KABARBURSA.COM – Hari Bumi Indonesia yang diperingati setiap 22 April bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi juga momentum penting untuk mengevaluasi komitmen sektor ekonomi berlanjutan.
Di Indonesia, sinyal kuat untuk arah investasi ramah lingkungan tercermin dalam penerapan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang memberikan kerangka klasifikasi bagi kegiatan ekonomi hijau.
Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia) Linda Rosalina menilai, TKBI dari OJK belum mampu menjadi instrumen yang efektif untuk membatasi bank dalam mendanai perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak buruk terkait perusakan lingkungan maupun konflik sosial dengan masyarakat sekitar.
“Sifatnya bank ini high regulated. Makanya kalau selama arah pembangunan sekarang masih mengandalkan industri ekstraktif, selama itu pula bank akan terus berkontribusi dalam pembiayaan,” kata Linda kepada kabarbursa.com beberapa waktu lalu.
Salah satu implikasi nyata dari inisiatif ini dapat terlihat dari dinamika investasi ESG di Indonesia. TKBI yang pertama kali diluncurkan oleh OJK pada Januari 2022, merupakan pedoman klasifikasi kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).
Hingga saat ini, versi pertama TKBI mencakup 919 klasifikasi kegiatan ekonomi yang dikelompokkan dalam tiga kategori: hijau, kuning (transisi), dan merah (tidak berkelanjutan).
Langkah ini seharusnya sejalan dengan upaya global menuju ekonomi rendah karbon serta mendukung target Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060. Melalui TKBI, lembaga keuangan dapat lebih terarah dalam menyalurkan pembiayaan hijau (green financing) kepada proyek-proyek yang sesuai dengan prinsip keberlanjutan.
Linda menyampaikan bahwa Bank Mandiri sempat menyatakan akan menghentikan pembiayaan kepada industri batu bara pada tahun 2020. Namun, di sisi lain, belum ada sikap tegas dari pemerintah untuk menghentikan aktivitas di sektor batu bara tersebut.
“Apalagi kalau kita ingat pidatonya Pak Prabowo waktu inaugurasi dan akan swasembada energi dari sawit, kemudian juga beliau menyatakan punya geotermal dan batu bara,” ujarnya.
Karena itu, ia merasa pesimistis terhadap kemungkinan bank menghentikan pendanaan bagi sektor industri yang berpotensi merusak lingkungan, mengingat arah kebijakan pemerintah saat ini justru condong pada penguatan sektor industri demi swasembada.
Padahal, menurutnya, pemerintah seharusnya mampu mendorong perbankan untuk lebih selektif dan memiliki batasan yang tegas dalam menyalurkan pembiayaan, terutama pada sektor-sektor yang rentan menimbulkan kerusakan lingkungan.
Saham ESG Tren Musiman atau Perubahan Paradigma?
Data historis menunjukkan bahwa saham yang tergolong dalam indeks ESG cenderung menunjukkan kenaikan minat investor menjelang dan setelah Hari Bumi. Misalnya, indeks IDX ESG Leaders—yang terdiri dari saham-saham dengan skor ESG terbaik—pada April 2023 mencatat kenaikan sebesar 1,9 persen, dibandingkan penurunan 0,4 persen pada IHSG secara keseluruhan pada periode yang sama.
Namun, para analis pasar menilai bahwa kenaikan ini masih tergolong reaktif dan bersifat temporer, sering kali dipicu oleh kampanye atau publikasi yang mengedepankan isu keberlanjutan saat Hari Bumi. Belum ada bukti kuat bahwa Hari Bumi mampu menciptakan lonjakan berkelanjutan pada saham ESG dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, TKBI memainkan peran penting dalam menciptakan landasan kredibel bagi investor yang ingin menempatkan dananya di instrumen berbasis ESG.
Salah satu tantangan terbesar dalam green investing adalah greenwashing—di mana entitas mengklaim berkelanjutan tanpa dukungan data konkret. Dengan TKBI, emiten dituntut untuk mengklasifikasikan kegiatan usahanya secara transparan dan sesuai dengan kriteria keberlanjutan yang telah distandardisasi.
Saat ini, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meluncurkan beberapa indeks saham berbasis ESG seperti IDX ESG Leaders, SRI-KEHATI, dan IDX ESG Sector Leaders.
Indeks ini menjadi acuan penting bagi manajer investasi yang mengelola dana ESG. Berdasarkan data BEI, hingga Maret 2025, terdapat 52 saham yang tergabung dalam indeks IDX ESG Leaders, dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp1.428 triliun atau sekitar 17 persen dari total kapitalisasi IHSG.
Sinergi TKBI dan Pembiayaan Perbankan Hijau
Selain di pasar modal, TKBI juga menjadi acuan penting bagi perbankan dalam menyalurkan pembiayaan hijau. Berdasarkan laporan OJK per Desember 2024, total penyaluran pembiayaan berkelanjutan oleh perbankan Indonesia mencapai Rp1.672 triliun, meningkat 14,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sektor energi terbarukan, pengelolaan air bersih, dan pengolahan limbah menjadi tiga sektor utama yang menerima pembiayaan. Bank-bank besar seperti BCA, Bank Mandiri, dan BRI telah memiliki strategi pembiayaan hijau yang mengacu pada taksonomi OJK. Dengan demikian, sinergi antara TKBI, pembiayaan perbankan, dan pasar modal memperkuat ekosistem keuangan berkelanjutan yang lebih solid.
Meskipun inisiatif OJK melalui TKBI patut diapresiasi, tantangan implementasi masih cukup besar. Di antaranya adalah kebutuhan akan edukasi dan literasi terhadap pelaku pasar, keterbatasan data dan pelaporan ESG yang belum seragam, serta belum adanya insentif fiskal yang konkret untuk mendorong lebih banyak perusahaan masuk ke dalam kategori hijau.
Di sisi lain, pemerintah dan OJK tengah menyiapkan versi lanjutan dari TKBI yang akan memperluas cakupan sektor serta menambahkan aspek penilaian risiko iklim dalam laporan keuangan perusahaan. Upaya ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak emiten untuk memprioritaskan prinsip keberlanjutan dalam operasional bisnis mereka.
Menanggapi terkait pembiayaan perbankan hijau, Linda mengaku pesimistis jika pemerintahan Prabowo-Gibran dapat menghentikan upaya bank dalam membiayai sektor ekstraktif dan yang berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
Menurutnya, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah tegas kepada bank yang masih membiayai industri ekstraktif yang berkontribusi dalam perusakan lingkungan.
“Bank itu sebenarnya sejalan dengan kebijakan pemerintah. Jadi selama kebijakan pemerintah tidak tegas dalam pembiayaan kepada industri ekstraktif yang berdampak kepada sosial-lingkungan, ya, selama itu juga bank tidak akan pernah berhenti membiayai,” kata Linda.(*)