KABARBURSA.COM - Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia terus mendorong hilirisasi industri biofuel melalui kebijakan mandatori biodiesel B40. Kebijakan yang resmi berlaku sejak 1 Januari 2025 ini mengharuskan 40 persen campuran biodiesel dalam bahan bakar solar. Meski tampak ambisius, pelaksanaannya belum sepenuhnya mulus di lapangan. Keputusan Menteri ESDM Nomor 341.K/EK.01/MEM.E/2024 sudah mengatur teknis pelaksanaannya, tetapi detail implementasi masih menyisakan tanda tanya besar bagi pelaku industri dan penyalur bahan bakar.
Kilang Pertamina Internasional (KPI), sebagai Subholding Refining & Petrochemical Pertamina, memegang peran penting dalam eksekusi program ini. Direktur Utama KPI, Taufik Aditiyawarman, mengatakan kesiapan dua kilang andalan mereka untuk memproduksi bahan bakar mentah ini, yakni, Kilang Plaju di Sumatera Selatan dan Kilang Kasim di Papua Barat Daya.
Kilang-kilang ini dirancang khusus untuk menopang produksi skala besar biodiesel B40. Targetnya pun terbilang fantastis, masing-masing per bulan mencapai 119.240 kiloliter dan 15.898 kiloliter. Sebagai realisasi awal, penyaluran perdana biosolar B40 dilakukan pada Januari 2025 dengan distribusi sebesar 5.000 kiloliter dari Kilang Plaju dan 4.600 kiloliter dari Kilang Kasim.
[caption id="attachment_113050" align="alignnone" width="2048"] Menara-menara produksi Kilang Pertamina Internasional. Foto: FB KPI.[/caption]
Pertamina juga tak main-main dalam menjaga keberlanjutan program ini. Proses pencampuran bahan bakar dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga agar distribusi lebih merata dan efisien. Selain itu, keberadaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagai pemberi pendanaan menjadi elemen vital untuk memastikan harga tetap kompetitif di pasar domestik.
Program Ambisius, Tantangan Realistis
Penerapan B40 digadang-gadang sebagai kunci swasembada energi dan perwujudan komitmen Net Zero Emission pada 2060. Wakil Menteri ESDM, Yuliot, bahkan menyebut pelaksanaan B40 adalah langkah besar menuju pengurangan ketergantungan pada energi fosil impor.
Namun, target tersebut bukan tanpa tantangan. Kondisi geografis Indonesia yang begitu beragam dinilai menjadi hambatan serius dalam implementasi B40. Selain soal jarak, infrastruktur yang belum merata di beberapa wilayah juga menjadi kendala. Yuliot mengatakan pemerintah mencoba mengatasi hal itu dengan melibatkan berbagai badan usaha dan pelaku industri untuk memberikan masukan perihal strategi distribusi yang efektif dan efisien.
Salah satunya adalah Patra Niaga. Anak perusahaan Pertamina ini berfokus pada pengelolaan bisnis hilir minyak dan gas ke seluruh wilayah Indonesia sampai ke daerah terpencil. Pengalaman Patra Niaga dinilai mampu memberi solusi agar distribusi B40 merata sesuai target pemerintah.
“Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40,” kata Yuliot, dikutip dari laman Kementerian ESDM, Selasa 14 Januari 2025.
[caption id="attachment_109967" align="alignnone" width="1580"] Realisasi biodiesel di Indonesia dari tahun 2021 hingga Agustus 2024.[/caption]
Selain persoalan geografis, optimisme program B40 ini juga dihadapkan pada realitas industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan, mengatakan anggotanya belum dapat menandatangani kontrak distribusi biodiesel tanpa keputusan dari pemerintah.
Sementara itu, Kepala Riset Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, Anilkumar Bagani, menilai sentimen pasar masih terombang-ambing melihat program B40. Belum lagi, harga minyak sawit dunia, yang sempat melonjak 20 persen sepanjang 2024, kembali fluktuatif pada awal tahun ini. Pada 2 Januari 2025, misalnya, kontrak minyak sawit di Bursa Berjangka Malaysia turun 2,5 persen menjadi 4.336 ringgit per ton setelah sebelumnya sempat naik 1,8 persen.
“Masih ada hambatan bagi sentimen bullish karena pelaku pasar belum yakin dengan keberhasilan kebijakan biodiesel B40 Indonesia,” kata Bagani, dikutip dari Reuters.
