KABARBURSA.COM - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengumumkan bahwa pemerintah telah mempersiapkan industri biofuel untuk mendukung program B50 yang diusung oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Program B50 bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati hingga 50 persen dari total konsumsi bahan bakar solar.
Amran menyatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan perusahaan-perusahaan yang akan memainkan peran penting dalam mencapai target B50, sesuai arahan Presiden Joko Widodo dan Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Meski begitu, Amran tidak merinci lokasi dan daerah industri yang telah disiapkan untuk program tersebut.
Amran menjelaskan bahwa program B50 akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor solar dengan menggantinya dengan biofuel dari minyak sawit mentah (CPO). Saat ini, produksi biofuel Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun, dengan sekitar 26 juta ton diekspor ke pasar global. Sementara itu, negara masih mengimpor sekitar 5,3 juta ton solar setiap tahun.
Implementasi program B50 diharapkan tidak hanya mengurangi ketergantungan impor solar, tetapi juga dapat meningkatkan harga CPO di pasar internasional, yang akan menguntungkan para petani Indonesia. Indonesia merupakan produsen terbesar CPO dunia dengan pangsa pasar mencapai 58-60 persen.
Amran menegaskan bahwa Indonesia memiliki sumber bahan baku CPO terbesar di dunia, sehingga pasokan CPO aman dan tidak akan terganggu.
Namun, keberlanjutan program biodiesel memerlukan penanganan masalah di sektor hulu sawit. Head Of Sustainability Division Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Rapolo Hutabarat, menekankan bahwa penanganan masalah di sektor hulu sangat penting untuk ketersediaan bahan baku. Aprobi berharap pemerintah segera menyelesaikan permasalahan di sektor hulu agar Indonesia dapat mencapai target produksi CPO sebesar 100 juta ton pada tahun 2045.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, menambahkan bahwa peningkatan produktivitas melalui pembenahan sektor hulu sangat diperlukan. Tantangan dalam peningkatan produktivitas sawit termasuk legalitas lahan dan realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang masih di bawah 10 persen dari target 2,4 juta hektar.
Dengan penanganan yang tepat terhadap masalah-masalah ini, program B50 diharapkan dapat berjalan lancar dan memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian Indonesia serta kesejahteraan petani sawit.
Dampak Signifikan
Peneliti dari Satya Bumi, Sayyidatihayaa Afra mengatakan kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kewajiban campuran biodiesel dan minyak sawit hingga 50 persen (B50) perlu dipertimbangkan kembali. Dia menyatakan bahwa kebijakan yang ambisius ini berpotensi menimbulkan dampak yang signifikan.
“Pertama, kebijakan tersebut berpotensi mempercepat ekspansi lahan. Deforestasi dan peningkatan emisi menjadi konsekuensi dari berkurangnya luas hutan secara signifikan,” ungkapnya dalam pernyataan resmi, Minggu, 24 Maret 2024.
Menurut data Satya Bumi, secara statistik, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2001, luasnya hanya 7,25 juta hektar, sementara pada tahun 2022, luasnya meningkat menjadi 17,77 juta hektar dengan peningkatan sebesar 145 persen atau 2,45 kali lipat.
“Dalam periode yang sama, produktivitas minyak sawit juga naik sebesar 30 persen atau 1,3 kali lipat. Namun, selama tahun 2001-2022, sekitar 2,95 juta hektar hutan alam telah beralih menjadi perkebunan kelapa sawit,” tambahnya.
Sayyidatihayaa juga menyatakan bahwa biodiesel menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakunya. Hal ini berarti produksi biodiesel juga akan meningkatkan permintaan minyak sawit nasional untuk kebutuhan pangan domestik dan industri yang semakin meningkat.
“Ikhtisar tersebut menunjukkan bahwa permintaan minyak sawit nasional tidak hanya digunakan untuk energi, tetapi juga untuk kebutuhan pangan, oleokimia, dan ekspor sebagai sumber devisa, yang semuanya meningkat,” jelasnya.
Dana Punggutan
Selain itu, kebijakan biodiesel ini didukung oleh penggunaan dana pungutan crude palm oil (CPO) untuk biodiesel, yang mencapai Rp144,7 triliun dalam periode 2015 hingga 2022.
Namun demikian, Sayyidatihayaa menyoroti bahwa regulasi pemerintah tidak sepenuhnya pro lingkungan. Alasannya adalah pemerintah belum pernah melarang deforestasi secara tegas, hanya melakukan pembatasan penerbitan izin baru.
Berbagai regulasi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020, dan PP Nomor 23 Tahun 2021 menunjukkan bahwa tujuan perlindungan hutan oleh pemerintah bukanlah untuk mencapai target nol deforestasi.
Hal ini diperparah dengan adanya label Proyek Strategi Nasional (PSN) yang memungkinkan penghilangan hutan alam untuk mendukung mega proyek tersebut.
“Meskipun biodiesel tidak secara eksplisit masuk ke dalam PSN, manfaat yang diklaim akan menjadi lebih PSN. Jika biodiesel diarahkan untuk menjadi bagian dari PSN, maka aturan lingkungan hidup akan terabaikan, termasuk pembukaan hutan alam untuk perluasan kebun kelapa sawit baru. Bahkan lebih buruk, kita memiliki kuota deforestasi sekitar 6,8 juta hektar selama periode 2020-2050,” tutup Sayyidatihayaa.