Logo
>

Bank Tertua di Inggris Raup Rp10,8 Triliun dari Pembiayaan Hijau, Perluas Strategi Transisi Iklim hingga 2030

Barclays catat pendapatan Rp10,8 triliun dari pembiayaan transisi energi dan targetkan penyaluran USD1 triliun hingga 2030.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Bank Tertua di Inggris Raup Rp10,8 Triliun dari Pembiayaan Hijau, Perluas Strategi Transisi Iklim hingga 2030
Barclays berkomitmen pendanaan hijau meski hadapi tekanan politik. Mereka menargetkan pembiayaan transisi iklim global hingga USD1 triliun. Foto: Dok. Barclays.

KABARBURSA.COM – Salah satu bank tertua di Inggris, Barclays, mencatat pendapatan sebesar 500 juta poundsterling atau setara USD666,20 juta (sekitar Rp10,8 triliun dengan kurs Rp16.300) dari aktivitas pembiayaan berkelanjutan dan transisi rendah karbon sepanjang 2024. Pencapaian itu menjadi bagian dari komitmennya dalam mendukung transformasi iklim global melalui strategi jangka panjang hingga 2030.

Dalam pembaruan strategi transisi iklim besar pertama sejak 2020, Daniel Hanna—kepala unit pembiayaan berkelanjutan dan transisi Barclays—mengatakan bank tetap pada jalurnya untuk mencapai target emisi nol bersih pada pertengahan abad. Komitmen ini tetap dipertahankan meski menghadapi tekanan politik di Amerika Serikat yang cenderung skeptis terhadap inisiatif iklim.

Namun, Hanna juga mengakui bahwa percepatan perubahan di ekonomi riil tengah diuji oleh berbagai hambatan. Di antaranya adalah kebijakan iklim yang tak seragam di berbagai negara, ketergantungan tinggi pada energi fosil, dan kurangnya insentif di sektor-sektor strategis.

"Ini bukan semata karena klien kami menganggapnya penting, tapi juga karena kami melihat peluang bisnis nyata yang dapat kami tangkap untuk para pemegang saham. Sekaligus ini juga adalah risiko yang perlu kami kelola," kata Hanna, dikutip dari Reuters, Rabu, 30 Juli 2025.

Ia menambahkan, pinjaman kepada klien yang menggunakan produk berkelanjutan justru memberikan margin keuntungan lebih tinggi dibanding produk konvensional. Dalam laporan keuangannya, Barclays mencatatkan kenaikan laba sebesar 23 persen pada paruh pertama 2024, melebihi ekspektasi analis, didorong oleh unit perbankan investasinya.

Secara keseluruhan, Barclays menargetkan penyaluran pembiayaan hijau dan transisi senilai USD1 triliun (sekitar Rp16.300 triliun) hingga 2030. Sejak 2020, bank ini telah memfasilitasi lebih dari USD250 miliar dalam bentuk pembiayaan keberlanjutan. Selain itu, Barclays telah menanamkan modal ekuitas senilai 239 juta poundsterling ke teknologi iklim tahap awal—sektor yang dianggap krusial untuk mencapai target iklim global.

“Ada peluang besar untuk memperluas skala teknologi iklim,” ujar Hanna. “Sektor ini membuka area pertumbuhan baru, menciptakan lapangan kerja, tapi juga membawa tantangan kompleks.”

Ke depan, Barclays akan memperluas cakupan kerangka kerja transisi iklimnya ke perusahaan-perusahaan tercatat di sektor properti komersial dan pertambangan. Bank juga akan mulai mengintegrasikan faktor-faktor alam dan sosial yang lebih luas ke dalam penilaian keberlanjutan kliennya.

Kerangka transisi ini dirancang untuk memahami bagaimana rencana klien dalam menurunkan emisi karbon mereka. Barclays menggunakan pendekatan ini sebagai alat keterlibatan strategis, panduan mitigasi risiko, dan sekaligus instrumen identifikasi peluang bisnis.

“Ini bukan cuma alat interaksi, tapi juga cara untuk membaca arah portofolio kami ke depan,” ucap Hanna. “Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman kami terhadap proses transisi iklim telah berkembang pesat.”

Bagaimana Keadaan Pembiayaan Berkelanjutan di Indonesia?

Di tengah gempuran tekanan iklim global dan tren pendanaan hijau di tingkat internasional, Indonesia perlahan membangun pijakan strategis di sektor pembiayaan berkelanjutan. Kerangka regulasi, dukungan institusional, hingga inisiatif dari sektor perbankan nasional menunjukkan transisi menuju ekonomi rendah karbon bukan lagi wacana. Namun di balik geliat itu, tantangan struktural tetap membayangi.

