KABARBURSA.COM - Walau sudah berjanji pada 2021 untuk menghentikan pembiayaan proyek batu bara di luar negeri, nyatanya perusahaan-perusahaan asal China masih saja sibuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru di Indonesia. Fakta ini diungkap dalam laporan analisis investasi energi di negara-negara BRICS yang dirilis Selasa, 29 April 2025, kemarin.
Menurut laporan lembaga kajian energi Global Energy Monitor (GEM) dari Amerika Serikat, China terlibat dalam pembangunan pembangkit batu bara baru sebesar 7,7 gigawatt, yang sebagian besar digunakan untuk menopang operasional smelter nikel di Indonesia.
Sebagai pengingat, blok BRICS—yang awalnya dibentuk Brasil, Rusia, India, dan China pada 2009—kini sudah melebar keanggotaan dan jaringannya. Mereka kini mewakili seperempat ekonomi dunia dan separuh emisi karbon dioksida penyumbang perubahan iklim global.
Walaupun negara-negara utama seperti Brasil, India, dan China berhasil mendorong pertumbuhan energi terbarukan hingga lebih dari separuh total bauran listrik mereka tahun lalu, sepuluh anggota baru—termasuk Indonesia, Nigeria, dan Kazakhstan—masih bertumpu pada bahan bakar fosil untuk memenuhi lonjakan kebutuhan energinya. Banyak di antaranya didukung penuh oleh investasi China.
“Ada risiko nyata kalau negara-negara ini malah diarahkan ke jalur yang keliru karena investasi di batu bara, gas, dan minyak,” kata Manajer Proyek di GEM’s Global Integrated Power Tracker, James Norman, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu, 30 April 2025.
Data GEM mencatat, sepuluh negara baru itu saat ini tengah membangun kapasitas 25 GW untuk batu bara, minyak, dan gas, sementara pembangunan energi surya dan angin hanya sebesar 2,3 GW. Selain itu, masih ada 63 GW kapasitas pembangkit berbasis gas yang dalam tahap pengembangan.
Tak tanggung-tanggung, 62 persen dari kapasitas pembangkit listrik yang dibangun di sepuluh negara tersebut dibiayai atau dikontrakkan kepada badan usaha milik negara China. Bahkan, untuk proyek batu bara saja, China mendukung 88 persen dari seluruh kapasitas yang sedang dibangun.
Sampai artikel ini ditulis, Kementerian Lingkungan Hidup China belum memberikan tanggapan atas laporan tersebut.
Sebagai catatan, pada 2021 Presiden China, Xi Jinping, sempat menyatakan bahwa negaranya tidak akan lagi membantu pembangunan atau pembiayaan pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri. Tapi kenyataannya, berdasarkan riset yang dipublikasikan tahun lalu, sejak janji itu dilontarkan sudah ada setidaknya 26,2 GW kapasitas baru berbasis batu bara yang tetap dibangun dengan dukungan China.
Isu perubahan iklim dipastikan akan menjadi topik panas dalam pertemuan para pemimpin BRICS di Brasil pada bulan Juni mendatang. Negara tuan rumah sudah terang-terangan meminta China dan negara-negara lain untuk membuat komitmen yang lebih serius dalam upaya pemangkasan emisi menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30 di bulan November.
Indonesia dan Perangkap Batu Bara
Bila dilihat dari sudut pandang teori ekonomi klasik, pembangunan PLTU batu bara oleh korporasi China di Indonesia ini bisa dibingkai sebagai transfer investasi lintas negara. Tapi, kalau kacamata kita digeser sedikit ke Teori Ketergantungan Ekonomi, ceritanya bisa berubah drastis. Apalagi ketika yang dibangun bukan energi terbarukan, tapi pembangkit berbasis fosil yang jelas-jelas sudah masuk daftar hitam global.
Teori ini bilang, negara berkembang sering kali terjebak dalam hubungan ekonomi yang timpang dengan negara maju. Mereka menerima modal, teknologi, atau proyek dari luar negeri—tapi dalam jangka panjang, justru kehilangan kedaulatan ekonomi dan terseret dalam kepentingan negara donor.
Dalam konteks ini, Indonesia sedang menggali lubang itu. Negeri ini menerima proyek-proyek PLTU yang dibiayai atau dikembangkan oleh korporasi besar asal China dan kebanyakan untuk menopang industri smelter nikel yang juga dimiliki investor asing. Ibaratnya, Indonesia pasang infrastruktur energi kotor demi mendukung rantai pasok global yang akhirnya memperkaya perusahaan luar. Sementara, negeri ini juga yang dapat dampak lingkungannya.
Lebih dari itu, meski Presiden Xi Jinping sudah berjanji akan menghentikan pendanaan proyek batu bara di luar negeri sejak 2021, kenyataannya pembangunan 7,7 GW PLTU baru di Indonesia—mayoritas untuk kawasan industri nikel—masih dikerjakan oleh entitas bisnis dari negaranya. Global Energy Monitor menyebut bahwa 88 persen dari proyek PLTU baru di negara mitra BRICS justru ditopang oleh korporasi China. Ini bukan hanya soal listrik, tapi soal arah pembangunan nasional.
Indonesia seolah terjebak dalam struktur yang disebut James Norman dari Global Energy Monitor sebagai “jalan pembangunan yang salah”. Negara berkembang didorong untuk terus memakai energi kotor demi mengejar industrialisasi kilat, tanpa diberi akses yang sama terhadap teknologi energi bersih. Dan lagi-lagi, pendananya tetap negara maju yang sama.
Masalahnya makin kompleks ketika ketergantungan ini menyusup dalam kebijakan energi jangka panjang. Karena sudah terikat kontrak pasokan listrik untuk smelter, Indonesia jadi punya insentif lebih besar untuk mempertahankan batu bara dalam bauran energi nasional. Padahal, ketika negara lain sudah berlomba-lomba menuju transisi hijau, Indonesia justru bertaruh pada sumber energi yang makin ditinggalkan pasar global.
Bagi investor, kondisi ini menghadirkan paradoks. Di satu sisi, proyek energi dan hilirisasi terlihat menjanjikan. Tapi di sisi lain, ketergantungan terhadap modal dan teknologi dari satu negara—apalagi untuk sektor yang makin ditinggalkan investor global—membuat risikonya makin tinggi. Apalagi banyak investor institusi kini mensyaratkan prinsip ESG dalam portofolio mereka. Maka, proyek-proyek seperti ini bukan hanya bisa memperburuk citra Indonesia sebagai destinasi investasi, tapi juga mempersempit akses terhadap pendanaan internasional di masa depan.
Pertanyaannya sekarang apakah Indonesia siap mandiri dalam pengelolaan energi dan industrialisasi? Atau, justru makin larut dalam ketergantungan pada negara yang punya kepentingan global sendiri?
Sebab jika dibiarkan, bukan tak mungkin Indonesia sedang membangun versi modern dari tanam paksa energi—di mana Indonesia menyediakan lahan, polusi, dan subsidi, sementara nilai tambahnya malah kabur ke luar negeri.(*)