Dampak Ekonomi
Dari perspektif ekonomi, program B40 diproyeksikan menghemat devisa hingga Rp147,5 triliun dibandingkan B35 yang hanya menghemat Rp122,98 triliun. Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, menyebut penghematan tersebut dihasilkan dari penurunan impor solar. “Terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar,” kata Eniya, dikutip dari laman esdm.go.id.
Tidak hanya berdampak ekonomi, B40 juga menciptakan efek ganda (multiplier effect). Berdasarkan data Kementerian ESDM, program ini membuka 1,95 juta lapangan kerja di sektor on-farm dan lebih dari 14 ribu lapangan kerja di sektor off-farm. Di sisi lingkungan, kebijakan ini mampu menekan emisi gas rumah kaca hingga 41,46 juta ton CO2e per tahun.
Namun, upaya mewujudkan ketahanan energi nasional ini membutuhkan komitmen besar, baik dari sisi pemerintah maupun pelaku industri. Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Aryo Djojohadikusumo, mengatakan program B40 sejalan dengan agenda pemerintahan Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen. Meski menekankan pentingnya subsidi dan insentif agar harga biosolar tetap terjangkau. “Harga bahan bakar berbasis biodiesel harus kompetitif di pasaran. Subsidi harga atau skema insentif lain perlu dipertimbangkan untuk mendorong daya beli masyarakat,” kata Aryo.
Emiten dengan potensi Dampak Terbesar
[caption id="attachment_113149" align="alignnone" width="1200"] Pabrik Minyak Goreng PT Jhonlin Agro Raya Tbk di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Foto: Antara/Istimewa.[/caption]
Program B40 membawa peluang besar bagi emiten-emiten sawit yang fokus pada hilirisasi biofuel. Pengamat pasar modal sekaligus founder Mikirduit.com, Surya Rianto, mengatakan program B40 mampu mendorong kinerja emiten CPO, terutama bagi mereka yang sudah terjun ke hilirisasi biodiesel. "Dampak dari B40 ini pastinya bisa meningkatkan permintaan untuk emiten CPO yang sudah produksi biodiesel karena porsi kandungan nabati seperti CPO-nya meningkat," kata Surya kepada KabarBursa.com.
Surya mengatakan faktor harga jual komoditas akan menentukan seberapa besar manfaat program B40 bagi emiten. Artinya, meskipun demand naik, keuntungan baru terasa signifikan jika harga jualnya stabil dan menguntungkan. Surya mencatat harga acuan biodiesel per Desember 2024 mengalami kenaikan menjadi Rp14.389 per liter. "Jika si produsen biodiesel punya cost di bawah itu, marginnya bakal lebih oke. Sebaliknya, kalau harga acuan turun dan produsen punya cost di atas, marginnya jadi kurang bagus," jelasnya.
Dari sejumlah emiten, Surya menyebutkan bahwa PT Sinar Mas Argo Resource and Technology (SMAR), PT Jhonlin Arga Raya Tbk (JARR), dan PT Tunas Baru Lampung (TBLA) memiliki eksposur yang signifikan terhadap biodiesel. "Tapi, efek yang lebih terasa bakal di JARR karena porsi biodieselnya cukup besar (mayoritas sumber revenue-nya dari biodiesel), sedangkan TBLA porsi biodiesel cuma sekitar 26 persen," jelasnya mengacu pada data full year.
Tantangan juga ada dari risiko teknis, terutama dari sisi likuiditas dan fluktuasi saham emiten tertentu. "Kalau lihat SMAR dan JARR, mungkin yang perlu diwaspadai dari sisi teknis sahamnya seperti likuiditas dan fluktuasi yang cukup tinggi," katanya.
Selain itu, Surya juga menyoroti perubahan harga rata-rata jual biodiesel setiap bulan menjadi faktor yang harus diawasi. Jika mengalami penurunan, kata dia, risikonya akan langsung terasa pada bisnis perusahaan. “Terutama kalo cost produksi pas beli di harga atas," ujarnya.
Surya menjelaskan sejumlah emiten CPO cenderung lebih memilih mengekspor produknya daripada meningkatkan produksi biodiesel. Pilihan ini didasarkan pada upaya mencari pembeli dengan harga yang lebih menguntungkan. Jadi, perhatikan harga biodiesel bulanan dan wajib update perkembangan kinerja per kuartal saja karena (CPO) sifatnya siklikal banget," katanya.
