Logo
>

Duit Sugar Daddy Global Lagi Seret, Gimana Nasib Dana Iklim Indonesia?

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Duit Sugar Daddy Global Lagi Seret, Gimana Nasib Dana Iklim Indonesia?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - PENDANAAN iklim yang akan dibahas di Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan, pada 11-22 November mendatang kayaknya beneran di ujung tanduk, deh. Soalnya, para pendonor dari negara-negara maju di Uni Eropa lagi pontang-panting ngurusin masalah ekonomi dalam negeri mereka. Resesi yang melanda negara-negara Eropa bikin kontribusi buat pendanaan iklim jadi serba nggak pasti. Ini jelas jadi sinyal buruk yang bisa mengganggu komitmen mereka buat bantu negara berkembang dalam isu krisis iklim.

    Sepanjang 2024, ekonomi Uni Eropa baru aja bangkit dari tidur panjangnya. Menurut data Eurostat—kantor statistik Uni Eropa—ekonomi Eropa Raya mentok di angka 0,3 persen, sama seperti kuartal sebelumnya. Sementara ekonomi di kawasan euro alias negara-negara yang memakai alat tukar euro, ekonominya cuma naik setipis tisu, yakni 0,4 persen. Kuartal sebelumnya lebih sedih lagi, kawasan euro cuma bisa tumbuh 0,2 persen.

    Angka segitu sebenarnya nggak wah-wah amat, tapi lumayanlah buat mengusir kejenuhan setelah lebih dari setahun lesu. Jika dibandingin sama standar Amerika yang bisa tumbuh 0,5-0,75 persen per kuartal atau 2-3 persen per tahun, pertumbuhan Uni Eropa ini terkesan loyo.

    Kalau ngintip negara-negara anggota Uni Eropa, misalnya, Irlandia jadi juara di kuartal ketiga tahun ini dengan pertumbuhan PDB 2,0 persen—melesat paling tinggi dibanding lainnya. Disusul Lithuania yang tumbuh 1,1 persen dan Spanyol 0,8 persen. Prancis dan Jerman yang dianggap negara adidayanya Eropa kali ini tiarap. Negaranya Kylian Mbappé cuma bisa meraih 0,5 persen, sementara Jerman benar-benar menderita karena ekonominya terkontraksi sebesar -0,4 persen.

    Negara-negara lain yang harus gigit jari karena ekonominya lagi nyungsep adalah Hungaria yang minus 0,7 persen, Latvia -0,4 persen, dan Swedia -0,1 persen. Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi yang biasanya diukur pakai PDB sih masih positif buat tujuh negara, tapi ada enam negara yang malah boncos.

    Biar lebih lengkap cek langsung nih data dari Eurostat yang biasa jadi sumber resmi warga Eropa:

    [caption id="attachment_96667" align="alignnone" width="1700"] *Laju pertumbuhan dibandingkan kuartal sebelumnya dan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya dalam tabel ini didasarkan pada data yang telah disesuaikan secara musiman dan kalender, kecuali jika disebutkan sebaliknya. Data yang belum disesuaikan tidak tersedia untuk semua negara anggota yang termasuk dalam estimasi awal PDB.
    ** Persentase perubahan dibandingkan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya dihitung dari data yang telah disesuaikan kalender. Foto: Eurostat.[/caption]

    Menurut laporan The Economist, tahun 2025 sih Uni Eropa berharap bakal lebih mendingan dengan pertumbuhan mencapai 1,6 persen. Tapi, investasi Uni Eropa tetap loyo, terutama di sektor konstruksi. Suku bunga juga tinggi yang akhirnya bikin pelaku usaha dari kalangan swasta mikir dua kali sebelum berinvestasi. Proyek-proyek besar mereka pun ketunda terus.

    Sementara upah mulai ngebut ngalahin inflasi dan bikin daya beli naik, The Economist bilang permintaan domestik Uni Eropa masih aja loyo. Banyak keluarga lebih milih nyimpen uang hasil kenaikan gaji mereka di tabungan daripada dipakai belanja. Di sisi lain, perekrutan karyawan di berbagai sektor udah mulai seret dan pengeluaran pemerintah juga minim. Prancis dan Italia, misalnya, lagi pusing sama aturan defisit, sementara Jerman sibuk debat soal aturan anggaran yang ketat. Hal ini bikin orang tambah khawatir soal prospek ekonomi Eropa ke depan.

