KABARBURSA.COM - India akan menyambungkan rekor 35 gigawatt (GW) kapasitas energi surya dan angin ke jaringan listriknya hingga Maret 2025. Dilansir dari Reuters, langkah ini diambil untuk mengejar target energi bersih tahun 2030 setelah gagal mencapai tujuan energi terbarukan pada 2022.
Selama beberapa tahun terakhir, India, sebagai negara dengan ekonomi besar dan pertumbuhan tercepat di dunia, telah mengutamakan batu bara untuk memenuhi lonjakan permintaan listrik. Akibatnya, pertumbuhan energi dari batu bara diperkirakan akan melampaui pembangkitan energi terbarukan tahun ini.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya skala besar mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir. Ini mengakibatkan pertumbuhan pembangkitan listrik tenaga surya di paruh pertama 2024 mencapai titik terendah dalam enam tahun terakhir.
Namun, menurut pejabat senior di Kementerian Energi Baru dan Terbarukan India, Bhupinder Singh Bhalla, perubahan ini diharapkan mulai terlihat pada tahun fiskal ini dengan penambahan kapasitas surya sebesar 30 GW.
Selain itu, India juga berencana menambah sekitar 5 GW kapasitas angin baru. Data pemerintah India menunjukkan total penambahan kapasitas energi terbarukan mencapai 10 GW selama April-Agustus tahun fiskal ini, sehingga total kapasitas menjadi sekitar 153 GW.
"Kami tidak dapat memberikan angka pasti untuk tahun berikutnya (2025-26), namun kami pasti akan melampaui kapasitas tambahan tahun ini," kata Bhalla di sela-sela acara RE-Invest, konferensi energi terbarukan terbesar di India, dikutip Selasa, 17 September 2024.
Bhalla juga menyebutkan adanya permintaan pasar yang besar untuk proyek penyimpanan yang terhubung dengan baterai. Bahkan, kata dia, ke depan akan lebih banyak tender untuk proyek semacam itu di negaranya.
Meski begitu, India masih kekurangan 13 persen dari janji yang disampaikan Perdana Menteri Narendra Modi pada pembicaraan iklim PBB di Paris pada 2015 untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi 175 GW pada 2022. India adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, meskipun emisi per kapita dari sekitar 1,5 miliar penduduknya termasuk yang terendah di antara ekonomi besar lainnya.
Negara di Asia Selatan ini perlu menambah sekitar 30 persen lebih banyak kapasitas bersih setiap tahunnya dibandingkan dengan penambahan kapasitas angin dan surya yang diharapkan pada tahun ini. Hal ini menjadi tantangan dalam mencapai target energi bersih sebesar 500 GW pada akhir tahun 2030.
Menteri Energi Terbarukan India, Prahlad Joshi, mengatakan lembaga keuangan negaranya telah berkomitmen untuk menyediakan dana sebesar USDA386 miliar untuk proyek energi terbarukan hingga 2030. Pengembang energi bersih juga telah berjanji untuk meningkatkan kapasitas non-fosil India sebesar 570 GW.
Secara terpisah, konglomerat India seperti Reliance Industries berkomitmen menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 100 GW pada 2030, sementara Adani Green Energy berencana menambah 38,8 GW.
Inggris Bersiap Pensiun dari Batu Bara
Langkah ambisius India dalam menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 35 GW pada tahun fiskal mendatang menunjukkan keseriusan negara tersebut dalam mengejar target energi bersih. Namun, upaya transisi ke energi hijau bukan hanya terjadi di India. Di belahan dunia lain, seperti Inggris, perubahan besar juga sedang berlangsung. Inggris bersiap menutup salah satu pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tertuanya, Ratcliffe-on-Soar, yang telah beroperasi sejak 1960-an. Penutupan ini menandai langkah signifikan dalam upaya global untuk mendekarbonisasi sektor energi dan beralih ke sumber daya terbarukan.
