski setiap model bisnis keuangan, termasuk P2P lending syariah, memiliki kelemahan, menurutnya peran pengendalian internal perusahaan dan pengawasan otoritas menjadi faktor kunci untuk mencegah penyimpangan.
Segmentasi Produk Sesuai Tenor Investasi
Selain itu, Irfan menyoroti persoalan mismatch antara jangka waktu pendanaan dan proyek pembiayaan sebagai masalah struktural di industri P2P lending syariah. Ia menyarankan adanya segmentasi produk yang menyesuaikan tenor investasi dengan durasi proyek.
“Solusinya adalah, menurut saya, harus dibuat segmentasi produk dimana ada penyelerasan antara jangka waktu dana investasi dengan proyek yg dibiayai,” ujarnya.
Dengan skema tersebut, investor diharapkan memahami bahwa pilihan produk juga menentukan waktu dan potensi imbal hasil, bukan semata-mata tergiur return.
Aspek transparansi juga menjadi perhatian utama. Irfan menegaskan bahwa keterbukaan informasi merupakan kunci yang harus dijaga oleh perusahaan P2P syariah.
“Transparansi sangat penting. Kuncinya di perusahaan P2P syariah,” katanya.
Ia berharap Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat memperketat pengawasan agar kasus serupa tidak terulang.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi publik agar masyarakat memahami perbedaan antara investasi di P2P syariah dan menabung di bank syariah, termasuk risiko bahwa dana investasi tidak dijamin oleh LPS.
Lebih jauh, Irfan mengingatkan bahwa kasus DSI berpotensi menekan kepercayaan masyarakat terhadap industri P2P syariah ke depan.
“Implikasinya akan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat di masa depan,” ujarnya.
Karena itu, ia mendorong langkah mitigasi yang tegas, termasuk penegakan hukum terhadap pelaku fraud dan peningkatan tata kelola di seluruh perusahaan P2P syariah agar pelanggaran prinsip syariah dapat dicegah sejak dini.(*)