Logo
>

Energi Terbarukan Dunia Cetak Rekor Selama 2024

Sebanyak 92,5 persen pembangkit listrik baru sepanjang 2024 berasal dari energi bersih. Tapi dunia masih tertinggal 28 persen dari target transisi energi global hingga 2030.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Energi Terbarukan Dunia Cetak Rekor Selama 2024
Dua warga melintas di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo 1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, saat matahari terbenam. Energi angin menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang mulai dikembangkan di Indonesia, di tengah perlombaan global menuju transisi energi bersih.Foto: KabarBursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM – Energi terbarukan mencetak rekor baru sepanjang 2024. Sebanyak 92,5 persen dari kapasitas listrik baru global berasal dari energi bersih, mulai dari matahari, angin, hingga sumber hijau lainnya.

Data ini disampaikan oleh Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) dalam laporan terbarunya, Rabu, 14 Mei 2025. Namun meski pertumbuhannya kencang, dunia dinilai masih tertinggal dari target ambisius tripling renewable energy yang disepakati pada 2023 lalu.

Total kapasitas listrik bersih yang ditambahkan sepanjang tahun lalu mencapai 585 gigawatt, meningkat 15,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari angka itu, hampir 64 persen datang dari China—dengan tiga perempatnya berupa panel surya.

China memang tak main-main. Sepanjang 2024, mereka menambahkan 374 gigawatt energi terbarukan atau lebih dari 8 kali lipat tambahan kapasitas Amerika Serikat, dan 5 kali lipat dibanding Eropa. Kini, total kapasitas panel surya China mencapai 887 GW—jauh melampaui AS (176 GW), Jerman (90 GW), Prancis (21 GW), dan Inggris (17 GW).

Sayangnya, laju pertumbuhan ini belum cukup. Menurut hitung-hitungan IRENA, dunia masih akan ketinggalan sekitar 28 persen dari target tripling hingga 2030—target yang sejatinya dicanangkan untuk menekan dampak krisis iklim dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam.

“Energi terbarukan sedang menurunkan tirai era bahan bakar fosil,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pernyataannya, dikutip dari AP di Jakarta, Kamis, 15 Mei 2025. “Pertumbuhan ini menciptakan lapangan kerja, menurunkan biaya listrik, dan membersihkan udara kita. Tapi, transisi ini harus dilakukan lebih cepat dan lebih adil.”

Nada serupa disampaikan Kepala Iklim PBB Simon Stiell yang menyentil negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat untuk tidak ketinggalan dari langkah cepat China. “Saat satu pemerintah mundur dari kepemimpinan iklim, ada ruang bagi yang lain untuk maju,” ujar Stiell dalam forum pemimpin Eropa di Berlin. Ia merujuk pada kebijakan Presiden Donald Trump yang menarik AS keluar dari Perjanjian Paris.

Menurut Stiell, transisi energi bersih bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru bagi Eropa di tengah kebutuhan meningkatkan taraf hidup. Ia menyebut pasar energi hijau telah mencapai nilai USD2 triliun sepanjang 2024—angka yang disebutnya sebagai bukti bahwa “booming energi bersih global sudah tak terbendung”.

Analis dari Climate Analytics, Neil Grant, bahkan menyebut pertumbuhan energi hijau bisa lebih dahsyat jika didukung kebijakan yang kredibel dan ambisius. “Kalau di 2024 saja bisa tumbuh 15 persen, bayangkan kalau didorong penuh oleh kebijakan iklim yang serius dan menyeluruh,” kata Grant.

Indonesia Masih di Jalur Lambat


Dunia sedang ngebut-ngebutnyabmenuju masa depan energi bersih. Di saat China menambahkan 374 gigawatt (GW) kapasitas energi terbarukan hanya dalam setahun—dengan tiga perempatnya berasal dari panel surya—Indonesia masih tertatih di lintasan yang sama, jauh tertinggal dari para juara podium.

Data Kementerian ESDM menyebutkan hingga akhir 2024, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 14,83 GW. Angka ini bahkan belum menyamai satu bulan penambahan kapasitas yang dicetak China. Padahal, potensi teknis energi terbarukan Indonesia sangat besar—mulai dari panas bumi, air, hingga matahari. Tapi, sebagaimana lazimnya, yang besar belum tentu tergarap.

Sepanjang 2024, tambahan kapasitas energi hijau Indonesia cuma 547 megawatt (MW). Itupun masih didominasi PLTA dan sedikit PLTS. Masih jauh dari cukup. Jika merujuk target pemerintah dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran energi dari sumber terbarukan seharusnya menyentuh 23 persen pada 2025. Tapi kenyataannya, realisasi 2024 baru mencapai 14,1 persen—naik tipis dari 13,9 persen pada tahun sebelumnya. Bahkan, belakangan muncul rencana merevisi target itu menjadi hanya 17–20 persen.

Presiden Prabowo Subianto sempat menyatakan ambisi menghentikan semua pembangkit listrik berbasis fosil dalam 15 tahun ke depan. Tapi banyak pihak—termasuk para analis dan NGO—masih meragukan kesiapan infrastruktur dan kebijakan untuk benar-benar mengeksekusi mimpi sebesar itu.

Ambil contoh energi surya. Potensinya luar biasa. Menurut IESR, secara teknis Indonesia punya potensi antara 3,3 TW hingga 20 TW—tergantung cara hitungnya. Tapi yang benar-benar terpasang baru sekitar 244 MW dari PLTS skala besar dan 304 MW dari PLTS atap. Totalnya bahkan belum menembus 1 GW.

Penyebabnya masih klasik: biaya awal tinggi, aturan Net Metering yang tak ramah konsumen, dan birokrasi pemasangan yang bikin orang malas berurusan dengan PLN. Ini seperti punya lahan sawah seluas Kalimantan, tapi hanya menanam kangkung di pot bunga.

Dari sisi investasi, kabar baiknya ada. Sepanjang 2024, investasi energi terbarukan di Indonesia mencapai USD1,49 miliar atau sekitar Rp23 triliun. Angka ini menyerap lebih dari 13 ribu tenaga kerja baru. Tapi kalau dibandingkan dengan total investasi energi bersih global yang sudah menyentuh USD2 triliun, bagian Indonesia masih secuil kerupuk.

Pemerintah sudah menerbitkan berbagai regulasi untuk mendorong masuknya dana, seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 yang memfasilitasi proyek-proyek seperti PLTS dan PLTP. Tapi yang dibutuhkan lebih dari sekadar payung hukum—investor juga menunggu kepastian, kejelasan harga listrik, dan jaminan keberlanjutan proyek. Banyak yang ogah datang jika urusan izin, tarif, dan kepastian PPA masih berubah-ubah seperti cuaca di musim pancaroba.

Sementara itu, negara-negara tetangga di ASEAN seperti Vietnam dan Thailand mulai mencatat lonjakan signifikan dalam bauran EBT-nya. Vietnam sudah punya PLTS berkapasitas lebih dari 17 GW, jauh meninggalkan Indonesia yang masih berkutat di ratusan megawatt.

Apakah Indonesia akan mengejar? Bisa. Tapi hanya jika komitmen politik, kesiapan regulasi, dan keberanian menggeser subsidi energi fosil benar-benar dijalankan. Karena dalam balapan ini, yang menang bukan yang punya potensi paling besar, tapi yang lebih dulu serius berlari.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).