Logo
>

Disforia Investor Sektor Perbankan

Ditulis oleh KabarBursa.com
Disforia Investor Sektor Perbankan

Poin Penting :

    TAHUN lalu, investor di sektor perbankan bak mendapatkan angin segar meskipun era suku bunga tinggi telah dimulai di Indonesia. Pasalnya pada tahun 2023, sektor perbankan di Indonesia bahkan mampu mencatatkan peningkatan laba bersih hingga 20 persen secara tahunan di tengah era suku bunga tinggi. Namun, peningkatan laba bersih yang tinggi tersebut diperkirakan tidak akan terulang kembali dan dapat menjadi akhir dari euforia investor sektor perbankan di tahun ini.

    Hingga akhir Desember 2022 lalu, tingkat likuiditas sektor perbankan masih berada pada posisi yang likuid. Indikator loan to deposits ratio (LDR) yang mencerminkan perbandingan antara jumlah kredit yang disalurkan dengan total dana pihak ketiga (DPK) berada pada angka 78,6 persen.

    Kondisi likuiditas yang masih longgar tersebut membuat sektor perbankan memiliki alasan untuk tidak menaikan suku bunga DPKnya secara agresif selama tahun 2023. Karena, sektor perbankan masih memiliki ruang untuk menyalurkan lebih banyak kredit tanpa perlu menghimpun dana pihak ketiga (DPK) tambahan. Sehingga, hal ini menguntungkan sektor perbankan karena spread antara suku bunga kredit dan DPK masih terjaga.

    Dari sisi permintaan, penyaluran kredit sektor perbankan selama tahun 2023 masih mengalami tren pemulihan seiring dengan pertumbuhan aktivitas konsumsi dan investasi (PMTB) yang masing-masing tumbuh sebesar 4,82 persen dan 4,4 persen secara tahunan. Kredit konsumsi tercatat tumbuh 9,1 persen pada bulan Desember tahun 2023. Sedangkan pada periode yang sama, kredit investasi tumbuh sebesar 12,3 persen.

    Kombinasi antara spread yang masih terjaga dengan pemulihan pertumbuhan kredit tersebut akhirnya berdampak pada peningkatan net interest margin (NIM) sektor perbankan tahun 2023. NIM sektor perbankan pada tahun 2023 tercatat naik menjadi 4,81 persen, dari yang sebelumnya yaitu 4,71 persen di tahun 2022. Peningkatan NIM dan penyaluran kredit tersebut membuat sektor perbankan mampu untuk tetap mencatatkan peningkatan laba bersih hingga 20 persen secara tahunan, di tengah era suku bunga tinggi.

    Peningkatan profitabilitas tersebut kemudian direspon positif oleh market sehingga berdampak pada peningkatan harga saham di sektor perbankan. Sebagai contoh, pada KBMI IV, laba BMRI meningkat 33,74 persen secara tahunan di 2023, diikuti oleh BBCA sebesar 19,40 persen, BBRI sebesar 17,45 persen dan BBNI sebesar 14,18 persen. Dampaknya, saham BMRI mengalami peningkatan return sebesar 28,14 persen, BBCA 12,67 persen, BBRI sebesar 23,16 persen, dan BBNI sebesar 21,56 persen secara tahunan di akhir tahun 2023.

    Namun, tingginya pertumbuhan kredit selama tahun 2023, rupanya justru disertai dengan perlambatan pertumbuhan DPK. Selama tahun 2023, pertumbuhan DPK melambat menjadi hanya sebesar 3,73 persen. Hal ini telah membuat likuiditas sektor perbankan semakin mengetat. Hingga Februari 2024, LDR perbankan telah menyentuh angka 84,05 persen. Jika pengetatan likuiditas ini terus berlanjut ketika suku bunga kredit dan DPK tetap, maka tren peningkatan NIM perbankan dapat terhenti.

