Logo
>

IESR Desak Tiga Insentif untuk Genjot EBT

Segera direalisasikan oleh pemerintah jika ingin target bauran energi nasional bisa tercapai sesuai rencana.

Ditulis oleh Dian Finka
IESR Desak Tiga Insentif untuk Genjot EBT
Ilustrasi Energi Baru Terbarukan (EBT). Foto: dok transisibersih.org

KABARBURSA.COM – Pemerintah dinilai perlu mengambil langkah tegas dan strategis untuk mempercepat transisi menuju energi bersih. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyebut perlu ada terobosan dalam bentuk insentif konkret bagi pelaku industri energi baru dan terbarukan (EBT).

Fabby mengungkapkan, setidaknya terdapat tiga insentif utama yang mendesak untuk segera direalisasikan oleh pemerintah jika ingin target bauran energi nasional bisa tercapai sesuai rencana.

Pertama: Insentif Pembiayaan Berbunga Rendah

“Pemerintah harus bisa menyiapkan skema pendanaan murah khusus untuk energi terbarukan. Kalau bukan untuk EBT, jangan dikasih. Bahkan kalau bisa lebih spesifik lagi, berikan pendanaan murah untuk proyek EBT yang dikembangkan di wilayah 3T – tertinggal, terdepan, dan terluar,” ujar Fabby kepada Kabarbursa.com, Minggu, 18 Mei 2025.

Menurutnya, salah satu contoh konkret ada pada program konversi pembangkit listrik tenaga diesel milik PLN yang mencapai kapasitas total 3 gigawatt (GW) di berbagai pelosok Indonesia. Ia menilai program tersebut sangat potensial digantikan oleh sumber EBT lokal seperti tenaga surya, angin, air, maupun biomassa.

“Karena lokasinya terpencil dan risikonya tinggi, maka pembiayaan menjadi sangat krusial. Pendanaan berbunga rendah akan sangat membantu menurunkan cost of fund,” tambahnya.

Selain itu, Fabby juga mendorong insentif fiskal dalam bentuk pemotongan pajak penghasilan, pajak perusahaan, hingga insentif lainnya yang bisa membuat proyek EBT lebih menarik secara ekonomi.

Kedua: Kemudahan Berusaha Dalam Negeri

Fabby menyoroti hambatan klasik yang masih membayangi pengembangan EBT, seperti soal pengadaan lahan dan perizinan yang berbelit.

“Masalah lahan dan izin itu sudah dari dulu jadi tantangan. Kalau pemerintah serius mau mendorong EBT, maka hambatan administratif ini harus dibabat habis. Kemudahan berusaha adalah bentuk keberpihakan yang nyata,” jelasnya.

Ketiga: Percepatan Proses Negosiasi PPA 

Fabby menilai lambatnya proses negosiasi kontrak jual beli listrik antara pengembang dan PLN menjadi ganjalan utama yang membuat banyak proyek EBT mangkrak sebelum dimulai.

“Contoh paling nyata itu di proyek panas bumi. Beberapa waktu lalu ada proyek yang dibantu JICA, tapi proses negosiasinya sampai 6 tahun lebih baru bisa financial closing. Itu sudah terlalu lama,” ujarnya.

Ia mengapresiasi adanya panduan PPA dalam regulasi Kementerian ESDM, namun di lapangan prosesnya tetap bisa berlarut-larut karena tidak ada batas waktu yang tegas.

“Pemerintah harus mendorong PLN agar punya target waktu. Misalnya negosiasi PPA maksimal 6 bulan, setelah itu harus deal. Kalau tidak, proyeknya bisa mundur, dan itu akan memicu risiko baru,” tegas Fabby.

Menurutnya, keterlambatan dalam proses PPA secara langsung akan menunda financial closing, yang akhirnya berdampak pada kelayakan finansial proyek.

“Kalau proyek terlambat satu atau dua tahun, risiko naik. Suku bunga bisa naik, inflasi naik. Yang tadinya feasible jadi nggak feasible. Dan kalau nggak feasible, pendanaan nggak akan turun,” pungkasnya.

Fabby menegaskan bahwa percepatan energi terbarukan butuh dukungan ekosistem yang lengkap – mulai dari pembiayaan, regulasi, hingga implementasi. Tanpa insentif konkret dan kepastian dari sisi bisnis, proyek-proyek EBT hanya akan jadi wacana.

Prospek Emiten EBT Diprediksi Cerah

Emiten Energi Baru Terbarukan (EBT) diprediksi akan terus mengalami pertumbuhan signifikan hingga kuartal I 2025. Analis Stocknow.id Abdul Haq Alfaruqy mengatakan, kondisi tersebut sejalan dengan target pemerintah yang berupaya menarik investasi antara Rp1.900 triliun hingga Rp2.200 triliun pada tahun ini.

"Di mana sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menjadi salah satu prioritas utama," ujar dia saat dihubungi Kabarbursa.com di Jakarta.

Abdul menyebut pemanfaatan berbagai sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, hidro (air), angin, panas bumi, hingga bioenergi, direncanakan untuk dioptimalkan guna mendorong peningkatan investasi serta menciptakan peluang baru di bidang energi bersih.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) juga berekspansi pada sektor EBT dengan menambahkan tiga energi baru pada portofolio EBT, yaitu hidrogen, amonia, dan nuklir.

"Langkah pemerintah ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia mencapai Net Zero Emission pada 2060.  Sehingga, tahun 2025 ini energi EBT masih memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan," jelasnya.

Investasi di Sektor EBT Tumbuh Siginifikan

Di sisi lain, Abdul menyampaikan investasi sektor EBT di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang signifikan hingga akhir tahun 2024.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, dia menjelaskan bahwa realisasi investasi di subsektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mencapai Rp24,03 triliun pada tahun 2024.

"Tetapi, angka ini masih berada di bawah target yang ditetapkan sebesar USD2,6 miliar," terang Abdul.

Abdul juga menegaskan pemerintah Indonesia  aktif menarik investasi asing di sektor energi terbarukan. Contohnya, pada November 2024, Indonesia dan China menandatangani kesepakatan senilai USD10 miliar yang berfokus pada energi hijau dan teknologi.

Dan jika dibandingkan dengan tahun 2023, dia menuturkan investasi di sektor EBTKE di Indonesia  mencapai USD1,5 miliar, atau sekitar Rp23,3 triliun, atau tumbuh sebesar +3,1 persen Year on Year.

Adapun, kata Abdul, Stocknow.id memiliki sejumlah rekomendasi emiten yang fokus pada EBT, seperti BREN, ESSA, hingga PGEO.

"BREN (Target Rp11.500), ESSA (Target Rp985), PGEO (Target Rp1.190)," pungkas Abdul.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.