KABARBURSA.COM - Keputusan investasi proyek hidrogen meningkat dua kali lipat dalam 12 bulan terakhir dengan dominasi dari China. Meski begitu, kapasitas terpasang dan permintaan masih rendah karena industri ini menghadapi banyak ketidakpastian. Demikian menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA) pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Keputusan investasi ini mencerminkan peningkatan produksi hidrogen beremisi rendah sebanyak lima kali lipat hingga 2030. Dalam periode ini, China mencakup lebih dari 40 persen, yang bahkan melampaui laju ekspansi tenaga surya pada puncaknya.
Namun, target permintaan baru mencapai sekitar seperempat dari proyek produksi yang direncanakan. IEA menambahkan, kemajuan di sektor hidrogen ini belum cukup untuk memenuhi tujuan iklim global.
Sebagian besar proyek hidrogen masih berada di tahap awal, dengan proyek-proyek tersebut berisiko terhambat karena sinyal permintaan yang belum jelas, kendala pembiayaan, insentif yang tertunda, ketidakpastian regulasi, serta tantangan operasional dan perizinan.
"Para pembuat kebijakan dan pengembang harus memperhatikan secara cermat alat-alat yang mendukung penciptaan permintaan, sekaligus menekan biaya dan memastikan regulasi yang jelas untuk mendorong lebih banyak investasi di sektor ini," kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol, dikutip dari Reuters, Rabu, 2 Oktober 2024.
Permintaan hidrogen global diprediksi tumbuh sekitar 3 juta ton pada 2024, terutama terkonsentrasi di sektor penyulingan dan kimia. Namun, IEA mencatat bahwa peningkatan ini lebih mencerminkan tren ekonomi global daripada kebijakan sukses terkait hidrogen.
Saat ini, sebagian besar permintaan masih dipenuhi oleh hidrogen yang diproduksi dari bahan bakar fosil yang tidak diawasi, sementara hidrogen beremisi rendah masih memainkan peran kecil.
Teknologi dan biaya produksi tetap menjadi tantangan utama. Elektrolyzer, alat utama dalam produksi hidrogen, mengalami tekanan harga dan rantai pasokan yang ketat. Pengurangan biaya sangat bergantung pada perkembangan teknologi dan skala ekonomi yang lebih besar.
Investasi Energi Bersih China
China telah menggelontorkan lebih dari USD100 miliar dalam proyek investasi teknologi energi bersih di luar negeri. Menurut laporan dari Climate Energy Finance (CEF), lembaga riset asal Australia, langkah ini dilakukan untuk menghindari tarif dari Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.
China saat ini menjadi produsen dan pengekspor terbesar dunia untuk produk-produk seperti panel surya, baterai lithium, dan kendaraan listrik. Kapasitas investasi, inovasi, dan manufaktur negara tersebut memimpin dengan selisih yang mencengangkan, demikian yang disampaikan CEF dalam laporan risetnya.
Negara ini menyumbang 32,5 persen ekspor kendaraan listrik dunia, 24,1 persen baterai lithium, dan 78,1 persen panel surya. Namun, dominasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa China menggunakan surplus kapasitas besar-besaran untuk membanjiri pasar, menekan harga, dan melemahkan para pesaingnya.
Amerika Serikat dan Kanada sudah menerapkan tarif 100 persen untuk kendaraan listrik buatan China, sementara Uni Eropa akan memutuskan isu tersebut pekan ini. Impor panel surya dan baterai lithium dari China ke AS juga dikenakan tarif sebesar 50 persen dan 25 persen.
"Investasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan swasta China sebagian besar didorong oleh kebutuhan untuk menghindari hambatan perdagangan," kata Analis CEF sekaligus salah satu penulis laporan tersebut, Xuyang Dong, dikutip dari Reuters, Rabu, 2 Oktober 2024.
Xuyang menambahkan, BYD, produsen kendaraan listrik terkemuka di China, sedang membangun pabrik senilai USD 1 miliar di Turki untuk menghindari tarif hampir 40 persen yang diusulkan Uni Eropa. Selain itu, produsen baterai CATL juga merencanakan pembangunan pabrik di Jerman, Hungaria, dan beberapa negara lainnya.
Menurut studi terpisah yang diterbitkan oleh Grantham Institute di Inggris tahun ini, dua pertiga dari kapasitas energi bersih China akan menjadi surplus dari kebutuhan domestik pada tahun 2030, dan akan mencari pasar ekspor. Produksi panel surya China diperkirakan mencapai kapasitas total 860 gigawatt pada tahun tersebut.
China menentang keras kenaikan tarif ini, dengan menyatakan bahwa pembatasan impor murah dari China akan menghambat upaya global untuk memerangi perubahan iklim. Utusan iklim senior China, Liu Zhenmin, pada Maret lalu memperingatkan bahwa pemisahan dari manufaktur China bisa meningkatkan biaya transisi energi global hingga 20 persen.
11 Reaktor Nuklir
Selain menyalurkan investasi besar ke proyek energi bersih di luar negeri, China juga terus memperkuat langkah-langkah domestiknya dalam transisi menuju energi hijau. Tidak hanya berfokus pada ekspor panel surya dan kendaraan listrik, negara ini kini kembali mengakselerasi proyek energi nuklir sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi karbon secara signifikan. Pada Agustus 2024, Beijing mengumumkan rencana pembangunan reaktor nuklir dalam skala besar.
Negara itu menyetujui pembangunan 11 reaktor nuklir di lima wilayah berbeda pada Senin, 20 Agustus 2024, lalu. Ini merupakan jumlah izin baru terbanyak yang pernah dikeluarkan, sejalan dengan ambisi negara ini untuk semakin mengandalkan energi atom dalam menekan emisi karbon.
Pembangunan reaktor tersebut akan tersebar di provinsi Jiangsu, Shandong, Guangdong, Zhejiang, hingga Guangxi, sebagaimana dilaporkan oleh China Energy News. Investasi yang dikucurkan mencapai 220 miliar yuan, dengan estimasi konstruksi memakan waktu lima tahun, menurut laporan dari Jiemian, sebuah media keuangan terkemuka.
China saat ini memimpin dunia dalam pembangunan reaktor nuklir, dengan lebih banyak unit yang tengah dikerjakan dibandingkan negara lain. Hanya dalam dua tahun terakhir, China telah mengesahkan pembangunan 10 reaktor baru, menjadikannya salah satu negara dengan pertumbuhan energi nuklir paling cepat.
CGN Power Co, anak perusahaan dari China General Nuclear Power Corp, mengumumkan melalui pengajuan di bursa saham Hong Kong bahwa mereka telah mendapat persetujuan untuk membangun enam reaktor di tiga lokasi berbeda.
Sementara itu, China National Nuclear Power Co mengonfirmasi melalui akun resmi WeChat bahwa mereka akan membangun tiga reaktor tambahan. Tak ketinggalan, State Power Investment Corp juga menerima lampu hijau untuk dua unit reaktor baru.
Percepatan pembangunan pembangkit tenaga nuklir ini semakin mempertegas komitmen China untuk menjadikan energi atom sebagai salah satu pilar utama dalam transisi menuju energi bersih dan keberlanjutan lingkungan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.