KABARBURSA.COM - Grup teknologi Wartsila Energy menyatakan bahwa energi baru terbarukan (EBT) harus menyediakan 89 persen pasokan listrik dunia untuk mencapai komitmen emisi nol bersih (net zero emission) pada 2050.
“Untuk mencapai net zero emission pada 2050, energi terbarukan harus menyediakan 89 persen pasokan listrik dunia,” kata Sales Director Wartsila Energy Febron Siregar dalam webinar IABC Power Brain Communication Webinar 2024, seperti dikutip dari keterangan tertulis di Jakarta, Selasa 30 Juli 2024.
Menurutnya, dengan meningkatnya penggunaan energi terbarukan, dibutuhkan solusi penyeimbang yang fleksibel untuk memastikan stabilitas dan keandalan. Kapasitas energi terbarukan diprediksi akan meningkat delapan kali lipat pada tahun 2050.
“Memilih teknologi yang fleksibel dan tepat untuk sistem tenaga penting untuk menjaga pasokan listrik yang stabil dan andal,” tambahnya.
Executive Vice President Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN (Persero) Warsono menyampaikan bahwa Indonesia memiliki empat pilar teknologi untuk percepatan pengembangan energi terbarukan, dengan skenario pengurangan bertahap penggunaan batu bara.
Pilar pertama adalah target penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 75 persen dan energi berbasis gas 25 persen pada tahun 2040.
PLN juga mengupayakan super grid sebagai pilar kedua, di mana jaringan transmisi dijadikan sebagai enabler yang mengatasi ketidakcocokan antara potensi energi baru dan terbarukan dengan pusat permintaan.
Pilar ketiga menitikberatkan pada penggunaan masif tenaga surya dan angin dalam sistem kelistrikan melalui pembangkit yang fleksibel dan smart grid.
Terakhir, pilar green emerging technology yang memaksimalkan penggunaan penyimpanan, Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), Co-firing Hidrogen, Ammonia, dan energi baru seperti nuklir.
Dukungan Transisi Energi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp81,6 triliun setiap tahunnya untuk mendukung transisi energi menuju pencapaian Net Zero Emission atau Emisi Nol Karbon pada tahun 2060 mendatang.
Dalam upaya mencapai tujuan ini, diperlukan investasi besar dalam infrastruktur energi terbarukan dan teknologi ramah lingkungan, yang diyakini akan memainkan peran krusial dalam mengurangi jejak karbon negara kita secara signifikan.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan, pemerintah telah mengidentifikasi membutuhkan dana sekitar Rp81,6 triliun setiap tahunnya.
“Pemerintah telah mengidentifikasi sekitar USD7 miliar atau sekitar Rp81,6 triliun dibutuhkan tiap tahunnya dalam mendukung transisi menuju NRE,” kata Inarno Djajadi dalam sambutannya di Road To SAFE 2024.di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.
Mengutip laporan World Bank, Inarno mengatakan, tingginya angka emisi karbon telah menjadi salah satu sumber penyebab perubahan iklim. Diperkirakan jumlah emisi karbon dapat meningkat kembali ke level sebelum pandemi COVID-19 apabila pemulihan pasca pandemi tidak memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, lanjut Inarno, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap ancaman perubahan iklim yang dapat beriringan dengan pembangunan perlu disiapkan secara bertahun-tahun agar proses transisinya dapat berjalan dengan masyarakat.
“Hal tersebut juga menuntut perencanaan yang tepat terutama dalam mengalokasikan sumber daya yang dimiliki,” ujarnya.
OJK, kata Inarno, terus berupaya berperan aktif mendukung berbagai kebijakan dan tujuan pemerintah melalui berbagai kebijakan dan inisiatifnya dalam penerapan keuangan berkelanjutan.
Inisiatif tersebut dimulai melalui penerbitan roadmap keuangan berkelanjutan yang merupakan inisiatif berjangka menengah panjang 10 tahun. Adapun untuk fase pertama, jangka pendek, dan menengah, dilaksanakan di tahun 2015 sampai dengan 2020 dan fase kedua untuk jangka panjang dilaksanakan untuk periode 2021-2025.
Sebagai langkah konkret dalam menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan, pada fase pertama di 2017 OJK juga telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 51 tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga dasar keuangan, emiten, dan perusahaan public.
Seiring berjalannya waktu, demi mendukung program-program pemerintah menuju grief economy, beberapa inisiatif seperti penunjukan regulasi baru POJK 14 2023 tentang perdagangan karbon melalui busa karbon dan penunjukan taksonomi keberlanjutan Indonesia atau TKBI versi 2.0.
Terakhir, OJK juga telah menerbitkan Panduan Climate Risk Management and Scenario Analysis pada 4 Maret 2024 yang lalu. Panduan tersebut merupakan salah satu langkah konkret OJK mendukung pemerintah mencapai target net zero di tahun 2060.
Tepis Bursa Karbon Sepi Peminat
Di kesempatan itu juga, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi menolak anggapan bahwa Bursa Karbon RI atau IDX Carbon mengalami sepi peminat.
Katanya, sejak diluncurkan pada September 2023, total transaksi di Bursa Karbon baru mencatatkan angka sebesar Rp36,7 miliar hingga saat ini. Meskipun demikian, angka ini jauh dari proyeksi potensial bursa karbon yang mencapai Rp3.000 triliun.
“Ini bukan masa sepi peminat,” tegas Inarno.
Selain dari segi volume transaksi, jumlah unit karbon yang diperdagangkan juga masih terbatas, mencapai 600.000 ton unit karbon setara CO2. Saat ini, baru ada 62 pengguna jasa yang mendapatkan izin untuk bertransaksi di bursa karbon, meskipun targetnya pada tahun 2024 adalah mencapai 100 pengguna jasa. (*)