Kinerja Fundamental SMAR, JARR, dan TBLA
[caption id="attachment_113151" align="alignnone" width="800"] Pabrik pengolahan minyak sawit milik PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) di Marunda. Foto: paramita.co.id.[/caption]
1. SMAR
PT Sinar Mas Argo Resource and Technology Tbk (SMAR) mencatatkan kinerja keuangan yang fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir dengan perolehan laba bersih, pendapatan per saham (EPS), dan pendapatan usaha yang terus mencerminkan dinamika pasar minyak sawit.
Berdasarkan data Stockbit, pada kuartal ketiga 2024, SMAR membukukan laba bersih sebesar Rp613 miliar, meningkat signifikan dibandingkan Rp238 miliar pada periode yang sama di 2023. Tapi capaian tersebut jauh menurun dibanding pada periode yang sama tahun 2022, di mana laba bersihnya mencapai Rp1,66 triliun. Meski terlihat penurunan dibandingkan periode puncak 2022, kinerja kuartalan 2024 menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan 157,73 persen dibandingkan kuartal ketiga tahun sebelumnya.
Kinerja tahunan (annualised) menunjukkan laba bersih SMAR di 2024 sebesar Rp1,38 triliun, naik dari Rp918 miliar pada 2023. Angka ini masih jauh dari capaian tertinggi di 2022 yang menembus Rp5,5 triliun.
Dari sisi pendapatan, SMAR mencatatkan pertumbuhan tahunan positif. Hingga kuartal ketiga 2024, pendapatan tercatat mengalami pertumbuhan 25,23 persen dibandingkan periode yang sama di 2023. Meskipun begitu, margin keuntungan kotor justru sedikit menurun sebesar 0,70 persen dibandingkan tahun lalu. Namun, margin laba bersih meningkat menjadi 3 persen yang mengindikasikan efisiensi operasional perusahaan.
Dividen tunai menjadi perhatian investor dengan payout ratio sebesar 41,58 persen dan dividend yield 5,43 persen. Pembayaran dividen terakhir dilakukan pada November 2024 dengan besaran Rp105 per saham, sedangkan total dividen dalam setahun terakhir mencapai Rp200 per saham.
Rasio utang terhadap ekuitas perusahaan sebesar 0,84 dan total kewajiban terhadap ekuitas di angka 1,11 yang mengindikasikan proporsi pendanaan melalui utang yang masih dalam batas aman. Sementara itu, rasio total utang terhadap total aset berada di 0,40 dengan leverage keuangan mencapai 2,11 kali. Dari sisi efektivitas pembayaran bunga, interest coverage ratio berada di 1,26 yang berarti kemampuan perusahaan untuk membayar bunga pinjaman masih cukup tetapi perlu diwaspadai bila beban utang meningkat.
Meski mencatatkan laba bersih yang positif, arus kas bebas (free cash flow) SMAR pada kuartal ketiga 2024 mencatat angka negatif Rp790 miliar. Hal ini dapat mengindikasikan adanya pengeluaran besar, baik untuk investasi maupun modal kerja.
Tingkat pengembalian aset (ROA) tercatat sebesar 3,43 persen dan pengembalian ekuitas (ROE) di 7,23 persen. Sementara itu, pengembalian modal yang digunakan (ROCE) berada di angka 4,74 persen. Hingga akhir September 2024, kapitalisasi pasar SMAR mencapai Rp10,57 triliun dengan enterprise value Rp26,41 triliun. Jumlah saham beredar saat ini adalah 2,87 miliar lembar.
2. JARR
PT Jaya Agro Resources (JARR) mencatatkan dinamika kinerja keuangan yang cukup bervariasi sepanjang 2024. Pada kuartal ketiga 2024, JARR membukukan laba bersih sebesar Rp67 miliar, meningkat dibandingkan Rp26 miliar pada periode yang sama di 2023. Sementara pada kuartal ketiga 2022, JARR mencatat kerugian sebesar Rp108 miliar. Secara tahunan (annualised), laba bersih di 2024 diproyeksikan mencapai Rp207 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan Rp77 miliar pada 2023 dan Rp42 miliar di 2022.
Hingga 30 September 2024, kapitalisasi pasar JARR tercatat sebesar Rp2,99 triliun dengan nilai perusahaan (enterprise value) mencapai Rp4,72 triliun. Rasio price to earnings (PE) berdasarkan laba tahunan berada di angka 14,44 kali, sementara PE berdasarkan laba 12 bulan terakhir (TTM) tercatat sebesar 16,17 kali. Adapun sepanjang 2024, JARR belum membagikan dividen.