Penutupan Ratcliffe yang dijadwalkan akhir bulan ini merupakan langkah penting dalam agenda pemerintah Inggris untuk mendekarbonisasi pasokan listrik pada 2030. Target ini sejalan dengan tujuan yang lebih luas untuk mencapai netralitas karbon pada 2050. “Ini akan menjadi momen bersejarah,” kata John Roberts, Supervisor yang telah bekerja di Ratcliffe sejak usia 16 tahun, dikutip dari Financial Times, Rabu, 11 September 2023.
Roberts, bersama 170 rekannya, harus memutuskan apakah akan ikut membongkar pembangkit atau beralih pekerjaan. Adapun dia sendiri memutuskan untuk pensiun.
Inggris, yang menjadi rumah bagi pembangkit listrik berbahan bakar batubara pertama di dunia pada 1882, kini bersiap menjadi negara G7 pertama yang sepenuhnya berhenti menggunakan batu bara. Langkah ini lebih cepat satu tahun dari target awal yang ditetapkan pada 2015. Sementara itu, Jerman menargetkan penutupan pembangkit batubara pada 2038, Kanada pada 2030, dan Italia pada akhir 2025.
Namun, penutupan pembangkit yang direncanakan pada musim gugur 2022 tertunda akibat invasi Rusia ke Ukraina yang memicu kekhawatiran akan krisis gas. Beberapa pembangkit yang awalnya dijadwalkan tutup diminta tetap beroperasi, termasuk Ratcliffe. Kini, Ratcliffe menjadi satu-satunya pembangkit batu bara yang tersisa di Inggris.
Pada 1990, batu bara menyuplai 80 persen kebutuhan listrik Inggris. Tahun lalu, angka tersebut hanya tinggal 1 persen. Sebagian besar energi Inggris kini berasal dari gas (34,7 persen), tenaga angin dan surya (32,8 persen), bioenergi (11,6 persen), dan nuklir (13,8 persen).
Pertumbuhan energi terbarukan didukung oleh kebijakan keuangan pemerintah dan penurunan biaya produksi. Kemajuan teknologi juga berperan besar dalam menjaga kestabilan pasokan listrik meski semakin sedikit pembangkit batubara yang beroperasi. “Saat energi terbarukan menjadi bagian besar dari campuran energi, di situlah fisika sistem benar-benar berubah,” jelas Matt Magill dari National Grid. Timnya telah menggunakan stabilisator besar seberat 200 ton serta baterai lithium ion untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pembangkit batubara.
Langkah berikutnya menuju netralitas karbon pada 2030 akan membutuhkan peran lebih besar energi terbarukan, sementara peran gas akan berkurang. Dalam lelang subsidi pemerintah terbaru, 9,6 gigawatt proyek energi terbarukan disetujui—lebih tinggi 5,9 GW dibandingkan tahun lalu.
Magill menyebut fase berikutnya sebagai tonggak sejarah besar. Mulai tahun depan, National Grid akan menguji sistem listrik yang bisa beroperasi tanpa bantuan pembangkit gas selama setidaknya 30 menit. Langkah ini krusial mengingat Inggris semakin bergantung pada listrik, terutama dengan meningkatnya penggunaan mobil listrik dan pompa panas.
Namun, tantangan besar tetap ada. LCP Delta memperingatkan adanya “titik kritis” di awal 2030-an ketika penutupan pembangkit berbahan bakar gas melampaui pembangunan ladang angin dan surya. Sam Hollister dari LCP Delta menambahkan, menyelaraskan peningkatan permintaan listrik dengan penutupan pembangkit karbon dan investasi dalam energi terbarukan akan sangat menantang.
Ke depan, masyarakat Inggris harus lebih fleksibel dalam menggunakan listrik, seperti mengisi daya mobil listrik pada malam hari. Teknologi dan tarif energi sedang dikembangkan untuk mendorong fleksibilitas ini, termasuk menggunakan baterai mobil listrik untuk mengembalikan listrik ke rumah saat dibutuhkan.
“Salah satu tantangan terbesar adalah menyortir fisika,” kata Magill, “Tantangan berikutnya adalah memungkinkan sisi permintaan mendukung sistem.” Bagi mereka di Ratcliffe, tak banyak waktu untuk menoleh ke belakang. “Kami sudah merencanakan kontrak untuk pembongkaran,” kata O’Grady, manajer pembangkit di Ratcliffe.(*)