Langkah penting datang dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang sejak awal 2025 meluncurkan versi kedua Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Panduan ini menjadi kompas bagi sektor jasa keuangan dalam mengklasifikasikan aktivitas ekonomi berdasarkan dampaknya terhadap iklim dengan tiga kategori, yakni green, transitional, dan red.

Taksonomi ini diperkuat dengan pedoman manajemen risiko iklim dan analisis skenario atau Climate Risk Management & Scenario Analysis (CRMS) yang mendorong lembaga keuangan memasukkan aspek perubahan iklim ke dalam manajemen risiko bisnis mereka. Upaya ini menempatkan OJK sebagai regulator yang tidak sekadar responsif terhadap arus ESG global, tetapi juga proaktif dalam membentuk arsitektur keuangan yang lebih hijau.

Sementara itu, tren pembiayaan hijau di sektor perbankan nasional menunjukkan grafik menanjak. Bank-bank di Indonesia mulai mengintegrasikan prinsip ESG dalam lini bisnis mereka, baik melalui produk kredit maupun strategi jangka panjang menuju Net Zero Emission 2060.

Bank Syariah Indonesia (BSI) menjadi contoh konkret. Hingga kuartal I 2025, bank ini mencatat penyaluran pembiayaan hijau sebesar Rp14,6 triliun, dari total portofolio keuangan berkelanjutan senilai Rp72,6 triliun. Tak hanya itu, BSI juga aktif menerbitkan sukuk ESG senilai Rp5 triliun pada tahap kedua tahun ini, melanjutkan kesuksesan penerbitan pertama senilai Rp3 triliun.

“Kami ingin menjadi bank syariah global terbaik dalam implementasi keuangan berkelanjutan. Tidak hanya sebagai penyedia pembiayaan, tapi juga sebagai katalis perubahan menuju ekonomi rendah karbon,” kata Wakil Direktur Utama BSI, Bob Tyasika Ananta, dalam dalam diskusi Optimizing Green Investment to Achieve Indonesia’s Demographic Bonus pada ajang Green Impact Festival 2025 di Djakarta Theater XXI, Kamis, 24 Juli 2025, lalu, dikutip dari laman bankbsi.co.id.

Sementara laporan WWF Indonesia menunjukkan bahwa 75 persen dari 11 bank besar nasional sudah mengakui risiko iklim sebagai isu strategis. Lebih dari setengahnya bahkan telah mulai menerapkan kebijakan keuangan berkelanjutan secara bertahap.

Di sisi lain, Indonesia juga mencatat sejarah sebagai penerbit pertama sukuk hijau negara (green sukuk) di dunia pada 2018. Dana sebesar USD1,25 miliar dari instrumen ini digunakan untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan, seperti pembangkit panas bumi Sarulla di Sumatra Utara, yang mampu menghindari emisi karbon hingga 1,3 juta ton per tahun.

Lembaga keuangan internasional seperti International Finance Corporation (IFC) turut ambil bagian dalam proses ini. IFC mencatat telah menyalurkan pinjaman sustainability-linked loan pertama di Indonesia senilai USD53 juta untuk mendukung PT Nirvana Wastu Pratama (NWP) dalam mendekarbonisasi portofolio properti retail-nya. Targetnya cukup ambisius, yakni pengurangan emisi hingga 42 persen pada 2030 dan sertifikasi bangunan hijau EDGE Advanced.

Sinergi Lembaga Negara

Komitmen negara terhadap pembiayaan hijau diperkuat lewat sinergi antara OJK dan Bank Indonesia (BI). Salah satu insentif konkret yang diberikan adalah alokasi kebijakan makroprudensial hingga Rp50 triliun untuk mendukung pembelian green bonds serta penguatan rasio inklusi keuangan berbasis ESG.

Tak hanya itu, sejak 2020, OJK menjadi anggota Network for Greening the Financial System (NGFS), yakni jaringan regulator dan bank sentral dunia yang fokus pada transformasi sistem keuangan berbasis risiko iklim. Langkah ini menegaskan posisi Indonesia dalam lanskap kebijakan iklim global.

Meski geliatnya terasa, pasar pembiayaan hijau di Indonesia belum lepas dari kendala. Ketergantungan terhadap energi fosil yang disubsidi, dominasi PLN sebagai satu-satunya pembeli listrik, dan ketidakpastian pasar membuat perbankan enggan mengambil risiko pembiayaan proyek jangka panjang. Akibatnya, banyak proyek energi terbarukan belum bankable di mata pelaku pasar.

Kendala lainnya datang dari sisi transparansi. Audit independen terhadap proyek yang didanai green sukuk menunjukkan bahwa sekitar 30 persen di antaranya gagal memenuhi target penurunan emisi yang dijanjikan. Isu akuntabilitas dan pelaporan dampak menjadi pekerjaan rumah besar jika ingin pembiayaan berkelanjutan tumbuh sehat dan kredibel.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).