Dari sisi solvabilitas, JARR mencatat rasio lancar sebesar 5,21 yang menunjukkan kemampuan untuk menutup kewajiban jangka pendek lima kali lipat dari total kewajibannya. Rasio cepat tercatat di angka 4,06, di mana ini mengindikasikan ketersediaan aset likuid yang cukup kuat.
Proporsi utang terhadap ekuitas cukup tinggi dengan rasio utang terhadap ekuitas di angka 1,17 dan total kewajiban terhadap ekuitas sebesar 1,29. Rasio total utang terhadap aset mencapai 0,51, menandakan hampir separuh aset perusahaan berasal dari pendanaan utang. Meskipun demikian, rasio cakupan bunga (interest coverage ratio) yang berada di angka 5,83 menunjukkan bahwa JARR masih mampu membayar beban bunga dari laba operasional.
Arus kas bebas (free cash flow) pada kuartal ketiga 2024 berada di angka negatif Rp66 miliar. Sementara itu, Altman Z-Score yang berada di angka 3,85 menunjukkan bahwa JARR masih berada di zona aman dan jauh dari risiko kebangkrutan. Lalu dari sisi pengelolaan modal, return on assets (ROA) tercatat sebesar 3,43 persen, sementara return on equity (ROE) berada di 7,23 persen. Pengembalian modal yang digunakan (ROCE) mencapai 4,74 persen.
Hingga 30 September 2024, kapitalisasi pasar JARR tercatat sebesar Rp2,99 triliun dengan nilai perusahaan (enterprise value) mencapai Rp4,72 triliun. Jumlah saham beredar saat ini adalah 9,23 miliar lembar.
3. TBLA
Pada kuartal ketiga 2024, PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) mencatatkan laba bersih sebesar Rp200 miliar, dua kali lipat dibandingkan Rp100 miliar pada periode yang sama di 2023. Sebelumnya, laba bersih pada kuartal ketiga 2022 tercatat sebesar Rp153 miliar. Secara tahunan (annualised), laba bersih pada 2024 diperkirakan mencapai Rp668 miliar, lebih tinggi dibandingkan Rp611 miliar pada 2023.
Pendapatan TBLA tumbuh sebesar 10,31 persen secara tahunan (YoY) pada kuartal ketiga 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, margin laba kotor justru menurun sebesar 19,15 persen. Meskipun demikian, margin laba operasional tercatat sebesar 7,60 persen dan margin laba bersih berada di angka 4,71 persen.
TBLA rutin membagikan dividen tunai dengan payout ratio mencapai 67,66 persen dan dividend yield sebesar 12,20 persen. Angka ini tergolong menarik bagi investor. Pembayaran dividen terakhir dilakukan pada November 2024 sebesar Rp35 per saham, sementara total dividen dalam setahun terakhir mencapai Rp75 per saham.
Dari sisi solvabilitas, rasio utang terhadap ekuitas cukup tinggi di angka 1,82 dan total kewajiban terhadap ekuitas mencapai 2,38. Ini menandakan proporsi utang yang signifikan dalam struktur modal. Rasio total utang terhadap aset berada di 0,54. Artinya, lebih dari separuh aset perusahaan dibiayai melalui utang. Meskipun begitu, interest coverage ratio sebesar 1,56 menunjukkan bahwa TBLA masih dapat membayar bunga pinjaman meskipun ruang manuver keuangannya cukup sempit.
Meski mencatatkan laba bersih positif, arus kas bebas (free cash flow) TBLA pada kuartal ketiga 2024 menunjukkan angka negatif sebesar Rp729 miliar. Altman Z-Score berada di angka 2,67 yang mengindikasikan tingkat risiko kebangkrutan yang perlu diwaspadai meskipun belum dalam kondisi kritis.
Dari sisi pengelolaan modal, return on assets (ROA) TBLA berada di 2,36 persen, sementara return on equity (ROE) mencapai 8,01 persen. Angka ini menunjukkan tingkat pengembalian modal yang relatif stabil namun masih memiliki ruang untuk perbaikan.
Per 30 September 2024, kapitalisasi pasar TBLA tercatat sebesar Rp3,71 triliun dengan enterprise value mencapai Rp16,17 triliun. Dengan jumlah saham beredar sebanyak 6,03 miliar lembar, rasio price to earnings (PE) berdasarkan laba tahunan berada di angka 5,55 kali, sementara PE berdasarkan laba 12 bulan terakhir (TTM) berada di angka 5,48 kali. Rasio EV/EBITDA tercatat sebesar 5,53 kali yang menunjukkan valuasi yang cukup kompetitif di pasar.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.