    Dalam situasi kayak gini, muncul tanda tanya besar soal komitmen Uni Eropa buat pendanaan iklim. Selama ini, Eropa udah jadi pemain utama dalam nyokong negara berkembang, termasuk Indonesia, buat ngejar target perbaikan iklim. Tapi dengan kondisi ekonomi yang lagi kepepet begini, alokasi bantuan bisa aja dipangkas, yang ujung-ujungnya bisa bikin usaha Indonesia buat nurunin emisi dan adaptasi iklim tersendat setelah COP29 nanti.

    Eropa, si Sugar Daddy Iklim Dunia

    Komitmen Eropa mendanai pemulihan iklim yang lagi sakit hari ini patut diacungi jempol. Negara-negara di Benua Biru ini emang dikenal sebagai salah satu kontributor paling royal untuk pendanaan iklim di negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak awal, negara-negara Uni Eropa paham mereka punya utang moral karena jadi motor emisi karbon sejak revolusi industri tahun 1760—era di mana Majapahit sudah porak poranda dan sisa-sisanya dipretelin oleh Kerajaan Demak. Karena merasa bersalah selama berabad-abad, Uni Eropa merasa harus ngeluarin duit buat bantu negara-negara lain yang kena imbas parah perubahan iklim. Mereka ngebantu dalam bentuk hibah dan pinjaman buat proyek adaptasi dan mitigasi iklim.

    Kenapa Eropa yang harus kontribusi gede? Dari dulu sampai sekarang, Eropa punya sejarah panjang sebagai produsen emisi karbon. Saat revolusi industri mulai di akhir 1700-an sampai pertengahan 1900-an, benua ini ngebul pol. Pabrik-pabrik dan tambang batu bara jadi penyumbang utama gas rumah kaca. Puncak emisi global ketika itu banyak dicatat dari periode 1850 hingga awal 2000-an, di mana negara-negara Eropa dan Amerika Utara borong posisi teratas. Akibatnya, suhu bumi naik drastis, es di kutub mencair, dan cuaca makin ngaco. Intinya, Eropa ngecapin jejak karbon lumayan dalam di planet ini.

    [caption id="attachment_96669" align="alignnone" width="1740"] Sebagai pelopor Revolusi Industri, Inggris menghabiskan sebagian besar abad ke-19 di puncak peringkat emisi karbon. Sumber: Visual Capitalist.[/caption]

    Terus, gimana komitmen Eropa soal isu iklim ini? Uni Eropa udah janji bakal netral karbon di tahun 2050. Bukan cuma janji manis, tapi mereka nerapin aturan ketat buat ngurangin emisi, kayak European Green Deal yang isinya beragam kebijakan pro-lingkungan, termasuk investasi besar-besaran di energi terbarukan. Bahkan, kontribusi iklim mereka udah mencapai miliaran dolar per tahun buat negara berkembang.

    Data dari Dewan Uni Eropa menunjukkan, sejak 2013, Uni Eropa terlihat serius buat urusan pendanaan iklim. Kontribusi mereka terus merangkak naik, dari 9,6 miliar euro (setara sekitar Rp158 triliun) di tahun 2013, dan puncaknya tembus 28,5 miliar (sekitar Rp469 triliun) di 2022. Selama satu dekade itu, Eropa udah gelontorin dana 202,94 miliar euro atau setara USD215,1 untuk dunia. Kalau dirupiahkan, nggak main-main, angkanya sekitar Rp3.334 triliun. Wow!