    Ketika ruang tumbuh NIM tertutup, maka peningkatan profitabilitas (laba bersih) perlu dicapai dengan peningkatan penyaluran nilai kredit. Untuk itu, perbankan perlu terlebih dahulu menarik lebih banyak DPK untuk melonggarkan likuiditasnya. Namun agar dapat memperoleh pertumbuhan DPK secara cepat, suku bunga DPK perlu ditingkatkan agar lebih menarik bagi nasabah.

    Di sisi lain, jika suku bunga DPK ditingkatkan sedangkan suku bunga kredit tetap, maka spread antara pendapatan bunga terhadap beban bunga akan semakin menipis. Sinyal penipisan spread tersebut telah terlihat pada bulan Januari 2024, dimana spread rata-rata pendapatan bunga (Rupiah) telah mencapai level terendah sejak 2 tahun terakhir, yaitu sekitar 3,95 persen. Hal ini disebabkan karena suku bunga rerata DPK rupiah yang terus melanjutkan tren kenaikan sejak tahun sebelumnya hingga menyentuh angka 5,36 persen pada Januari 2024. Belum lagi, suku bunga acuan yang diambil BI dalam agenda RDG periode 23-24 April 2024 naik 25 bps ke level 6,25 persen. Hal tersebut berpotensi membawa cost of fund berada pada level yang lebih tinggi jika BI-Rate tetap bertahan pada level 6,25 persen sepanjang tahun 2024. 

    Maka dari itu, perbankan mungkin akan mempertimbangkan untuk meningkatkan suku bunga dasar kredit untuk mempertahankan spread pendapatan bunganya. Namun, hal tersebut dapat mengurangi permintaan untuk kredit konsumen dan bisnis karena biaya bunga yang semakin tinggi akan memengaruhi kemampuan konsumen dan perusahaan untuk membayar pinjaman. Hal ini pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan portofolio kredit bank.

    Kondisi tersebut tentu menimbulkan dilemma bagi sektor perbankan. Karena peningkatan cost of fund yang lebih tinggi tidak dapat dihindari, sementara ruang untuk peningkatan suku bunga dasar kredit sangat diperlukan untuk menjaga spread pendapatan bunga tetap menguntungkan. Dilemma inilah yang akanmembuat top line dari sektor perbankan diprediksi akan terganggu.

    Apalagi Bank Indonesia telah memutuskan untuk menaikan BI-Rate ke level 6,25 persen pada bulan April lalu.  Meskipun transmisi suku bunga BI terhadap penyesuaian cost of fund dan suku bunga dasar kredit diperkirakan baru mulai terjadi pada semester II-2024, namun ini akan memperpanjang era dilemma bagi sektor perbankan di Indonesia. Sehingga, diperkirakan pertumbuhan Net Interest Income (NII) akan mulai terguncang saat memasuki semester II-2024.

    Proyeksi kinerja perbankan yang melambat hingga akhir tahun 2024 ini diprediksi akan menjadi akhir dari euforia investor sektor perbankan di Indonesia. Future earning growth sektor perbankan yang sedikit banyaknya akan terganggu oleh penyesuaian cost of fund tersebut akan menjadi highlight dari para investor. Sesuai dengan teori growth investing, investor akan berfokus pada proyeksi pertumbuhan bisnis. Sehingga ketika future earning growth menurun, maka return saham sektor perbankan diperkirakan juga akan menurun di tahun ini.

    Penulis:

    • Rivan Dwi Aghnitama - Researcher at CORE Indonesia
    • Khairunnisa Nadhifah Syahfiraputri - Research Associate at KB Valbury Sekuritas

     

    Disclaimer: Informasi yang terdapat dalam artikel ini. Kami tidak memberikan jaminan atas keakuratan, kelengkapan, atau keandalan informasi yang diberikan. Penggunaan informasi dari situs ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Kami tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau kerusakan yang timbul akibat penggunaan informasi ini

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi