Logo
>

China Pecahkan Rekor Pembangunan Energi Angin dan Surya di 2024

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
China Pecahkan Rekor Pembangunan Energi Angin dan Surya di 2024

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - China gila-gilaan dalam membangun energi terbarukan sepanjang tahun lalu. Negeri Tirai Bambu itu memasang lebih banyak pembangkit listrik tenaga angin dan surya dibanding sebelumnya. Mereka meninggalkan negara lain jauh di belakang.

    Berdasarkan data dari Administrasi Energi Nasional China, pada 2024 mereka menambah 357 gigawatt kapasitas pembangkit listrik dari tenaga surya dan angin—masing-masing meningkat 45 persen dan 18 persen dibanding tahun sebelumnya. Itu setara dengan membangun 357 reaktor nuklir ukuran penuh dalam waktu setahun.

    Hasilnya, China sukses mencapai target 1.200 gigawatt kapasitas energi terbarukan enam tahun lebih cepat dari tenggat yang ditetapkan Presiden Xi Jinping pada 2019.

    Yang bikin menarik, meski terus menggila dalam pembangunan energi bersih, China masih menjadi penyumbang emisi terbesar di dunia. Ini karena mereka masih bergantung pada batu bara untuk listrik, produksi semen, dan manufaktur.

    Daniel Jasper, penasihat kebijakan senior di Project Drawdown, mengakui meskipun emisi China masih yang terbesar, mereka sudah menyadari pentingnya mempercepat transisi energi demi keamanan energi dan iklim. "Dengan perubahan pemerintahan di Washington, China sekarang berada di posisi yang sangat baik untuk memimpin dunia dalam transisi energi," ujarnya, dikutip dari AP di Jakarta, Jumat, 31 Januari 2025.

    Data dari Carbon Brief menunjukkan emisi karbon dioksida China sebenarnya mulai menurun sedikit dalam sepuluh bulan terakhir 2024 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Apakah ini tanda titik balik penting bagi planet ini? Masih terlalu dini untuk disimpulkan.

    AS Ketinggalan Start dan Dihambat Trump

    Bukan cuma China yang menambah kapasitas energi terbarukan, AS juga mencatat peningkatan signifikan pada 2024. Sayangnya, menurut data awal dari American Clean Power Association, jumlahnya masih jauh lebih kecil dibanding China, yakni hanya 268 gigawatt kapasitas tenaga angin dan surya.

    Tapi perbedaan utama bukan cuma di jumlah. China bukan hanya pemakai energi bersih, tetapi juga pemasok utama peralatan energi terbarukan dunia. Menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA), mereka mendominasi pasar baterai, panel surya, turbin angin, hingga elektroliser yang digunakan untuk produksi hidrogen.

    Produksi massal China ini bikin harga energi bersih jadi lebih murah, bahkan lebih kompetitif dibanding bahan bakar fosil di sebagian besar wilayah. Minggu ini, DeepSeek—perusahaan AI asal China—bahkan memicu optimisme baru. Ada harapan bahwa mereka bisa menemukan cara inovatif dalam penggunaan energi yang lebih hemat.

    Sementara itu, di AS, industri energi terbarukan justru menghadapi hambatan besar dari kebijakan Presiden Donald Trump. Sejak kembali menjabat, Trump langsung menerbitkan perintah eksekutif yang menghentikan sementara izin proyek energi angin, memberi lampu hijau untuk eksplorasi minyak dan gas di Alaska, serta mendeklarasikan darurat energi nasional.

    Meredam Gurun Pasir dan Perubahan Iklim

    China tak hanya membangun pembangkit tenaga surya dalam skala besar sebagai bagian dari rencana energi terbarukannya, tetapi juga memanfaatkannya untuk melawan penggurunan yang makin parah akibat perubahan iklim.

    Dilansir dari Reccessary, selama lebih dari empat dekade, Beijing menjalankan program penghijauan Three-North Shelterbelt untuk menahan pergerakan pasir dan mencegah badai debu. Dalam dua tahun terakhir, proyek ini semakin berkembang berkat pembangunan pembangkit tenaga surya berskala besar di wilayah kering seperti Xinjiang dan Mongolia Dalam.

    Menurut Dr. He Jijiang dari Universitas Tsinghua, pemasangan panel surya di gurun tak hanya menghasilkan listrik, tetapi juga membantu menstabilkan bukit pasir agar tidak terus bergerak. Selain itu, investasi perusahaan energi turut mendukung upaya lokal dalam mengendalikan pasir—sesuatu yang sebelumnya terkendala keterbatasan dana.

    China adalah salah satu negara yang paling terdampak oleh penggurunan, di mana lahan kering yang rusak menjadi kurang produktif. Menurut laporan Kepala Administrasi Kehutanan dan Padang Rumput Nasional China, Guan Zhi’ou, dalam konferensi COP16 di Riyadh, hampir 18 persen daratan China—sekitar tujuh kali luas Inggris—mengalami degradasi.

    Upaya China dalam mengatasi penggurunan berkaitan erat dengan aksi iklim global. Tanah merupakan penyerap karbon alami terbesar kedua setelah lautan. Namun, ketika lahan mengalami degradasi, kemampuannya menyerap karbon berkurang dan justru bisa melepaskan karbon ke atmosfer.

    Sebaliknya, perubahan iklim juga mempercepat degradasi lahan dan China menjadi salah satu negara yang paling terdampak. Laporan ilmiah PBB dalam COP16 menyebut dalam tiga dekade terakhir, wilayah kering di China mengalami perluasan terbesar dibanding negara lain.

    Sejak program Three-North Shelterbelt diluncurkan pada 1978, China telah menerapkan berbagai strategi untuk melawan penggurunan, mulai dari menanam vegetasi penahan pasir hingga menyusun jerami berbentuk papan catur di atas tanah untuk mencegah gurun meluas. Strategi ini telah melindungi sekitar 360.000 kilometer persegi lahan dari penggurunan dan merehabilitasi 79.000 kilometer persegi di antaranya.

    Dulu, orang China membangun Tembok Besar untuk melindungi diri dari ancaman luar. Kini, Beijing berambisi membangun Tembok Besar Hijau. Melalui program ini, China menargetkan penanaman 350.000 kilometer persegi hutan di wilayah utara hingga tahun 2050 untuk meredam badai debu, menstabilkan tanah, dan meningkatkan kesuburan lahan.

    Penelitian dari Akademi Ilmu Pengetahuan China menunjukkan antara tahun 1980 hingga 2015, program Three-North Shelterbelt mampu menyerap rata-rata 213 juta ton karbon dioksida per tahun. Artinya, program ini bukan hanya menyelamatkan lahan dari penggurunan, tetapi juga berkontribusi dalam mengurangi emisi karbon secara global.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).