     

    [caption id="attachment_96671" align="aligncenter" width="720"] Dana iklim Uni Eropa untuk dunia dari tahun ke tahun. Sumber: Consilium.europa.eu.[/caption]

     

    Lalu, gimana dengan Indonesia? Dari laporan Green Climate Fund (GCF), Indonesia udah kecipratan total dana sekitar USD628,4 juta (setara Rp9,9 triliun) buat 19 proyek. Kalau dibandingin sama sumbangan Eropa di 2022 yang kira-kira setara USD30,2 miliar, bagian Indonesia ini sekitar 2,08 persen. Memang porsinya nggak gede-gede amat, tapi lumayan lah buat jalanin proyek lingkungan di sini.

    Nah, soal data dampaknya, kenaikan emisi di era revolusi industri itu setara dengan ledakan polusi dalam skala besar. Berdasarkan data historis, abad 21 adalah periode paling parah penggunaan bahan bakar fosil. Bayangin, emisi abad ini udah bikin konsentrasi CO2 di atmosfer melonjak dari sekitar 280 parts per million atau ppm di era pra-industri jadi lebih dari 400-an ppm di era kiwari.

    Data dari NOAA bilang, tahun 2023 konsentrasi CO2 di atmosfer tembus 419,3 ppm—rekor baru lagi. Dari 2022 ke 2023 naik 2,8 ppm. Dan itu udah jadi tahun ke-12 berturut-turut dengan kenaikan tahunan lebih dari 2 ppm. Di Observatorium Mauna Loa, Hawaii, tempat data CO2 mulai dicatat sejak 1958, angkanya malah lebih gila, yakni mencapai 421,08 ppm.

    Kenapa sih makin naik? Ya karena kita doyan bakar fosil, dari batu bara sampe minyak. Bayangin, karbon yang diserap tanaman jutaan tahun lalu, sekarang kita lepas lagi ke atmosfer dalam hitungan ratusan tahun. Parahnya lagi, emisi tahunan dari bakar-bakaran ini terus nambah tiap dekade, dari 11 miliar ton di 1960-an sampai estimasi 36,6 miliar ton di 2023. Ngeri, kan?

    Alam sih udah usaha maksimal nyerap setengah dari CO2 itu tiap tahun. Tapi tetep nggak seimbang. Manusia di bumi buang lebih banyak daripada yang bisa diserap. Alhasil, jumlah CO2 di atmosfer naik terus. Dulu, tahun 1960-an, laju kenaikannya cuma 0,8 ppm per tahun, sekarang udah 2,4 ppm per tahun. Kenaikan CO2 kita sekarang 100 kali lebih cepat dibanding era es ribuan tahun lalu.

    Dampaknya? Pemanasan global makin menjadi-jadi. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bilang suhu bumi sekarang udah naik jadi 1,45 derajat Celsius.

    Jadi, intinya Eropa ngerasa punya utang ke dunia dan mereka cukup gentleman buat bayar lewat pendanaan iklim. Walaupun mereka juga masih banyak PR, komitmen yang ditunjukin buat nyelamatin iklim global ini lumayan bikin harapan bahwa kita belum terlambat buat mendinginkan planet ini. Itulah kenapa mereka tetap ngerogoh kocek buat bantu negara-negara berkembang yang kena dampak iklim biar kita semua bisa adaptasi dan nggak sekadar pasrah dengan perubahan cuaca yang makin parah ini.

    Jangan Senang Dulu!

    Uni Eropa emang selama ini jadi jagoan dalam urusan pendanaan iklim global. Tapi ekonomi mereka yang lagi lesu bikin posisi ini goyah. Defisit anggaran di beberapa negara Eropa yang makin mencekik dan pengeluaran domestik yang terus naik bikin komitmen mereka soal pendanaan iklim jadi tanda tanya besar. Kalau keadaan ini terus berlanjut, bantuan untuk negara berkembang buat memitigasi iklim bisa-bisa ikut terseret arus penghematan.

    Sinyal-sinyal pembatasan anggaran publik Eropa untuk pendanaan iklim mulai terasa, lho. Kalau sebelum-sebelumnya Eropa dikenal sebagai pendonor setia buat program mitigasi dan adaptasi iklim di negara berkembang, sekarang posisinya mulai goyah.

    Seperti dilaporkan The Economic Times, medio Oktober 2024 lalu, Menteri Iklim Prancis, Agnes Pannier-Runacher, yang dilema sama keadaan ini sampe sesumbar, “(Selama ini) kami memimpin permainan,” kata Agnes yang bermaksud bahwa Eropa udah maksimal soal pendanaan iklim. Tapi di saat yang sama, doi juga bilang, “Kami nggak bisa sendirian di meja perundingan mencoba memenuhi harapan sebagian besar negara di dunia.”

    Artinya apa? Eropa pengen negara lain bantuin. Mereka pun mention negara China biar ikut patungan. Jadi, ada sinyal jelas: Eropa nggak mau lagi sendirian nanggung beban ngurusin krisis iklim. Asal tau aja, menurut Perjanjian Paris 2015, negara berkembang nggak wajib ngeluarin dana buat pendanaan iklim alias sunah muakkad. China ini masih ogah disebut negara maju dan mengklaim sebagai negara berkembang. Nah, tapiii…China, meskipun statusnya “negara berkembang”, sebenarnya masuk kategori negara berkembang yang tajir melintir. Jadi, wajar dong kalau Eropa mulai ngelirik China dan minta mereka ikut nyumbang buat pendanaan krisis iklim. Apalagi, Negeri Tirai Bambu itu sekarang jadi penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia.

    [caption id="attachment_96672" align="alignnone" width="2440"] Negara-negara penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia. Sumber: Our World in Data.[/caption]

    Kondisi keuangan yang makin sempit di Uni Eropa ini bukan cuma soal defisit belaka. Di Prancis, misalnya, peringkat kredit mereka baru aja dipangkas jadi negatif sama Fitch Ratings setelah pemerintah ngajuin anggaran 2025. Ini kayak bilang, “Jangan harap bakal banyak duit lebih buat bantu negara lain,” karena prospeknya utang bakal naik tajam beberapa tahun ke depan. Kalau udah kayak gini, jangan heran alokasi bantuan iklim bisa kena pangkas.

    Nah, ada info lain yang ngasih gambaran lebih luas tentang problem pendanaan iklim ini. Bisa di cek dari berbagai sumber, salah satunya Deutsche Welle—media arus utama Jerman, bahwa janji Uni Eropa memberikan bantuan dana iklim untuk dunia mencapai USD100 miliar per tahun terancam gagal. Modal yang disepakati waktu pertemuan iklim PBB di Kopenhagen tahun 2009 itu sampe sekarang belum juga tercapai. Padahal, janjinya mau dikasih tahun 2020 lalu.

    Gara-gara itu, protes soal komitmen pendanaan iklim dari negara-negara kaya akhirnya bermunculan. John Kerry, utusan khusus Presiden AS untuk urusan iklim, waktu 2022 lalu nggak segan bilang kalau janji duit USD100 miliar per tahun itu telat banget, bahkan mundur setidaknya dua tahun dari target awal 2020. Walau Presiden Joe Biden udah janji buat naikin pendanaan tahunan AS jadi lebih dari USD11 miliar, realitanya masih jauh dari cukup. Kerry bilang butuh dana triliunan buat jalankan transisi ekonomi hijau dan itu nggak bakal kelar cuma andelin pemerintah. Intinya, tanpa dorongan modal dari sektor swasta, kata Kerry, “Tidak ada satu negara atau kumpulan pemerintah mana pun yang bisa menutup defisit pendanaan USD2,5 triliun hingga USD4,6 triliun yang dibutuhkan untuk mendukung transisi ekonomi hijau.”

    Di sisi lain, India juga nggak mau kalah menyuarakan kritik. Wakil Duta Besar India untuk PBB, Ravindra Raguttahalli, nyindir kalau negara-negara maju nggak cuma gagal soal ngasih dana, tapi juga gagal ngasih teknologi dan janji mitigasi. Lebih parahnya lagi, pendanaan yang ada lebih banyak buat mitigasi, sementara untuk adaptasi—yang jadi kebutuhan vital negara berkembang—kebagian secuil. Raguttahalli nggak basa-basi, dia bilang negara-negara maju harus segera ngerogoh kocek buat pendanaan iklim sampai USD1 triliun, dan itu harus duit baru yang bener-bener buat iklim, bukan modal lama yang diotak-atik biar kelihatan kayak bantuan baru.

    Dan masalahnya bukan cuma angka total yang kurang, tapi juga transparansi sumber dana yang masih abu-abu. Menurut laporan UNCTAD—badan PBB yang bertugas ngawal isu perdagangan, investasi, dan pembangunan—banyak bantuan yang katanya buat iklim malah dicampur aduk sama pinjaman atau dana Official Development Assistance (ODA) yang ujung-ujungnya bikin negara berkembang harus bayar balik. Bayangin, buat negara-negara yang emang butuh adaptasi iklim, ini udah kayak dapat kado ulang tahun tapi isinya tagihan listrik.

    Laporan Climate Finance Shadow Report 2023 dari Oxfam—organisasi nirlaba global untuk memerangi kemiskinan dan ketidakadilan—bakal bikin kita geleng-geleng kepala. Jadi begini, para donor alias negara-negara kaya ini ngaku udah ngumpulin dana sebesar USD83,3 miliar di tahun 2020 buat bantu-bantu masalah iklim. Tapi, pas dicek lebih jeli, ternyata nilainya cuma —paling mentok— USD24,5 miliar aja.

    Kenapa? Soalnya, angka USD83,3 miliar itu dihitung dari proyek-proyek yang kadang-kadang ambisi iklimnya dibikin lebay atau seolah-olah ngebantu ngatasin krisis iklim tapi faktanya nggak ngaruh. Terus ada ada lagi dana pinjaman yang dihitung pakai angka nominalnya doang, padahal negara-negara berkembang yang dapet dana itu harus ngembaliin lagi pake bunga. Apa dana begitu layak disebut dana bantuan? Fix itu cuma dana yang digoreng-goreng biar seolah-olah ngebantu negara berkembang.

    Nah, Oxfam juga ngasih tahu siapa dalang utama goreng-menggoreng ini. Prancis misalnya, tercatat sebagai juara pinjaman dengan 92 persen dari total pendanaan iklim publik bilateralnya berbentuk utang. Jepang ngikut di angka 90 persen, Spanyol 88 persen, dan Austria 71 persen. Bank Dunia? Ya, sama aja. Tahun 2019-2020, sekitar 90 persen dari pendanaan iklim mereka ya pinjaman juga.

    Saking keselnya, Pemimpin Kebijakan Perubahan Iklim di Oxfam International, Nafkote Dabi, bilang, “Ini sangat tidak adil. Negara-negara kaya memperlakukan negara-negara miskin dengan hina. Dengan begitu, mereka merusak negosiasi iklim yang krusial. Mereka memainkan permainan berbahaya yang akan merugikan kita semua.”

    Oxfam ngitung ulang dana yang bener-bener nyampe ke negara-negara berkembang di tahun 2020. Hasilnya? Paling banter cuma USD24,5 miliar, dan cuma USD11,5 miliar yang fokus buat adaptasi iklim. Dabi langsung nimpuk fakta ini dengan kalimat telak, “Jangan tertipu dengan anggapan bahwa USD11,5 miliar cukup untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengatasi banjir, badai, badai api, kekeringan, dan bencana mengerikan lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim.”

    “Orang-orang di AS menghabiskan empat kali lebih banyak dari jumlah (USD11,5 miliar) tersebut setiap tahun untuk memberi makan kucing dan anjing mereka,” tambahnya lagi.

    Yang jelas, situasi ini nunjukin kalau ke depan, dukungan iklim bakal penuh drama. Negosiasi di COP29 di Baku, Azerbaijan, bulan ini mungkin akan jadi panggung adu strategi baru. Negara berkembang butuh jaminan, sementara Eropa sibuk cari cara biar nggak boncos sendirian. Jadi, siap-siap aja lihat debat panas soal siapa yang bakal beneran buka dompet di tengah krisis ini.

    Dampaknya untuk Indonesia?

    Indonesia, negeri tropis dengan hutan bak zamrud yang melingkar dari Sabang sampai Merauke, punya janji besar di panggung dunia: menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan menembus angka 41 persen kalau ada suntikan dana internasional. Ini bukan sekadar janji manis belaka. Komitmen ini udah tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Nah, untuk bisa merealisasikan ambisi ini, Indonesia harus siap merogoh kocek Rp3.779 triliun hingga 2030. Singkatnya, kita butuh modal kira-kira Rp343,6 triliun per tahun. Ini bukan uang receh.

    Tapi, mari kita realistis sejenak. Anggaran negara kita, dengan segala defisit dan alokasi untuk proyek infrastruktur di sana-sini, cuma bisa menutup sebagian kecil dari kebutuhan itu. Boro-boro Rp3.779 triliun, dapat sepertiganya saja sudah patut disyukuri. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, bahkan bilang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cuma bisa nyisihin sekitar USD3 miliar per tahun—cuma 14 persen dari yang dibutuhkan. Sisanya? Bolong besar, kira-kira USD18,6 miliar (atau Rp280,63 triliun) yang kurang tiap tahun. Belum lagi, itu baru buat mitigasi. Adaptasinya? Ya, lebih pusing lagi.

    Mau tak mau, kita harus berharap pada kemurahan hati komunitas internasional, lembaga donor, atau negara-negara sahabat yang siap menjadi sugar daddy pendanaan iklim.

    Makanya, BKF nggak cuma duduk manis. Mereka bilang kita perlu sumber dana yang lebih berwarna, nggak cuma APBN. “Kita memerlukan instrumen pembiayaan yang fleksibel, inovatif, dan efektif. Pembiayaan tematik seperti sustainability linked loans (pinjaman tertaut keberlanjutan), blended finance (keuangan campuran, serta instrumen lain perlu dikembangkan," kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Kementerian Keuangan, Boby Wahyu Hernawan, dalam acara Kumparan Green Initiative di Jakarta Pusat, Selasa, 25 September 2024, lalu.

    [caption id="attachment_87054" align="alignnone" width="1920"] Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM) yang dikelola oleh PT Arkora Hydro Tbk (ARKO). Fasilitas ini merupakan bagian dari upaya ARKO dalam memanfaatkan energi terbarukan di Indonesia. Foto: Dok. ARKO.[/caption]

    Yang lebih dramatis lagi, proyek-proyek penting seperti Forestry and Other Land Use (FoLU)—yang katanya jadi jagoan kita dalam urusan mengurangi emisi dan menyelamatkan biodiversitas—sangat bergantung pada aliran dana asing. Bayangkan jika kucuran dana iklim COP itu macet. Proyek-proyek hijau ini bukan hanya tertunda, tapi mungkin terancam layu sebelum berkembang. Jadi, tak heran kalau delegasi Indonesia terus menggalang diplomasi ke sana kemari, dari forum COP sampai negosiasi bilateral, demi menjaga agar janji hijau ini tak sekadar angan.

    Di sisi lain, Kamar Dagang Indonesia atau KADIN pernah menegaskan mereka tak mau hanya jadi sekadar pengamat pasif dalam aksi iklim ini. Pada 2022 lalu, Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan KADIN, Silverius Oscar Unggul, bilang pihaknya siap mensosialisasikan strategi mitigasi iklim kepada perusahaan-perusahaan di sektor kehutanan. KADIN bahkan tak segan untuk mendorong perusahaan-perusahaan agar berperan aktif dalam mengurangi emisi, mengikuti komitmen nasional untuk mencapai net-zero.

    Di tengah kerumitan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—yang belakangan dipecah jadi dua kementerian—dan Kementerian PPN/Bappenas seperti trio sutradara yang tak henti-hentinya meracik skenario agar pertunjukan besar ini tetap berlangsung. Mereka merancang kebijakan-kebijakan baru, menggandeng swasta, dan mencari sumber pendanaan inovatif. Bukan hanya soal mengemis dana, tapi memastikan setiap rupiah yang didapat bisa dipakai seefisien mungkin. Karena, mari kita jujur saja: di dunia perubahan iklim, “dana bukan segalanya, tapi segalanya butuh dana.”(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).